Ketika memutuskan untuk mengunjungi kota Lasem, saya tak pernah benar-benar membayangkan apa yang akan saya temui. Setau saya Lasem itu hanya sebuah kota kecil di jalur pantura. Lasem memiliki batik. Lasem pernah menjadi lokasi shooting film favorit saya, Ca-Bau-Kan. Lasem memiliki pecinan tua. Dan karena 2 hal terakhir inilah saya penasaran ingin mengunjungi kota Lasem.
18 jam perjalanan Jakarta-Lasem via bus. Macet di jalur pantura rasanya tak ada habisnya. Baru jalanan dirasa lancar, tak lama bus yang kami tumpangi kembali tersendat-sendat. Kami disini adalah saya dan suami.
Hari pertama di Lasem kami habiskan dengan beristirahat mengusir lelah dan jalan-jalan santai tak tentu arah. Belum-belum saya sudah merasa jatuh cinta dengan kota kecil ini. Rumah-rumah tua khas Tiongkok berdiri kokoh, berjejer rapi dalam sebuah gang. Pintunya besar berwarna terang seakan memanggil saya untuk bercerita tentang kisah mereka.
Hari kedua saya berkeliling Lasem dipandu oleh Mas Pop, seorang guide yang saya kenal dari akun social media @LasemHeritage. Beruntunglah saya, lewat Mas Pop saya jadi belajar mengenal Lasem lebih dalam lagi.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Klenteng Cu An Kiong. Klenteng tertua di Lasem, dipugar pada tahun 1838. Klenteng ini terletak di desa Soditan, tak jauh dari tepi sungai. Di desa inilah awalnya masyarakat Tionghoa mulai menetap di Lasem.
Kemudian kami mengunjungi Vihara Karunia Dharma yang terletak di belakang Cu An Kiong. The Abandon Vihara, begitu mas Pop menyebutnya. Karena disini cuma ada Tante Widi dan keluarganya yang setia mengabdi menjaga vihara ini. Vihara ini sudah jarang digunakan sebagai tempat ibadah, alih-alih kini lebih digunakan sebagai tempat lokasi shooting. Sama seperti Cu An Kiong, vihara ini pun sempat menjadi salah satu lokasi film Ca-Bau-Kan, dan tante Widi menjadi salah satu peran pembantunya.
Cerita tentang Lasem tak bisa dipisahkan dari batik. Batik Lasem punya sejarah sendiri dalam budaya Indonesia. Batik tulis 3 negri yang tersohor itu salah satunya. Batik tulis 3 negri adalah kain batik yang dibuat dari 3 wilayah yang berbeda, yaitu warna soga dari Solo, biru dari Pekalongan, dan merah dari Lasem. Warna merah pada batik Lasem menjadi ciri khas, hal ini konon katanya karena kandungan mineral pada air di daerah Lasem. Saya mendengarkan kisah ini dari Pak Sigit, seorang pengusaha batik Tionghoa yang jadi sesepuh di Lasem.
Pak Sigit ini merupakan salah pemilik rumah-rumah tua yang sebelumnya saya lihat. Lagi-lagi aku bertemu dengan pemeran pembantu di film Ca-Bau-Kan. Karena rupanya pak Sigit ini ikut berperan di film itu.
Lewat cerita pak Sigit dan mas Pop saya jadi tahu. Rumah-rumah tua yang saya lihat di desa Babagan dan Karangturi itu sebagian besar dulunya adalah rumah tinggal sekaligus rumah batik. Hanya saja sekarang sudah jarang pembatik di Lasem. “Ngga ada anak muda yang mau melanjutkan usaha batik,” jelas pak Sigit.
Selain rumah pak Sigit, saya pun mengunjungi Batik Bu Sutra. Kedua rumah ini serupa. Rumah tua khas Tionghoa. Dimana ujung atap melengkung seperti yang biasa terlihat di atap klenteng. Rumah-rumah ini seperti pendopo, dimana bagian depan adalah ruangan untuk menerima tamu, dan tempat batik ada di bagian belakang.
Selain rumah batik, mas Pop juga mengajak saya bertamu ke rumah lainnya. Rumah Oma Opa, begitu mas Pop menyebutnya. Yang dimaksud Oma Opa disini adalah saudara sepupu yang sama-sama sudah lanjut usia. Lagi-lagi ini adalah rumah tua bergaya Tionghoa.
Rumah tua, klenteng-klenteng, vihara, batik, bukan semata-mata daya tarik dari Lasem. Lasem juga memiliki pantai. Tapi di balik itu semua, Lasem adalah sejarah. Lasem juga memiliki kisah perjuangan. Lasem adalah kota tua yang tak sepantasnya dilupakan.
Sayang waktu berlibur kami telah usai. Saatnya kembali ke ibukota. Harapan saya suatu saat nanti akan semakin banyak orang mengenal Lasem, agar Lasem tak menjadi kota yang terlupakan.
http://dianravi.com/index.php/2015/08/24/tiongkok-kecil-itu-bernama-lasem/