Home Lomba Blog KTF 2017 Tentang Kenapa Saya Jatuh Cinta dengan Edinburgh

Tentang Kenapa Saya Jatuh Cinta dengan Edinburgh

oleh

Kebanyakan turis Indonesia yang ke UK hanya mengunjungi London dan Stonehenge saja. Padahal, dari berbagai kota di Eropa yang pernah saya kunjungi, Edinburgh adalah kota terfavorit saya. Edinburgh adalah ibu kota Skotlandia, salah satu negara bagian Kerajaan Inggris. Ada beberapa pilihan transportasi dari London ke Edinburgh. Yang paling murah tentu saja bus, tapi durasi perjalanan yang bisa memakan waktu hingga 12 jam menjadikan pilihan transportasi ini kurang populer. Mayoritas traveller lebih suka menggunakan kereta cepat dari King’s Cross ke Edinburgh Waverley. Durasinya hanya empat jam dan pemandangannya luar biasa indah.

Meskipun saya mengunjungi Edinburgh pada saat musim panas, tapi saat saya menuruni kereta, saya bisa merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Untunglah saya sudah mengantisipasi hal ini dengan membawa satu coat khusus untuk keliling Edinburgh. Coat ini tidak terpakai lagi ketika saya mengunjungi kota-kota lain karena Eropa daratan tidak sedingin Edinburgh.

Dari stasiun Edinburgh Waverley saya jalan kaki ke Blackfriars Street yang lokasinya hanya selangkah dari The Royal Mile. Saya tidak akan bisa melupakan saat-saat ketika saya menatap The Royal Mile untuk pertama kalinya. Saat itu jam setengah sepuluh malam (atau mungkin lebih cocok disebut sore?) dan matahari sudah hampir terbenam. Saya sempat kebingungan karena gang kecil yang diarahkan oleh MAPS.ME aksesnya sudah ditutup. Akhirnya saya mengambil jalan memutar melalui Jeffrey Street. Di perempatan yang membelah High Street dan The Royal Mile, saya ternganga melihat The Royal Mile yang terlihat seperti kota dari negeri dongeng dengan bangunan-bangunan tua yang menjulang dan burung-burung camar beterbangan. Buat yang pernah membaca Harry Potter, The Royal Mile dan High Street mungkin terlihat seperti Hogsmeade….. kalau Hogsmeade ada di dunia nyata. Walaupun matahari belum sepenuhnya tenggelam, tapi The Royal Mile sudah sepi dari turis, toko-toko tutup, langit terlihat mencekam sementara pekikan camar terdengar jelas di telinga, membuat suasana terasa semakin magis untuk saya.

Di Edinburgh saya memilih untuk tinggal di High Street Hostel. Saya mengambil kamar dormitory khusus perempuan dan berbagi satu kamar dengan sembilan orang lainnya. Walaupun ini adalah akomodasi saya yang termurah di sepanjang Eurotrip dan dengan jumlah teman sekamar terbanyak, entah mengapa saya merasa kualitas istirahat saya justru sangat bagus. Bahkan ketika dibandingkan dengan apartemen luas yang saya tempati sendirian di Praha. Mungkin karena kamar yang kami tempati sangat luas dibandingkan hostel-hostel kebanyakan. Tempat tidur kami juga sangat nyaman, tidak terlalu keras tapi juga tidak terlalu empuk, dengan selimut tebal yang bersih dan hangat. Di dalam kamar ada dua jendela besar menghadap jalan yang dihiasi bunga-bunga. Walaupun tempat tidur saya menghadap jendela, saya sama sekali tidak terganggu oleh sinar matahari. Pertama karena tirai di kamar sangat tebal, kedua karena matahari tidak bersinar terlalu terik disana.

Karena Edinburgh memang bukan kota yang terkenal untuk berpesta-pesta seperti Amsterdam, semua teman sekamar saya sangat rileks. Mereka sudah ada di kamar ketika saya check in, dan banyak yang masih santai-santai di kamar jam sepuluh pagi keesokan harinya. Salah seorang teman sekamar saya yang berasal dari Amerika hanya keluar dari hostel beberapa jam saja setiap hari. Dia lebih suka nonton video dari HP dibandingkan dengan jalan-jalan. Saya juga mengikuti flow yang santai ini dengan senang. Di pagi hari sebelum jalan-jalan, saya membaca novel dulu atau nonton satu episode drama dulu. Saya baru keluar sekitar jam sebelas siang, dan sudah kembali ke hostel lagi sekitar jam lima atau enam sore.

Saya tidak akan mereview semua tempat yang saya kunjungi di Edinburgh karena semuanya bagus-bagus. Saya akan meranking tiga tempat favorit saya yang tidak boleh dilewatkan oleh traveller lain.

Di posisi ketiga adalah Holyrood Palace yang merupakan kediaman resmi Ratu Elizabeth II di Skotlandia. Lokasinya berseberangan dengan Scottish Parliament, dan dapat dijangkau dengan dua puluh menit jalan kaki (atau setengah jam kalau dengan kecepatan siput seperti saya) dari High Street Hostel. Sebenarnya sih saya ingin naik bus saja karena bus disana sangat murah dan saya lumayan sadar diri dengan kondisi pinggang yang renta. Apa daya saya ditolak oleh supir gara-gara uang saya terlalu besar sementara uang recehan saya kurang banyak. Sebagai tips, kalau kalian tidak punya day pass, jangan lupa siapkan banyak recehan karena bus di Edinburgh hanya menerima uang pas. Untungnya suhu dingin membuat jalan kaki tiga puluh menit terasa ringan. Saya juga menikmati bangunan-bangunan dan toko-toko yang saya lewati. Terkadang saya masuk dulu untuk melihat-lihat souvenir seperti kilt atau teh lokal. Tapi saya tidak beli sih karena saya masih harus ke enam kota lagi dan tidak ingin menambah banyak beban di awal perjalanan.

Tiket masuk Holyrood Palace harganya 12.5 pounds sudah dengan audio guide. Jadi tidak hanya melihat-lihat interior istana tapi juga mendengarkan sejarah istana ini dari jamannya James IV hingga Ratu Elizabeth II. Kita juga bisa menikmati puing-puing Holyrood Abbey dan taman istana yang tertata rapi dengan latar belakang Arthur’s Seat.

Sebenarnya setelah mengunjungi Holyrood Palace, lebih direkomendasikan untuk langsung lanjut mendaki Arthur’s Seat dan menikmati pemandangan dari atas bukit. Saya sempat bimbang di kaki bukit. Saya baru saja sembuh dari sakit dan ini baru kota kedua dari delapan kota yang saya kunjungi. Walaupun pendakiannya bukan tergolong pendakian berat, tapi kalau saya nekat dan sakit saya kambuh lagi, bisa dipastikan saya akan kesulitan berpindah-pindah kota sendirian. Walaupun dengan berat hati, saya memutuskan tidak mendaki Arthur’s Seat di kunjungan pertama saya ke Edinburgh. Entah kenapa saya merasa saya akan mengunjungi Edinburgh lagi di masa yang akan datang.

Di posisi kedua adalah Calton Hill dan National Monument of Scotland. Dibandingkan Arthur’s Seat, bukit ini lebih gampang diakses namun pemandangan yang ditawarkan tetap luar biasa. Dari satu sisi bukit saya bisa melihat kota tua Edinburgh dengan bangunan-bangunannya yang menjulang, dari sisi lainnya saya bisa melihat bagian kota yang lebih baru dengan latar belakang lautan. Angin berhembus kencang di tempat ini. Saya merasa sangat rileks dan tidak segan untuk tiduran di atas rumput. Pemandangan kota dan lautan di depan saya, mahasiswa dan pasangan-pasangan yang sedang ngedate di sekitar saya. Coba ada bukit seperti ini di dekat kosan saya, mungkin saya bakal menghabiskan waktu seharian untuk membaca novel di tempat seperti ini dibandingkan di dalam kamar kos.

Di posisi pertama adalah Kastil Edinburgh dan The Royal Mile. Saya menjadikan dua tempat ini menjadi satu paket karena untuk ke Kastil Edinburgh memang harus melewati jalanan The Royal Mile yang mendaki. Di The Royal Mile sendiri ada banyak spot-spot yang harus didatangi seperti Gladstone’s Land (bangunan yang sudah ada sejak abad 17), Outlook Tower (tempat dimana kita bisa menikmati ilusi dan kamera obscura) dan St Giles Cathedral yang menjadi lokasi upacara-upacara penting di Edinburgh. Bagian terfavorit saya disini adalah pertunjukan musik bagpipe jalanan dan seniman jalanan dengan kostum-kostum unik. Walaupun di London juga ada musisi jalanan yang memainkan bagpipe, tapi feelnya tetap saja beda dengan yang di Edinburgh.

Saat saya menjelajahi The Royal Mile, kebetulan sedang ada Annual Taxi Trade Kids Outing yang merupakan acara charity dimana seratusan anak-anak kecil dengan kebutuhan spesial diajak berkeliling dengan taksi-taksi yang dihiasi dengan balon-balon dan dekorasi warna-warni. Penumpangnya membawa pistol air dan menembakkannya ke semua orang yang menonton di trotoar, termasuk saya. Saya sedang sibuk mengetawai penonton lain yang kena semprot ketika wajah saya menjadi sasaran (bye-bye alis yang baru digambar). Belum saya selesai mengetawai nasib, saya sudah kena semprot lagi oleh taksi berikutnya. Saya melanjutkan jalan kaki ke kastil dengan rambut dan kemeja basah, namun dengan wajah penuh tawa.

Tidak kalah dengan The Royal Mile, Kastil Edinburgh juga menawarkan banyak hal untuk dieksplor. Ada Royal Palace, The Great Hall, Crown Jewel yang hanya bisa saya lihat namun tidak boleh difoto, Kapel St Margaret, Mons Meg yang merupakan senjata terbesar di jaman medieval, dan one o’clock gun yang hanya ditembakkan pada jam satu siang sejak tahun 1861 untuk membantu navigasi kapal. Karena saya sudah tahu jadwalnya, saya berkeliling-keliling dulu melihat area lain kastil dan baru menuju one o’clock gun lima menit sebelum jam satu. Sudah ada ratusan pengunjung yang menunggu acara ini. Ketika sudah jam satu tepat, tiba-tiba sudah terdengar letusan kencang saja yang mengagetkan. Tidak lama pun kerumunan bubar dan saya pun melanjutkan jalan-jalan keliling kastil. Tak lupa saya mengambil foto-foto panorama Edinburgh dari atas.

Selain tiga lokasi yang saya sebutkan diatas, masih ada banyak tempat yang bisa dikunjungi di Edinburgh. Pecinta Harry Potter tidak boleh melewatkan The Elephant House, tempat lahirnya Harry Potter. Ada lagi yang namanya Greyfriars Kirkyard, area perkuburan yang terkenal sebagai lokasi tour hantu dan Resurrectionists Tour. Bagi pecinta museum, tidak boleh melewatkan National Museum of Scotland dan National Gallery Scotland.

Secara keseluruhan, Edinburgh sebenarnya bisa dijelajahi dalam waktu beberapa hari saja dengan jalan kaki. Tiga hari juga sudah cukup untuk mengunjungi tempat-tempat wisata utama, tapi karena saya sangat menyukai atmosfernya, mau tidak mau saya merasa sangat berat ketika saya harus meninggalkan Edinburgh. Jujur saja, saya jadi membanding-bandingkan kota-kota yang saya datangi berikutnya dengan Edinburgh. Saya ingin mendapatkan rasa terpesona seperti yang saya dapatkan disini. Masalahnya tidak adil membandingkan Amterdam yang terkenal dengan pesta dan kanal-kanalnya atau Praha dengan dengan jembatan-jembatan cantiknya dengan Edinburgh karena memang daya tarik yang mereka tawarkan berbeda. Tapi setidaknya saya jadi memahami preferensi saya sendiri. Saya rupanya memang slow traveller yang lebih suka kota-kota kecil dengan pemandangan cantik dibandingkan dengan kota-kota besar yang sibuk.

Oleh : Mega Savitri Aniandari

[gravityform id=”40″ title=”true” description=”false”]

Artikel yang mungkin kamu suka