Home Lomba Blog KTF 2014 Stand a Little Taller

Stand a Little Taller

oleh Mahansa Sinulingga

What doesn’t kill you makes you stronger
Stand a little taller…
What doesn’t kill you makes a fighter
Footsteps even lighter…
(Kelly Clarkson, Stronger / What Doesn’t Kill You)

Ada tiga peristiwa penting dalam perjalanan hidup saya yang tak akan pernah bisa saya lupakan. Bukan sekadar sebuah drama untuk dituturkan, bukan pula sebuah memori yang terlampau indah untuk dilupakan. Ketiga peristiwa ini menancap teramat dalam, menjadi batu penjuru langkah-bagi langkah saya. Ia mengubah hidup saya, ia mengubah cara pandang saya.

Pertama, kisah semasa saya masih bersekolah di bangku SMA di Surabaya. Saat sekolah kami memutuskan untuk berpartisipasi dalam gerak jalan historis Mojokerto-Surabaya. Tidak ada motif khusus, hanya ingin mengalami petualangan berbeda, khusus dalam even bersejarah yang berlangsung tahunan dalam menyambut Hari Pahlawan. Malam-malam ketika latihan, terasa menyenangkan. Ada perasaan bangga karena kami bisa membelah jalanan kota Surabaya dengan gaya. Dipandu suara “prit, prit, prit”, kami berjalan dengan dada membuncah dipenuhi rasa bangga.

Sampai paragraf di atas, semua terlihat baik-baik saja; dan rasanya cerita ini akan berakhir bahagia seperti dongeng-dongeng, “…and they lived happily ever after”. Namun ketika tiba hari-H, semua  perasaan yang membubung tinggi itu, jatuh dan hancur berkeping-keping. Belum juga meninggalkan kota Mojokerto dalam rentang jarak satu kilometer, kelelahan sudah memerangkap. Langkah terasa berat, isi benak gelap-gulita, tak ada titik cahaya di ujung lorong. Bisakah Anda membayangkan, andai saja kami sudah berhasil mencapai jarak 1 kilometer, masih ada rentang jarak 54 kilometer yang harus kami lalui dengan berjalan kaki. Kami meninggalkan kota Mojokerto ketika petang menjelang dan tiba di kota Surabaya ketika orang-orang pulang dari jogging pagi. Satu-satunya hal yang membuat kami bertahan adalah kerumunan orang di tepi jalan yang menjadikan kami sebagai tontonan yang menghibur mereka.

Itu penderitaan hidup terberat pertama yang pernah saya alami. Kaki bengkak dan melangkah serasa melayang seusai even itu, tak bisa mengalahkan tekad kami untuk bertahan sebelum memasuki kilometer pertama, hingga menginjak garis Finish. Penderitaan terberat ketiga, terjadi tahun lalu ketika saya harus menjalani bedah. Bukan proses operasi yang mencemaskan saya, tapi keharusan menutup mata karena bius total. Saya berkata kepada dokter, sesakit apa pun saya bersedia menanggungnya, tapi jangan menyuruh saya menutup mata. Pada akhirnya, di ruangan yang membekukan itu, sebelum obat bius bekerja, saya menemukan sebuah lirik lagu. Saya nyanyikan berulang di dalam hati, dan dia mengantar saya lelap.

Lalu, apa penderitaan kedua yang belum saya ceritakan? Itulah kisah perjalanan liburan bertiga bersama kawan kuliah, backpacker ke tanah Lombok. Hari pertama dan kedua, kami melalap berbagai obyek wisata yang indah dan menakjubkan. Lalu pada hari ketiga, mereka merencanakan mendaki Gunung Rinjani. What?! Gila, serius nih? Mereka hanya mesam-mesem. Oke, ini namanya “daki-dakian”, pendakian serius secara kami orang awam. Semasa kuliah, tak ada cabang olahraga yang saya tekuni, kecuali sesekali olahraga (baca: main) biliar. Jogging sekalipun, teralalu sayang untuk dilakukan dengan meninggalkan bantal dan guling. Ah, pasti ini hanya sekadar cuci mata di kaki gunung dan menengok kehidupan penduduknya.

Singkat cerita, kami mulai menaiki perbukitan. Keringat mulai mengucur dan napas sudah memburu ketika kami tiba di sebuah rumah yang ternyata kantor guna mengurus izin pendakian. Astaga! Saya terhenyak karena ternyata dalam kondisi badan sudah lemot begini, belum juga terhitung sebagai sudah “mendaki”. Dan, oh my God, kenapa pula mata ini sempat-sempatnya membaca tugu peringatan atas wafatnya pendaki dalam upaya menaklukkan Rinjani. Gila, pendaki “profesional” saja bisa sampai begitu, apa lagi saya yang olahraganya Cuma biliar.

Benar saja, peristiwa gerak jalan Mojokerto-Surabaya itu terulang kembali. Baru saja beberapa meter meninggalkan kantor perizinan, saya sudah berjuang untuk mengelola oksigen. Berkali-kali, berulang-ulang, saya tertinggal jauh dan rajin memijat kaki yang terasa begitu berat. Sampai akhirnya jurus lama itu teringat kembali: “Saya tidak ingin berjalan kaki sejauh 55 kilometer, tapi hanya semeter ke depan. Tidak lebih, hanya semeter ke depan. Semeter lagi, dan lagi, dan lagi…”.

Hari telah gelap, malam telah tiba saat kami sampai entah di pos berapa. Ini pos terakhir untuk beristirahat sebelum mendaki sekian tinggi lalu turun ke danau Segara Anak. Angin dingin bertiup kencang, membuat air panas yang kami minum serasa lewat begitu saja. Jam-jam selanjutnya terasa berjalan lambat. Seluruh bekal “darmawisata” saya habiskan: Baju-baju saya pakai, handuk mandi jadi penutup kepala dan leher. Hasilnya? Badan terasa dikelilingi air es. Dari celah papan untuk berbaring, angin dingin menusuk kencang, dengan suara yang sangat bising. Sepanjang malam itu, jadi jam-jam untuk bertahan hidup. Tak ada kesempatan buat tidur. Dan saat subuh masih gelap, kami sudah memulai langkah ke atas sambil berjuang merebut oksigen. Ini pertama kalinya saya tahu betapa berharganya oksigen yang saya hirup.

Hari masih pagi saat kami tiba di ketinggian dan menarik napas lega saat danau Segara Anak menghampiri kami. Dengan berbungkus handuk mandi, saya memandang takjub akan hamparan kekayaan alam di depan mata. Di mana puncak di Rinjani? Saya harus mendongak dan menerka-nerka, karena kabut tebal masih membungkusnya. Pagi itu, matahari terasa lembut seperti kain sutra. Angin kencang dan suhu dingin mengusir kami untuk segera turun, karena bibir kami mulai kaku dan membiru. Sebelum semakin parah, kami mengucapkan salam perpisahan dengan Segara Anak.

Selebihnya, perjalanan pulang, adalah happy ending buat saya. Kekuatan mulai pulih, kaki saya terasa enteng. Sambil setengah berlari, kini giliran saya memimpin terdepan dan sering kali harus berhenti menanti mereka. Inilah saatnya menikmati kekayaan perdu, rerumputan, dan pepohonan liar di alam bebas. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk setempat yang turun membawa ikan-ikan hasil tangkapan mereka dari danau. Tersenyum dan menyapa mereka adalah bonus terindah dalam perjalanan ini.

Kelly Clarkson benar, apa pun yang tidak membunuhmu, akan membuatmu lebih kuat. Membuatmu jadi petarung hidup, dan berdiri lebih tinggi dari jejak semula. []

Penulis

Ang Tek Khun

Twitter: @angtekkhun

Artikel yang mungkin kamu suka