Home Lomba Blog KTF 2014 Plesir ke Jepang – Mimpi Jadi Kenyataan

Plesir ke Jepang – Mimpi Jadi Kenyataan

oleh Mahansa Sinulingga

Plesir ke Jepang – Mimpi Jadi Kenyataan..

 

Setelah lama bermimpi ingin ke Jepang, akhirnya saya berhasil juga kesana dengan ditemani orangtua. Suatu kebetulan yang menguntungkan sekaligus menyenangkan, atau bahasa kerennya “serendipity”, karena kakak saya juga sedang menempuh Program Doktor atau S3 disana. Lebih tepatnya di Saijo, Prefektur Hiroshima.

Berawal dari tergiur dengan promosi terbang murah dari suatu maskapai penerbangan ternama, akhirnya saya dan orangtua berhasil menjejakkan kaki di Kansai International Airport, Osaka. Kebetulan maskapai yang kami pilih ini memang tidak membuka rute langsung Surabaya-Hiroshima, sehingga kami harus transit terlebih dulu di Osaka.

Karena takut tersesat di perjalanan menuju Hiroshima, kakak pun menjemput kami di bandara.

Karena kami mendarat di Osaka dini hari, kami terpaksa harus menginap terlebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Saijo. Untungnya, ada hotel yang berlokasi sangat dekat dari bandara, cukup jalan kaki 5 menit melalui sebuah jembatan penghubung. Saat itu musim semi baru akan usai, sakura sudah bermekaran, dan udara terasa dingin hingga 20C. Angin pun bertiup sangat kencang menemani perjalanan kami ke hotel.

Hari 1 – Osaka – Saijo

Akhirnya, setelah beristirahat beberapa jam di hotel, kami melanjutkan dengan sarapan mie udon panas di bandara untuk mengisi perut sekaligus menghangatkan badan. Mie udon ini memiliki label halal yang ditempelkan di kaca depan sehingga kami pun tak ragu untuk mengkonsumsinya.

Selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke Hiroshima menggunakan Shinkansen. Saya sangat takjub karena selain super cepat, juga tidak berisik sama sekali. Bahkan di dalam kereta ini kita diharuskan untuk mematikan handphone. Karena dari keterangan kakak, orang Jepang memang tidak menyukai suara-suara berisik.

Kalau kita menggunakan kereta listrik biasa, Osaka-Hiroshima harus ditempuh dalam waktu 5 jam. Sedangkan kalau menggunakan Shinkansen, kita cukup menempuh waktu 3 jam saja.

Akhirnya kami sampai juga di stasiun Higashi-Hiroshimashi. Dari sini, kami melanjutkan menuju Saijo menggunakan mobil kakak. Kira-kira setelah 30 menit kami pun tiba di “apato” (apartemen) yang kakak huni untuk beristirahat.

Hari 2 – Miyajima

Hari pertama kami di Saijo, saya sangat bergairah untuk plesir ke pulau Miyajima. Pulau ini merupakan salah satu warisan budaya dunia yang telah ditetapkan oleh Unesco. Dari Saijo, kami harus menggunakan kereta listrik menuju stasiun Hiroshima City selama 30 menit.

Sesampainya di stasiun Hiroshima City, kami melanjutkan perjalanan menggunakan trem. Karena trem memiliki banyak sekali tempat pemberhentian, perjalanan kami pun jadi terasa cukup lama yakni 1 jam. Untuk mencapai Miyajima kami harus berhenti di Hiroden Miyajima-guchi yang merupakan ujung dari perjalanan trem kami.

Akhirnya sang petugas trem menyebut nama “Hiroden Miyajima-guchi”. Itu tandanya kami sudah harus bersiap turun. Lepas dari trem, kami pun harus lanjut dengan kapal feri. Jarak tempuh lewat laut ini tidak sampai 15 menit.

Udara dingin dan angin yang bertiup kencang lagi-lagi menyambut kami, dan tak lama kemudian gerimis pun datang. Tetapi jangan khawatir, karena di Miyajima banyak sekali deretan toko yang menjajakan berbagai macam suvenir, termasuk payung, dan juga makanan. Kalau datang kesini jangan lupa untuk membeli kue khasnya yang bernama Momiji. Kue ini berbentuk daun dan sangat enak dengan berbagai macam rasa, mulai dari keju (yang menurut saya paling enak), coklat, strawberry, sampai kacang merah.

Sedikit cerita tentang Miyajima, Miyajima terkenal dengan gerbang torii-nya yang kalau dari jauh tampak seperti mengambang di atas air, tentunya saat kondisi air laut pasang.

Nama resmi pulau Miyajima sendiri sebenarnya adalah Itsukushima, tetapi penduduk setempat lebih akrab dengan nama Miyajima, sesuai dengan artinya yaitu pulau kuil. Di sana terdapat kuil Itsukushima yang bangunannya juga seolah menyembul dari permukaan air. Selain kuil Itsukushima, kita juga bisa mengunjungi kuil Daisho-in, Senjokaku, Museum Sejarah, dan Miyajima Aquarium.

Kuil-kuil ini juga masih digunakan untuk beribadah oleh masyarakat shinto Miyajima hingga saat ini. Jadi, saat kami kesana, kami sempat melihat mereka melakukan ritual ibadah lengkap dengan pakaian adatnya, kimono.

Di Miyajima juga terdapat rusa-rusa yang berkeliaran bebas, karena binatang ini merupakan binatang yang disucikan oleh masyarakat setempat.

Selain pemandangan dan kuil-kuilnya yang indah, hal yang membuat saya tidak akan pernah lupa akan tempat ini adalah karena ibu sempat terpisah dari kami cukup lama.

Saat saya dan ayah ingin masuk ke kuil Itsukushima, ibu memutuskan untuk tidak ikut karena lelah dan ingin menunggu kami saja di pintu keluar. Setelah selesai melihat-lihat ke dalam kuil, kami pun keluar. Tetapi saat itu ibu tidak ada! Akhirnya kami pun berputar-putar mengelilingi area kuil mencari ibu selama 1 jam-an.

Karena tidak ada dimana-mana, kami pun memutuskan memperluas pencarian hingga ke area pintu masuk, dekat kapal feri bersandar. Ternyata, ibu disana, duduk menunggu kami. Lelah mencari, kami pun ikut beristirahat sambil mencicipi Momiji. Hal ini cukup membuat shock jantung saya dan ayah haha..

Hari 3 – Hiroshima City

Hari kedua, kami putuskan untuk berkeliling Hiroshima. Dimulai dari Hiroshima Peace Memorial Park, dimana kita bisa melihat bekas bangunan yang terkena bom atom yang dijatuhkan oleh AS. Disana juga terdapat museum modern yang berisi sejarah-sejarah mulai dari latar belakang dijatuhkannya bom, jumlah korban yang tewas saat itu, hingga dampak berkepanjangan berupa efek radiasi yang dirasakan oleh korban-korban selamat sampai akhirnya meninggal dunia beberapa bulan atau tahun kemudian.

Puas memenuhi rasa ingin tahu di museum ini, kami pun beranjak menuju Kastil Hiroshima. Karena Kastil ini memiliki 5 lantai, kami pun memutuskan untuk tidak masuk karena lelah. Sedikit cerita tentang Kastil Hiroshima, Kastil ini merupakan istana yang pernah menjadi pusat kekuasaan Daimyo, bangsawan Jepang. Kastil ini memiliki nama lain, yakni Istana Ikan Koi karena dulu, saat pertama kali berdiri, istana ini dikelilingi oleh tiga buah parit luas yang berisi ikan koi.

Istana ini pertama kali dibangun pada tahun 1589, tapi sayangnya pada tahun 1945 hancur akibat pengeboman. Pasca pengeboman, istana hancur dan dibangunlah replikanya. Kini, replika istana dijadikan sebagai museum sejarah Hiroshima periode perang sebelum Perang Dunia II.

Istana Hiroshima terbagi ada 4 bagian utama, yaitu menara utama, menara pengawas, Kuil Hiroshima Gokokujinja dan bagian pelengkap lain. Replika menara utama ini dibangun sama persis dengan menara aslinya. Hanya saja yang asli dominan kayu, replika ini terbuat dari beton. Bangunan menara utama terbagi atas 5 lantai dengan ketinggian 26,6 meter.

Untuk bagian menara pengawas dan pintu gerbang masuk, dibuat dari kayu. Nah, khusus bagian ini benar-benar dibuat sama persis dengan bangunan aslinya yang juga terbuat dari kayu. Bagian yang paling ramai dikunjungi wisatawan adalah kuil. Kuil yang terdapat di Kastil Hiroshima adalah Kuil Shinto. Biasanya, kuil ini ramai dikunjungi untuk melakukan Hatsumode di awal tahun, dimana masyarakat akan berdoa untuk memohon kedamaian di tahun yang baru.

Hari 4 – Osaka

Tidak terasa waktu kami di Saijo-Hiroshima pun habis. Kami harus kembali ke Osaka untuk menginap satu malam sebelum akhirnya kembali ke tanah air. Kami memutuskan untuk menginap di Osaka terlebih dulu karena tidak ingin terlambat sampai bandara keesokan harinya.

Kakak memilihkan kami hotel yang berlokasi di Namba, dekat dengan pusat perbelanjaan ternama dan terbesar di Osaka yakni Shinsaibashi-suji. Toko-toko pakaian, sepatu, tas, dan banyak lagi lainnya berjejer rapi di kanan dan kiri dengan hanya dipisahkan oleh sebuah jalan yang tidak terlalu besar, khusus untuk pejalan kaki dan pesepeda.

Di tempat ini kami bisa melihat muda-mudi Osaka ramai berkumpul untuk sekedar mengobrol ataupun berbelanja. Saya dan orangtua pun tidak melewatkan kesempatan untuk berburu oleh-oleh.

Sekedar saran, kalau pergi ke Jepang jangan lupa untuk beli sepatu. Karena hampir semua penduduk Jepang adalah pejalan kaki, jadi sepatu mereka tentunya dibuat kuat serta awet. Tapi sayangnya, ukuran kaki orang Jepang, khususnya wanita, kecil atau tidak terlalu besar jadi saya dan ibu tidak berhasil mendapatkan satu sepatupun yang ukurannya pas.

Tepat di hari ke-5 di Jepang, akhirnya kami pun harus pulang kembali ke Surabaya. Pengalaman kami di Jepang sungguh tak akan pernah terlupakan, selain obyek wisatanya yang indah, kota yang bersih, penduduk yang ramah dan disiplin, sarana transportasinya pun tak pernah sedetikpun terlambat. Salute untuk Jepang!!

Penulis

Anvi Febrianti Syafei

Twitter: @anvi_syafei

Artikel yang mungkin kamu suka