Ayam berkokok membangunkan tidurku. Sang fajar ternyata sudah menyingsing terang. Hari ini adalah awal perjalanan jauhku yang pertama sejak kegagalan perjalanan kemarin. Bersepeda memutari gunung tertinggi di Jawa, Gunung Semeru, dengan start point Lumajang menuju Malang via jalur selatan dan pulang via jalur utara menembus rimbanya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Momen suka duka terkatung-katung di perjalanan menyusuri kota, perkebunan, pegunungan, lautan pasir Bromo hingga puncak Mahameru selama 8 hari 8 malam dengan menempuh jarak total 258 Km melukiskan makna perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Jalur Lumajang-Malang via jalur selatan terkenal dengan jalan perbukitan dengan tanjakan dan turunan tajam yang berkelok. Konon katanya, rute tersebut akan menggetarkan kaki setiap pesepeda yang mencoba menjejakinya. Baru 40 Km berjalan, nafasku sudah ngos-ngosan memanjat bukit penghalang. Perjuangan keras kayuhan demi kayuhan kecil pedal sepedaku mengantarkanku pada piket nol yang merupakan puncak tertinggi bukit ini. Sudah tengah hari rupanya. Tapi lega rasanya, trek berikutnya 60 Km jalan naik turun bukit dan ditutup dengan trek datar hingga pusat kota Malang.
Tak terasa 17 jam sudah aku bersepeda ditengah lalu lalang kendaraan bermotor jalan raya. Kota Malang ternyata tak seindah yang aku bayangkan. Dini hari aku berada di sudut Kota Lama Malang menikmati hembusan angin dalam kesunyian. Tidur beralaskan kursi taman beratapkan langit malam yang dinginnya menusuk tulang. Mataku berusaha terpejam meskipun pikiranku terus terjaga dalam was was.
”Mas..”, Seorang pria datang sambil dia tersenyum menyapaku.
”Teng tong.. ”, Aku membuka HP sambil menenagkan hati. Pasalnya, aku mengerti dari salah seorang pria setengah gila yang menghampiriku sebelumnya bahwa disini, di Alun-Alun Kota Malang, banyak copet, orang gila, dan pria homo yang mencari mangsa.
”Kalau adik tetap disini, ’barang’ adik akan diremas-remas pria homo”, ujar pria setengah gila.
”Uhh.. aku tak ingin senjataku satu satunya dinikmati oleh orang sesama jenisku”, pikirku dalam hati.
Pria homo tersebut semakin lama semakin ganas menggodaku. Tak tahan aku bangunkan teman seperjalananku dan bergegas menuju pos polisi untuk mencari perlindungan.
Pagi buta, kami meninggalkan Alun-Alun untuk berkeliling-keliling kota. Rencanaku hari ini adalah bersantai-ria menikmati setiap detik di kota wisata Malang. Kami sempatkan menikmati jajanan kuliner Soto Babon langganan kami di Belakang ITN Malang. Istirahat sejenak setelah menyusuri seluk beluk duo universitas terbaik di Malang, Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang.
Aku tak ingin mengulangi malamku tanpa perlindungan. Aku ambil peralatan gunungku lengkap dengan alat tidur dan memasak di Surabaya. Sore telah berganti malam, aku habiskan waktuku dalam perjalanan Malang-Surabaya menaiki bus umum. Aku tidur di SPBU dekat Terminal Arjosari Malang.
Aku jadwalkan dalam itinerary perjalananku hari ketiga camping di Penanjakan Bromo via Nongkojajar Pasuruan. Semua gagal dikacaukan oleh tanjakan terjal selama perjalanan Purwodadi Nongkojajar. Tak ayal, sepedaku hanya bisa melaju 5 Km/jam saja. Langkahku terhenti. Kakiku lemas tak berdaya menghadapi elevasi tanjakan diatas 30 derajat sepanjang 30 Km.
Kabut malam sudah turun. Aku duduk kedinginan di pinggir jalan sempit perkebunan apel Nongkojajar. Sebagai leader, aku putuskan untuk camping disini. Entah dimana. Berniat mensucikan diri di Masjid, kami malah disambut oleh penduduk tengger dengan penuh ramah tamah. Mereka berlomba lomba menawarkan bantuan kepada kami. Hingga kami sungkan sendiri. Teh hangat, mie rebus, dan apel khas Nongkojajar menemani perbincangan kami dengan penduduk sekitar. Aku rebahkan tubuhku sembari menikmati kehangatan yang disuguhkan.
Berada dalam gelimang kenikmatan di rumah salah seorang penduduk tak membuat kami nyaman. Kami malah disibukkan oleh komporku yang rusak. Sudah lama memang tak terpakai. Terus berusaha memperbaiki meskipun peralatan mekanik tak memadai. Sempat terpikir untuk mundur sampai disini saja.
Temanku menolak dengan keras, ”Setiap masalah pasti ada jalan keluar”.
Hingga pagi pun komporku belum juga bisa dinyalakan dengan baik. Spirtus adalah pilihan terakhir. Aku tak punya pilihan lain, perjalanan menuju penanjakan Bromo masih jauh sedangkan matahari terus tergelincir ke barat. Sampai akhirnya, aku memotong kompas melewati jalur Ngawu perkebunan warga. Meskipun konsekuensinya tak melewati penanjakan Bromo, kami tetap melaju untuk menggapai target.
Bulan purnama terbit, kami memasuki gerbang perkebunan warga. Jalan tanah berdebu bergelombang adalah tantangan untuk malam ini. Anjing menggonggong. Hatiku gemetar. Kami ketakutan dikejar anjing penjaga kebun disaat sinar supermoon diselimuti kabut yang menutup pandangan.
Sunrise Bromo sangat memukau. Keindahan matahari terbit diatas awan memompa semangatku untuk melanjutkan perjalanan menyelami lautan pasir Bromo. Perjalanan di tengah padang pasir di bawah terik matahari sangat menyiksa kami. Terlebih tak ada sumber air. Lengkaplah sudah penderitaan kami. Target kami meleset lagi tatkala kenyataan berkata lain. Kami harus tidur di bawah sebatang pohon di tengah luasnya hamparan sabana pasir Bromo.
Padang savana ‘africa van java’ terhampar luas seketika terlihat ketika mataku terbuka. Keindahan menutup semua penyiksaan. Lautan debu penanjakan Jemplang, pertigaan jalur Tumpang-Ranupani-Bromo, telah terlewati. Pencarianku sumber air pada keesokan harinya menuju Ranupani memutar haluanku untuk mendaki gunung Semeru. Timbang menimbang segala sesuatu termasuk logistik, gas, dan waktu tempuh, kami memutuskan nekad mendaki dengan peralatan seadanya.
Target berikutnya, Ranu Kumbolo, camping ground utama jalur pendakian Semeru yang juga termasuk surganya Gunung Semeru, harus tercapai sebelum malam tiba. Kami jalan cepat, terus melaju sesekali berlari untuk mengejar impian. Target tercapai, kami bergegas mendirikan tenda, memasak, makan malam.
Sunrise pagi itu dipenuhi dengan kabut tipis ditengah danau. Selanjutnya, Ranu Kumbolo – Arcopodo. Berangkat lebih pagi dari Ranu Kumbolo berharap sampai di Arcopodo, camping site vegetasi terakhir punggung Semeru, secepatnya. Perjalanan berikutnya sangat pendek (1.5 km) namun paling menguras tenaga karena tanjakannya vertikal 700 meter. Dominasi perjalanan adalah material bebatuan berpasir yang mudah bergeser. Ditambah lagi aturan main untuk savety pukul 9 pagi harus sudah turun. Jadi, pukul 1 pagi harus sudah mendaki start point Acrcopodo untuk mengejar sunrise.
Puji syukur aku panjatkan tatkala menapaki tanah tertinggi pulau jawa. Sunrise terindah berada diatas awan merupakan salah satu pengalaman paling berkesan dalam hidup.
Akhirnya aku pun sadar, setelah sekian lama di perjalanan, rumah adalah tujuan akhirku. Aku kejar semua dengan berjalan menuruni gunung dan bersepeda menembus hutan lebat TNBTS walaupun harus ditempuh malam hari. Pun demikian, makna perjalanan hidup manusia pada hakikatnya adalah kembali pulang pada Sang Pemilik Kehidupan.
Complete Story: http://hafidhmind.wordpress.com/2014/08/18/grand-overland-journey/