Home Lomba Blog KTF 2014 Badai di Phi-Phi Island, Thailand

Badai di Phi-Phi Island, Thailand

oleh Mahansa Sinulingga

Badai di Phi-Phi Island

 

Pantai yang indah, pasir yang putih, ombak yang menderu, air yang tenang, langit biru yang membahana, angin pasang yang hangat, dan siraman sinar matahari yang terang adalah sebagian bayangan indah terpintas dalam pikiran sepanjang perjalanan saya dari hotel ke arah dermaga.

Pada pagi hari itu saya dan keluarga dijemput oleh perusahaan perjalanan untuk mengunjungi Phi-Phi Island yang sangat terkenal itu sejak dijadikan situs pembuatan film The Beach yang diperankan oleh Leonardo Di Caprio. Perjalanan ke Phi Phi Island merupakan sebuah paket perjalanan yang kami beli pada sebuah perusahaan perjalanan di Bandung.

“Paket promo voucher menginap di hotel berbintang dua selama 3 hari di Phuket dengan bonus tur perjalanan ke Phi Phi Island dan James Bond Island. Sangat murah. Sayang kalau dilewatkan begitu saja.”, demikian penuturan petugas perjalanan tersebut.

Pemandu wisata menjemput  beberapa tamu yang menginap di hotel-hotel lainnya sebelum melanjutkan perjalanan ke dermaga keberangkatan. Sesampainya di dermaga keberangkatan kami langsung dipersilahkan memasuki kapal ferry berukuran sedang yang akan membawa kami ke phi-phi island. Udara panas yang menyengat tidak terasa ketika kita berada di dalam ferry karena udara dingin dari mesin AC membanjiri seluruh ruangan tersebut.

Setelah menunggu sekitar 20 menit akhirnya kapal ferry tersebut berangkat pula. Sempat saya dan adik naik ke dek untuk menghirup udara segar dan melihat pemandangan dari kapal. Perjalanan dari Phuket Island ke Phi-Phi Island membutuhkan waktu 1-2 jam tergantung cuaca dan kondisi. Kami tertidur pada akhirnya ditemani dengan alunan musik yang merdu dan cuaca yang sejuk di dalam kabin kapal. “Lebih baik beristirahat supaya ketika kami sampai kami memiliki banyak tenaga untuk bermain air…”, begitu pikirku.

Setelah hampir sampai kami terbangun, namun tiba-tiba kami seperti mendengar suara kilat memancar di atas langit. “Wah gawat nih, jangan-jangan hujan. Bisa gagal rencana kami untuk bersenang-senang di pantai.”, demikian pikiranku berkecamuk. Betul saja tidak lama setelah itu hujan deras membasahi daerah tersebut. Namun pemandu wisata menghimbau kami untuk tetap keluar kapal untuk berjalan sampai ke daratan dari dermaga dimana kapal tersebut parkir.

Di dermaga tersebut kami mendapatkan jas hujan, seorang mendapatkan satu jas hujan. Hujan deras disertai dengan angin kencang sungguh mematahkan hati kami. Sulit rasanya berjalan melawan angin keras yang disertai hujan lebat, namun kami dan seluruh penumpang tidak memiliki pilihan lain. Untung saja aku membawa tas khusus kamera sehingga aku tidak begitu khawatir akan keselamatan kamera dan lensa-lensaku. Kamera dan lensa-lensaku adalah aset yang sangat berharga bagiku untuk mengabadikan seluruh perjalanan saya.

Karena hujan lebat maka kami diarahkan oleh pemandu wisata untuk langsung menuju area makan siang. Sambil sedikit basah karena tersiram air hujan terutama daerah muka kami menyantap hidangan yang sudah disediakan perusahaan perjalanan. Jas-jas hujan digantung di kursi. Suasana makan siang yang tidak bersemangat terlihat jelas di wajah-wajah para turis. Untunglah setelah acara makan siang berakhir hujan sudah mulai mereda. Sehingga akhirnya sebagian turis mulai berani keluar dari area makan siang dengan tetap memakai jas hujan.

Kami pun tidak mau ketinggalan. Kami berjalan kian kemari melihat-lihat pertokoan yang ada disekitar pulau tersebut mulai dari toko kamera, suvenir, pakaian, sampai cafe-cafe yang menjajakan berbagai makanan. Air membanjiri seluruh jalanan, sehingga tetap saja kakiku terendam air. Untung saja saya dan keluarga memakai sandal karet sehingga kami tetap dapat dengan mudah hilir mudik kesana kemari.

Setelah hujan benar-benar reda kami beristirahat sejenak sambil menunggu waktu keberangkatan pulang kembali ke Phuket Island. Sambil minum juice dan makan cake kami memandangi pantai Phi-Phi Island yang indah. “Argh…sayang sekali kami tidak bisa bermain air entah hanya bermain-main dengan ombak, mengendarai permainan air seperti banana boat, snorkeling, atau bahkan diving. Apalagi padahal kami dapat mengendarai perahu lokal untuk melihat-lihat karang-karang besar di ujung-ujung pulau.”, pikirku dalam hati. “Masih ada waktu lain.”, begitu pikirku sambil mencoba menghibur diri.

Kemudian terdengarlah suara pemandu wisata memanggil semua penumpang untuk segera berangkat ke arah dermaga, karena kapal ferry akan berangkat dalam waktu 15 menit lagi. Sesampainya di kapal saya dan adik saya mengambil dek atas yang terbuka karena kami tidak mau melewatkan pamandangan-pemandangan dari dek luar kapal selama perjalanan pulang, sedangkan adik perempuan dan ibu saya langsung menuju dek bawah.

Namun tak disangka tiba-tiba angin besar menerpa wajah kami. Kaget dicampur tegang kami saling bertatapan muka. Jangan-jangan akan hujan deras akan melanda tempat ini kembali pikir kami. Dan betul saja belum sempat kami menikmati udara segar dan pemandangan alam sekitar hujan mengalir deras. Cepat-cepat kami berlari ke arah dek bawah agar terhindar dari air hujan. Tapi apa yang kami temui? Ternyata kursi-kursi di dek bawah sudah penuh terisi.

Kami mencoba mengolah pikiran mencari ide dan solusi. Akhirnya kami sepakat untuk mengambil kursi plastik dari dek atas untuk dibawa ke dek bawah. Karena dek bawah sudah penuh maka kami harus menaruh kursi kami di areal depan dek bawah menghadap para penumpang lain. Kursi-kursi di dek bawah adalah kursi-kursi permanen yang tidak seperti kursi-kursi di dek atas yang hanya merupakan kursi plastik biasa yang ringan.

Kapal akhirnya berangkat walaupun hujan deras dan angin kencang mendera daerah tersebut. Karena hujan dan angin besar melanda daerah tersebut maka kapal air tersebut bergoncang sangat keras. Turun naik bergerak kian kemari. Tontonan dari telivisi di dek bawah sudah tidak menarik lagi karena kapal terus bergoyang.

Suatu ketika kapal sepertinya menabrak ombak besar sehingga tiba-tiba adik saya yang sedang tertidur di kursi plastiknya loncat tinggi dan ‘brakkkkk…’ dia jatuh di lantai dengan kaki kursi plastiknya tertimpa tubuhnya yang besar. Bukan hanya dia yang loncat kaget tetapi aku pun ikut terkejut melihatnya. Untung saja tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk.

Setelah kejadian tersebut dia tidak mau lagi duduk di kursi plastik. Akhirnya aku pun mengikuti dia untuk duduk saja di lantai dek bawah tersebut. Tapi ternyata keputusan tersebut adalah keputusan yang salah. Hanya dalam waktu paling lama 5 menit kami berdua merasa mual. Belum lagi para penumpang sudah mulai mengeluarkan suara-suara yang menandakan bahwa mereka terkena mabok laut. Beberapa penumpang bahkan sudah mengeluarkan isi perutnya hasil dari makan siang yang mereka santap (alias muntah).

Maka kami memutuskan untuk berdiri dan berjalan keluar dari dek bahwa untuk mencoba menghirup udara segar di luar. Benar saja setelah kami keluar menghirup udara segar perlahan-lahan kami sadar kembali dan mual sudah tidak mengganggu kami kembali.

Namun area dekat pintu keluar tersebut sungguh sesak, ternyata beberapa penumpang mengalami hal yang sama dengan kami. Beberapa kru kapal membagikan minyak angin kepada penumpang yang berdiri disana. Karena berdesakan akhirnya saya memilih untuk keluar ke areal outdoor sambil memakai jas hujan yang saya miliki. Disana saya sempat bercakap-cakap dengan seorang kru. Ternyata yang seharusnya kami tiba 1-2 jam di tempat tujuan, sekarang membutuhkan waktu 2-3 jam untuk sampai.

Lebih baik kehujanan sambil menikmati pemandangan laut yang indah daripada duduk di dek bawah sambil menanggung resiko muntah, begitu pikirku. Akhirnya ketika saya dapat melihat Phuket Island, saya sungguh bernafas lega. Akhirnya penderitaan ini berakhir juga. Sesampainya di tempat tujuan kami mencari pemandu wisata kami untuk menanyakan dimana bus kami berada.

Ingin rasanya cepat-cepat pulang ke hotel untuk beristirahat sambil melepas lelah. Selama perjalanan dari dermaga ke hotel kami semua tertidur karena cape. Satu hal lagi yang perlu kami lalukan, yaitu membereskan seluruh bawaan kami. “Arghhh…ya Tuhan!”, teriakku ketika membuka tas kameraku. Bukan karena kameraku basah karena ternyata sedikitpun kamera dan lensa-lensaku tidak terkena air sedikitpun, tetapi karena pasporku dan paspor adik laki-lakiku basah terkena hujan dan badai tersebut. sambil cemas aku cepat-cepat mengambil hair dryer untuk mengeringkannya, tapi apa daya hasilnya adalah dua buah paspor keriting berdiam diri di atas meja. Hmm……sungguh suatu pengalaman wisata yang tak akan terlupakan dalam hidupku.

Penulis

Fendy Susanto

Twitter: @hugography

Artikel yang mungkin kamu suka