Home Lomba Blog KTF 2014 Investasi Abadi Bernama Kebaikan

Investasi Abadi Bernama Kebaikan

oleh

Saya suka sekali travelling. Bukan semata menjelajahi ikon suatu tempat, berfoto selfie, lalu menguploadnya di Facebook agar semua orang tahu bahwa saya pernah menjejakkan kaki di tempat tersebut. Lebih dari itu, saya menyukai kejutan yang tak terduga ketika menjelajahi suatu tempat yang asing. Ketika banyak orang turun dari pesawat langsung menuju ke bus yang akan mengantar mereka ke hotel, saya justru harus berpikir keras alternatif transportasi apa yang harus saya pilih untuk mencapai tujuan yang saya inginkan. Justru itulah seni travelling. Merangkai ketidakpastian untuk menjadi sebuah cerita yang utuh, di mana penulisnya diri saya sendiri.

Semakin banyak saya melangkahkan kaki ke luar rumah, semakin banyak pula saya menemukan dunia tak sekejam yang saya duga. Tatkala orang takut kecopetan, tak bisa berbahasa, dan tersesat jika berlibur secara mandiri, saya justru menemukan keajaiban yang selama ini tak pernah saya temukan. Saya justru menemukan sumber kebaikan baru yang mengubah cara pandang saya tentang dunia. Tinggal bagaimana saya membuka mata, telinga, dan hati saya untuk melihatnya secara utuh.

Maret 2013, saat itu saya baru pertama kali menjejakkan kaki di Bangkok, Thailand. Sebagai orang awam yang tidak tahu apa-apa tentang jalan di Bangkok, saya mencoba nekad pergi ke Chatuchak Weekend Market sendiri. Setelah menikmati wisata belanja dan kuliner, saya pun berniat pulang ke hotel. Hari sudah sore dan jalanan semakin ramai oleh kendaraan bermotor. Saya mencoba bertanya ke penduduk lokal tentang bus yang harus diambil menuju hotel. Hampir semua tidak bisa berbahasa Inggris dan berbicara dalam bahasa Thai.

Rasa putus asa pun mulai menjalar dalam hati. Setelah bertanya tanpa adanya kejelasan, saya mencoba naik salah satu bus yang ditunjukkan tanpa saya pahami ke mana dan di mana saya harus berhenti. Dalam bus, saya semakin frustrasi, di mana orang lokal tidak mampu membantu saya. Tatkala saya hampir menyerah, ada seorang pemuda Thai yang menghampiri saya. Dengan Bahasa Inggris yang terbata-bata, ia menanyakan apakah ada yang bisa ia bantu.

Saya pun menunjuk kertas alamat hotel dengan lemas. Dia mengatakan ia tahu lokasi hotel tersebut. Saya masih pesimis dia sanggup mengantar saya ke hotel yang lokasinya cukup sulit dijangkau itu. Setelah sekian lama terjebak kemacetan, akhirnya bus pun berjalan perlahan dan ia mengajak saya berhenti. Saya pun turun dan berharap tidak semakin tersesat karenanya. Dia pun mengajak saya naik bus lain dan malah membayarkan ongkos bus itu dengan sukarela.

Singkat kata, bus pun berhenti di halte dan ia mengajak saya turun. Ternyata saya diantarkan sampai tepat di depan hotel. Setelah saya mengucapkan terima kasih, dia pun berlalu pergi. Entahlah perjalanan terkadang membawa saya pada logika yang sulit dipahami. Tatkala semua orang sibuk memikirkan sendiri, takut bertemu orang asing, dan malas peduli pada orang lain, justru ada orang Thai yang mau membantu seseorang yang tidak dikenal dari negara lain hingga sampai ke hotel tanpa imbalan apapun.

Perjalanan pun mengajarkan saya untuk menabung investasi kebaikan setiap kali saya mampu melakukannya. Februari 2014, saya bertemu seorang TKW asal Sukabumi yang kebingungan mencari konter pesawat sebuah maskapai yang akan mengantarnya ke Abu Dhabi. Dengan tergopoh-gopoh, ibu ini menghampiri saya dan bertanya ke mana ia harus melangkah. Apalagi Changi Airport sangat luas, ia kebingungan dan tak bisa berbahasa Inggris. Petugas bandara terlihat acuh cuek tak mau membantu karena mereka sibuk dengan urusannya sendiri.

Berhubung waktu pesawat saya masih lama, saya antarkan ibu ini hingga Terminal 3, tempat di mana ibu ini harus melakukan check-in pesawat. Selagi saya mampu, saya rasa saya wajib membantu siapapun yang saya temui. Rupanya kebaikan itu tidak sirna, melainkan selalu ada tatkala saya membutuhkannya.

Tatkala saya berwisata ke Manila, saya kebingungan mencari lokasi hotel selepas dari bandara. Saya naik jeepney dari Ninoy Aquino International Airport Terminal 4 sampai LRT Baclaran. Setelah itu, saya naik LRT hingga Vito Cruz Station. Saya turun dari LRT dengan kebingungan karena lokasi hotel yang sulit ditemukan. Saya bertanya ke beberapa orang, namun tak ada yang memberi jawaban yang memuaskan.

Ketika saya mulai menyerah, tiba-tiba datang seorang pemuda Filipina yang berjalan ke arah saya. Saya pun bertanya dan menunjukkan alamat hotel yang sudah saya booking. Dia pun langsung bersedia mengantar saya sampai ke hotel. Kami sama-sama berjalan, bertanya, dan akhirnya berjuang sampai ke alamat hotel. Setelah sampai, ia pamit dan mengatakan selamat berlibur di Manila. Terkadang saya bingung kok masih tersisa orang baik di dunia ini yang mau mengantar orang asing tak dikenal ke hotel yang lokasinya cukup jauh. Apa yang sebenarnya terjadi?

Keajaiban itu tak sampai di sana. Keesokan harinya, tatkala saya mau pergi ke Intramuros. Saya bingung mau naik jeepney yang mana karena kurang mencari informasi. Saya pun bertanya pada seorang bapak yang sudah agak berumur. Dia pun mengatakan tahu dan akan mengantar saya sampai ke Intramuros karena arah tujuannya sama. Kami pun bersama-sama naik jeepney dan turun di lokasi yang asing buat saya.

Beliau mengantar saya sampai Intramuros dan meninggalkan saya. Saya sudah sangat berterima kasih. Tapi ternyata setelah urusan beliau selesai, beliau menunggu saya di depan Intramuros karena takut saya tersasar selama berlibur di Manila. Alhasil sisa liburan saya di Manila selalu dipandu oleh bapak Filipina yang baik hati. Saya bahkan diajak bermain ke rumahnya. Padahal siapa saya? Orang asing yang baru bertemu, tapi sudah dianggap keluarga baru dengan ramah. Perjalanan membawa saya menemukan keajaiban yang aneh tapi nyata.

Saya terkadang heran mengapa kebaikan itu datang tatkala saya memang benar-benar membutuhkannya. Saya pikir kebaikan itu suatu aset berharga yang harus dijadikan investasi abadi. Saya tak ingin hanya menjadi objek kebaikan, tapi juga subjek yang bisa membantu sebisa saya.

Juli 2014, saya bertemu seorang turis asing yang sedang mencari informasi bus menuju stasiun kereta api Bangkok (Hualamphong). Dia sibuk bertanya, tapi tak ada seorang Thaipun yang bisa menjawabnya. Saya pun menghampiri dan memberitahunya untuk naik ke bus 113. Dia pun mengucapkan terima kasih dan segera berlalu. Bagi saya kebaikan itu layaknya cermin. Ketika kita ingin ditolong orang lain, maka jangan segan membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan kita. Percayalah investasi kebaikan yang kita tanam takkan pernah hilang, melainkan berlipat ganda dan dikeluarkan saat kita membutuhkannya.

Penulis

Daniel Hermawan

Twitter: @danieldh10

Artikel yang mungkin kamu suka