Home Lomba Blog KTF 2014 Expedisi Suku Baduy

Expedisi Suku Baduy

oleh Mahansa Sinulingga

Liburan kali ini sungguh berbeda, karna kali ini kami akan melakukan ekspedisi ke suku pedalaman di daerah Banten. Di Baduy sendiri terdapat empat desa, yang pertama desa Ciboleger atau biasa disebut Baduy luar, disebut Baduy luar karna desa ini masih menerima sebagian perkembangan zaman. Lalu tiga desa lainnya merupakan Baduy dalam yang begitu tertutup akan dunia luar, bahkan walaupun suku ini berada di Indonesia, masyarakat suku Baduy tidak pernah mencoba untuk mempelajari bahasa Indonesia, tiga desa itu adalah Desa Cikeusik, Desa Cikeurta Warna, dan Desa Cibeo.
Desa Cibeo yang akan menjadi tujuan kami, dimana untuk kami bisa sampai ke tempat ini pun harus ijin dua bulan sebelumnya kepada warga Baduy luar yang di ijinkan menjadi penghubung kami ke masyarakat Baduy dalam. Ketiga desa Baduy dalam dikelilingi 18 gunung yang juga berarti tidaklah mudah untuk mencapainya, dari Tangerang kami berangkat menuju Desa Ciboleger yang terletak di kabupaten Lebak, Banten. Karna di desa ini adaah titik terakhir segala jenis transportasi di ijinkan untuk masuk. Dari Baduy luar, kami harus menempuh perjalanan 54 km untuk bisa mencapai Desa Cibeo, karna yang di pertaruhkan adalah keselamatan kami sendiri, jika tidak sampai saat matahari tenggelam kami harus bermalam di hutan, tak sedikit rombongan kami yang setelah setengah perjalanan, memilih untuk kembali dan bermalam di Baduy Luar karna merasa tidak sanggup melanjutkan perjalanan ke Baduy dalam.
Akhirnya setelah 13 jam melakukan perjalanan, saya dan teman – teman sampai di Desa Cibeo, entah sudah jam berapa karna sejak di Baduy Luar seluruh perlengkapan elektronik sudah kami simpan dan baru kami keluarkan jika sudah keluar dari Baduy Dalam. Hanya sekitar setengah jam waktu kami untuk membagi kelompok untuk bermalam di rumah masyarakat Baduy yang sangat ramah – ramah. Tepat setelah matahari tenggelam di desa ini semua kegiatan di hentikan dan semua warga yang ada di Desa langsung tidur, karna keadaan gelap gulita, tidak ada setitik pun cahaya. Kami pun harus menunggu esok pagi untuk bisa mandi, makan dan rapih – rapih segala macam bentuk keperluan kami. Uniknya walaupun di tengan hutan sekalipun, selama kami tidur, tidak ada satupun nyamuk yang mengganggu tidur kami.
Paginya kami bangun dan langsung berbenah diri. Saat mandi di sungai karna di desa ini tidak mengijinkan siapapun mengotori alamnya maka sabun, odol dan semacamnya pun tidak di ijinkan di tempat ini, kami menggunakan cara warga setempat membersihkan diri dengan menggunakan tanaman di sekitar sungai untuk membersihkan tubuh. Walu begitu saya dan teman –teman tetap senang karna di tempat ini kami belajar menghargai alam.
Setelah segar dan rapih, untungnya ada salah satu teman kami yang cukup lancar berbahasa sunda, jika tidak kami tidak tau bagaimana cara berkomunikasi dengan warga sekitar. Kami tentu tak datang dengan tangan kosong, karna tidak ingin menyusahkan warga yang kami tumpangi rumahnya, kami membawa bahan makanan mentah, seperti kornet, mie, abon, beras, sarden, dan gula. Dengan bahasa Sunda yang cukup lancar, salah satu teman kami meminta tolong untuk di masakan bahan makanan yang kami bawa, bukan bermaksud merepotkan, tapi karna salah satu dari kamipun tidak ada yang mengerti cara memasak dengan perlengkapan yang belum pernah kami temui di Kota sebelumnya. Setelah selesai di masak kami makan bersama dengan pemilik rumah, sambil bercakap – cakap yang setiap kalimatnya perlu di terjemahkan dulu oleh teman kami yang mengerti Bahasa sunda, walau kadang tidak mengerti namun disaat pemilik rumah tertawa kami pun ikut tertawa agar terlihat akrab.
Sesudah makan kami di ajak mengenal kebudayaan setempat, uniknya Baduy dalam adalah yang membuat mereka tidak perlu mengetahui hukum dan undang –undang di Indonesia adalah mereka memiliki pemerintahan sendiri yang di sebut “Kepuunan Baduy” yang memiliki ketua atau presidennya sendiri yang biasa di sebut “Puun”. Masyarakat Baduy sangat menghargai keputusan yang di berikan Puun tidak ada yang berani melanggar atau tidak mentaatinya. Dengan menganut kepercayaan “Sunda Wiwitan” masyarakat Baduy hidup sangat damai. Awalnya memang terlihat aneh bagaimana bisa orang – orang pedalaman yang setiap orang kemanapun pergi selalu membawa golok, namun bisa hidup damai dan tentram. Justru ternyata yang mereka takutkan bukanlah ancaman dari dalam namun dari luar yang hendak mengusik, dan menggangu masyarakat Baduy. Itu mungkin sebabnya warga desa ini begitu tertutup dengan segala macam hal dari dunia luar, sampai sampai satu butir paku pun tidak ada yang menancap di bangunan rumah mereka, alas kaki pun pantang untuk digunakan. Karna hal itu pula saya dan teman – teman memilih untuk ikut membuka alas kaki karna tidak perlu takut terkena benda tajam apapun di tanah. Namun hal ini juga yang membuat kami sulit untuk mendokumentasikan betapa berharganya pengalaman ini.
Setelah seharian berkeliling desa, kami harus kembali ke rumah tempat kami bermalam sebelum gelap, karna harus mandi, dan makan malam. Beruntungnya kami, karna kami tepat datang di malam jumat dan tepat bulan purnama, karna dalam tradisi masyarakat Baduy pada malam seperti ini diadakan upacara “ngasek” atau merupakan upacara sebagai ungkapan syukur atas panen padi yang lalu, dan meminta berkat untuk menanam padi kembali. Dengan menggunakan baju adat suku setempat, denga membawa angklung yang di hiasi hasil panen padi, warga berkeliling membentuk lingkaran sambil bernyanyi yang tidak kami mengerti maksudnya.
Selesai acara ini, menandakan menjadi malam terakhir kami karna ada batasan waktu yang telah ditentukan “Puun” untuk tamu bermalam. Dengan di tuntun lilin kami kembali ke rumah tempat kami bermalam dan langsung beristirahat, karna besok kami harus menempuh perjalanan yang cukup panjang untuk pulang.
Pagi harinya kami sebelum pulang sempat berbincang sambil mengucapkan perpisahan dan trimakasih kepada pemilik rumah karna sudah mengijinkan kami tinggal, namun ada hal yang membuat kami kaget, karna ternyata kepala keluarga tempat saya tinggal mengaku pernah berjalan kaki menuju kampus Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang. Kaget bukan main kami karna beliau mangaku datang untuk menjadi tamu dalam sebuah acara, dan dalam perjalanan beliau hanya mengikuti jalur kereta.
Setelah pamit setengah perjalanan pulang kami tak mau melawatkan kesempatan untuk mengaabadikan moment walau hanya di Desa Ciboleger, Baduy Luar.

Penulis

Nata Andreas

Twitter: @nataandreas

Artikel yang mungkin kamu suka