Ada jalan yang membelah luasnya areal yang kukira untuk keperluan bidang olahraga itu. Seperti biasa, di bibir alun-alun terdapat seperangkat kehidupan yang mengatasnamakan panji ekonomi. Yang membuat berbeda, di tengahnya ada sebuah pohon (yang umurnya) tampak tua. Namun, diameter yang disisakan untuk para kaula tua-muda masih terbilang sangat luas.
Dari anak-anak bersama orangtua, remaja beserta gerombolannya dan remaja semi dewasa bersama pasangannya tersebar tak merata. Ada juga pohon-pohon tua yang (sempat-sempatnya) memagari kesemua arena tersebut. Tampaknya, semboyan “Wonosobo asri” memang tak mengundang kontroversi.
Kami berangkat dari Salatiga menjelang maghrib dengan sepeda motor. Mulai dari sini, dingin bercerita. Dinginnya Salatiga, Magelang, Temanggung dan Wonosobo yang tentu saja sense-nya berbeda. Pelebaran jalan (penghubung kota Semarang ke Temanggung, Yogyakarta dan jalur yang melewati keduanya) yang tak kunjung selesai, pasar kaget di pertigaan parakan yang (alhamdulillah) mulai dibangun, dan pra perkenalan dengan plang selamat datang di kota Wonosobo menghiasi perjalanan senja menjelang malam.
Sepeda motor yang kami tumpangi terparkir tak rapi. Kukira inilah rumah temanku yang merangkap jadi guide dadakan itu. Ternyata, kita masih harus jalan kaki-sekitar-500 meter. Rumah yang tergolong besar dan terlihat begitu nyaman itu dikelilingi sawah,kolam dan sawah (lagi). Jam dinding menunjukkan angka 10 malam. Namun, itu tak menyurutkan air muka kami yang ingin mengunjungi tempat pemandian air panas kalianget, Manggisan-Wonosobo.
Pemandian Air panas alami yang mengandung belerang ini mengalir deras. Begitu kedua kaki kumasukkan ke dalam bak mandi yang berukuran sekitar 3×3 meter ini, kaki seperti ditusuk seribu jarum. Panas, sakit dan tak kuat. Namun kami berlima juga tak kapok, akhirnya mandi plus keramas di malam menjelang pagi ini yang menjadi dongeng pengantar tidur kami.
Bagiku,yang menjadi greget adalah ketika air deras yang mengalir dari pipa berjari-jari 7 cm ini langsung menghantam punggung yang didera pegal-pegal tingkat rektor. Sensasi pijat refleksi kali ini mengalahkan sensasi pijat Bu Menik siang tadi karena musibah kepleset di depan kamar. Dan akhirnya, pergumulan mengasyikkan itu harus usai saat teman-teman lelaki meneriaki kami agar cepat keluar dari ruang khusus wanita ini.
Perjalanan belum usai saudara, jam 3 pagi kami terpaksa harus standby diatas motor lagi. Dengan dingin yang meningkat berkali-kali lipat, kami menyusuri jalanan sunyi nan berkabut. Hipotermia mendera… satu, dua, tiga jari kakiku mati rasa. Menyusul tangan, hidung dan akhirnya seluruh badan.
Aku agak jengkel dengan plang yang menyambut kami berkilo-kilo meter lalu. Plang bertuliskan selamat datang di wisata alam dieng itu Cuma oase basah yang memberi harapan palsu, pemirsa… Pasalnya, sampai hampir separuh kewarasanku membeku ternyata sikunir dengan ketinggian 2260 mdpl yang menjadi tempat favorit untuk melihat sunrise itu belum kelihatan batang hidungnya.
Dan akhirnya siksaan itu berkelanjutan sampai kakiku yang (hanya) terbalut sepatu balet-karet-multiventilasi itu menjajah ujung kaki sikunir.
Aduduh.. tahu mau muncak lihat sunrise kok ya pake sendal begituan. “Owalah dasar cah Patiii,”ejek hatiku.
Alhasil, tangan kanan-kiriku terpaksa mencari pertolongan demi tidak terulangnya prosesi kepleset yang memalukan dan membahayakan itu. Hampir-hampir saja aku minta nafas buatan mengingat aku juga tidak membawa masker untuk (mencoba) menghalau dinginnya kadar oksigen yang semakin berkurang itu.
Sampai akhirnya, tengtereng… sampailah kami di puncak sikunir yang terisi penuh dengan masyarakat gila selfie itu.
“ah, saya jengkel setengah hidup”
Bukan karena kamera Nikon yang selalu menemaniku liputan sana-sini (setengah) tidak sengaja tertinggal di rumah Mas Aliv dan menyebabkan aku tidak bisa menyaingi mereka. Tapi, please deh.. jadi kalian-kalian kesini Cuma buat numpang foto? Nyari view yang bagus gitu?
Ahh, dingin ini lagi-lagi bercerita. Tapi tetap tak memberi jawaban.
Aku coba memandangi telaga cebong yang tergolek lemah tak berdaya di kaki bukit sikunir dengan duduk terpekur seorang diri. Mencoba mencari jawaban pada dingin dan lelah yang sedang menguliti hati.
Kurasa beribu gambar yang diabadikan (entah selfie ataupun tidak) kelak nanti dapat bercerita. Pada kulit keriput yang tak lagi dapat mentoleransi dingin, pada rambut putih yang tak lagi dapat mentoleransi angin, atau pada tangan lemah yang tak lagi dapat mentoleransi kerennya tongsis.
Wahai alam yang tengah bercerita, biarkan kami mendengar dengan seksama. Dengan berbagai cara yang sekiranya mampu menampung dan menceritakan keindahanmu pada mereka.
Traveling dadakan ini akhirnya ditutup dengan (hanya-melewati) telaga warna Dieng, kompleks candi yang melambai-lambai dengan angkuhnya, dan bermacam-macam kawah yang membuatku harus berdiri diatas motor demi melongokkan rasa ingin tahuku.
Niat sekali kami ingin kesana. Tapi mengingat senin sudah menjarah stok bahagia kami dengan melayangkan siluet kampus seisinya dengan wajah garang, akhirnya tour itu harus diakhiri (hanya-dengan) berhenti di pusat oleh-oleh untuk membeli carica wa akhwatuha.
Akhirulkalam, lagu dengan perubahan seperlunya ini terasa menarik-setidaknya menurutku.
Naik-naik ke puncak sikunir
Tinggi-tinggi sekali
Kiri, kanan kulihat semua
Banyak pohon carica
See u sikunir, see u shohibul selfie, and see u ‘dingin’.
Kutunggu ceritamu di belahan bumi lain.