Ini kali kedua saya mengunjungi ibu kota terutara di Negeri Kangguru. Saya hanya mengikuti ibu yang tadi duduk di samping saya selama penerbangan melalui imigrasi dan bea cukai. Terkadang saya membantu dia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh petugas karena kemampuan berkomunikasinya kurang fasih.
Darwin ini aneh. Rasa-rasanya inilah satu-satunya bandara internasional di Australia yang tidak memiliki mesin pemindai sinar-X untuk petugas-petugas bea cukai. Padahal, Australia terkenal memiliki aturan karantina yang cukup ketat dan lokasi Darwin cukup strategis karena dekat dengan Asia. Anjing pengendus pun tak terlihat. Bukankah ini akan mempermudah kerja para penyelundup? Bukan penyelundup kelas kakap, kelas teri. Bagaimanapun, petugas bea cukai memuji tindakan kami dalam mendeklarasikan benda-benda yang kami bawa masuk ke negeri itu.
Usai melewati bea cukai, suami ibu itu telah menunggu. Saya pun minta izin beberapa menit untuk menyimpan koper saya di loker bandara. Lagi, bandara ini memiliki perbedaan. Loker berada di dalam ruangan, untuk memasuki ruangan harus menekan tombol di samping pintu yang mana seorang petugas akan datang untuk membukakan pintu. Ternyata, untuk meletakkan koper selama 24 jam ke depan saya harus merogoh kocek $8 dan mereka tidak menerima uang kertas.
Saya pun berkeliling untuk menukarkan selembaran $20. Petugas kafe menolak karena mesin kas sudah ditutup. Tidak akan dibuka lagi kecuali saya membuat transaksi. Dia menyarankan saya untuk ke penukaran uang. Akhirnya saya mendapat uang receh. Segeralah saya kembali ke ruang penyimpanan barang itu.
Petugas memasukkan informasi ke dalam komputer, pembayaran dilakukan hanya menggunakan uang koin. Kemudian saya harus mengisi beberapa formulir administrasi. Repotnya menitipkan koper. Saya mengerti karena ini menyangkut risiko keamanan tapi saya pernah menitipkan koper di bandara Perth sebelumnya dan saya tidak perlu mengisi formulir administrasi segala.
Kami bertiga pun berjalan menuju tempat parkir. Namun si suami tersadar bahwa dia lupa membayar karcis parkir. Pergilah dia. Pria Prancis yang duduk di samping kiri saya selama penerbangan tadi rupa-rupanya baru keluar dari bea cukai. Dia menanyakan apakah ada tempat makan tak jauh dari bandara. Saya hanya menjawab bahwa saya kurang tahu. Dia berpamitan, suami ibu itu pun kembali.
Sembari berjalan, si suami bertanya apakah istrinya menikmati hidangan di pesawat tadi. Ya, diam-diam si suami memesankan makanan untuk penerbangan si istri yang menggunakan maskapai penerbangan dengan berbagai biaya tambahan untuk add-on yang disediakan. Si istri hanya bisa tertawa. Dia sempat bingung tadi sebelum menanyakan kepada saya mengapa ada beberapa penumpang yang tidak diberikan makan.
Hanya sekitar lima menit, kami pun tiba di Casuarina Shopping Centre. Mal yang cukup riuh di tengah-tengah kesepian kota Darwin. Saya berpamitan pada pasangan suami istri itu dan mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang diberikan. Saya pun mencari jalan keluar menuju halte bus. Merasa tersesat, saya lantas bertanya pada seorang petugas keamanan. Petugas keamanan ini bingung, bagaimana mungkin saya bisa tidak tahu jalan keluar. Dari mana saya masuk tadi, barangkali pikirnya.
Saya akhirnya menemukan jalan menuju halte bus berkat petugas keamanan itu dan menantikan kehadiran bus nomor 10, bus yang akan membawa saya ke pusat kota Darwin. Saya turun di halte paling akhir. Saya tidak dapat mengatakan bahwa ini adalah terminal karena tak tampak seperti terminal. Ya, saya tahu bahwa dalam bahasa-bahasa Romansa ‘termin’, atau apapun bentuknya usai dikonjugasi, bermakna akhir.
Dengan bantuan peta yang saya ambil di pusat informasi pariwisata di bandara tadi, saya mencari lokasi rumah makan yang menyajikan hidangan burger buaya dan burger kerbau. Tak disangka, rumah makan yang berada di kawasan Waterfront ini tutup. Padahal matahari belum terbenam. Saya segera mencari pilihan makanan lain untuk makan malam saya. Saya berkeliling kota kecil nan sepi ini. Banyak rumah makan yang sudah tutup. Saya menemukan rumah makan Indonesia di sebuah pujasera di Cavenagh Street tapi saya baru saja meninggalkan Indonesia. Sebegitu kangenkah saya pada makanan dari kampung halaman?
Saya akhirnya memutuskan untuk makan di restoran cepat saji yang berlokasi di jalan yang sama. Sembari menunggu kedatangan burger berbumbu racikan Portugal, saya membaca koran lokal NT News.
“Pemburu kaya akan memberikan $10.000 untuk setiap buaya yang ditangkap”
Gembiranya saya bahwa sudah tak ada perang dan kemiskinan lagi di dunia sehingga kisah tentang buaya bisa menjadi tajuk utama koran tersebut.
Usai menyantap makan malam, saya bingung hendak melakukan apa. Matahari mulai terbenam, Darwin pun semakin mati. Penerbangan saya menuju Brisbane adalah lewat tengah malam mati. Perpustakaan pemerintah yang menyediakan internet gratis sudah pun tutup pukul 17.00.
Saya pun memutuskan untuk ke bioskop di Mitchell Street. Film yang ingin saya tonton, Tinker Tailor Soldier Spy, tayang malam sekali. Bisa-bisa saya tidak bisa mengejar penerbangan saya. Akhirnya saya harus rela untuk menonton Any Questions for Ben, sebuah film Australia mengenai kehidupan pribadi dan romansa Ben. Ben rela pergi ke Yaman untuk menyatakan perasaannya pada mantan kekasihnya, walaupun dia sempat terkena masalah di imigrasi Australia. Tidak terlalu buruk sih.
Karcis bus menuju bandara yang saya beli sebelum menonton film sudah di genggaman. Begitu pula tiket pesawat dan struk penitipan koper (yang sempat hilang tadi saat saya sedang berjalan) juga sudah berada di tas. Pasar swalayan Coles masih buka rupanya. Mencuci mata sebentarlah, sekalian mengisi ransum untuk di pesawat nanti.