Home Lomba Blog KTF 2017 Bauran Seni, Sejarah, dan Budaya di George Town

Bauran Seni, Sejarah, dan Budaya di George Town

oleh

Cuaca terik tak menyurutkan niat saya untuk menelusuri jalan-jalan kecil di George Town, kota kecil yang cukup tenar di kalangan pejalan dunia. Biarpun kasur empuk dan sejuknya udara dari pendingin ruangan seperti merayu-rayu untuk tetap mengurungkan diri di balik selimut. Maklum, saya baru sampai dari Kuala Lumpur pagi sekali dan sedikit istirahat harusnya tak masalah. Namun karena takut terlalu terlelap sehingga melewatkan banyak waktu, saya pikir lebih baik mengakhirkan istirahat di malam hari saja.

Secara geografis, George Town terletak di Pulau Pinang yang berada di sebelah barat semenanjung Malaysia. Sedangkan dalam struktur kedaerahan, Pulau Pinang berada dalam negara bagian Penang. Memang agak berbeda dengan negara kita soal struktur kedaerahan ini sehingga masih banyak yang keliru menyebutkan Penang itu sebuah kota.

Selama di George Town, saya menginap di East Indies Hotel yang terletak di Lebuh China, hanya berjarak 100 meter dari pusat kota. Hotelnya sendiri memang berupa bangunan tua yang dialihfungsikan menjadi hotel. Hampir semua struktur bangunan masih seperti aslinya. Nuansa pecinan kuno amat kental terasa di dalamnya. Ada juga foto-foto kuno yang konon pemilik rumah ini di tahun 1800-an. Tentunya juga ada perkakas, lukisan, lemari, dan bahkan kuno yang disusun rapi menjadi ornamen hotel.

Keluar dari hotel, saya berjalan menuju Lebuh Armenian. Saya ingin sekali berburu mural yang terlukis cantik di dinding-dinding bangunan. Terkadang, mural-mural ini tersembunyi di gang-gang kecil atau di balik warung tenda. Untungnya, ada peta yang membantu saya menunjukkan di mana mural-mural ini berada.

Meski tak begitu mengerti seni, siapapun tak akan jemu menghabiskan waktu melihat keunikan mural-mural ini. Terkadang, seni itu tak perlu dimaknai serius. Setidaknya itu menurut saya. Bagi kebanyakan orang seperti saya, seni itu dirasa dan dinikmati. Dari sekian banyak mural, lukisan anak bersepeda dan ayunan kerap jadi spot foto hingga banyak orang rela mengantri. Memang tak lengkap rasanya ke George Town tanpa mengambil foto di kedua mural ini. Beberapa mural juga ada yang sangat sederhana. Salah satu contoh mural kucing berjejeran di samping saluran air. Sangat mungkin banyak orang melewatkannya karena tak begitu kentara terlihat. Apresiasi tinggi untuk para seniman yang menggambar semua mural ini dengan segala makna dan penempatannya yang terkadang tak terduga.

George Town tak hanya tentang mural. Lebih dalam lagi, Pulau Pinang secara umum juga erat dengan sejarah di mana di awal abad 15, para pelaut Tiongkok tercatat sampai di semenanjung Malaka untuk melakukan perdagangan. Raturan tahun kemudian, Penang menjadi bagian dari kesultanan Kedah sampai di akhir abad 18, Inggris mengambil alih Pulau Pinang sebagai daerah koloni. Seperti juga beberapa daerah di Indonesia, arsitektur Inggris jelas terpatri pada beberapa bangunan penting di kota ini. Memang banyak bangunan bersejarah dari zaman koloni Inggris yang masih tegak berdiri dan dialihfungsikan menjadi bank, hotel, ataupun bangunan pemerintah.

Di setiap sisi kota, corak Melayu kuno tetap menjadi mayoritas. Golongan bumiputera, istilah untuk etnis suku Melayu, memang masih menjari mayoritas penduduk di Penang walaupun tak berbeda jauh jumlahnya dengan etnis keturunan Tiongkok. Sisanya, sekitar sepuluh persen penduduk keturunan India dan etnis lain. Jadi tak perlu heran ada Lebuh India yang dipenuhi warga etnis yang tentunya beragama Hindu.

Pemerintah mengatur seluruh arsitektur bangunan tidak boleh diubah sehingga masih sangat terlihat corak budaya aslinya. Komitmen ini membuahkan hasil di tahun 2008 saat George Town dinobatkan oleh lokasi warisan dunia oleh UNESCO. Dari sini, pendapatan warga dan kota dari pariwisata semakin meningkat.

Langkah saya sampai di ujung sebuah jalan. Senyum terurai saat melihat puntung-puntung rokok raksasa seakan menembus dinding. Tentu saja bukan puntung rokok sebenarnya. Di bawahnya ada mural seseorang yang memakai masker tebal. Lagi-lagi karya unik ini jadi ekspresi seni sang seniman yang mengundang decak kagum turis-turis yang lewat. Pesan sederhana tentang bahaya rokok namun dikemas dengan amat tak biasa.

Keesokan harinya, memutuskan menaiki bis wisata dengan atap terbuka membuat saya bisa terduduk santai mengelilingi Pulau Pinang sambil menikmati sejuknya angin yang bertiup dan menyamarkan terik matahari. Saya sampai di Bukit Penang siang itu. Untungnya karena bukan hari libur, tak begitu banyak pengunjung sehingga antrian pun belum mengular. Cuaca pun sedang bagus-bagusnya dengan langit cerah bermosaik gumulan awan. Pemandangan luar biasa dari atas sini. Padatnya bangunan di tengah kota, pepohonan hijau dan perbukitan yang mengelilinginya, birunya air laut, dan putihnya awan membuat kolase pemandangan yang sempurna. Saya jadi ingin sedikit berlama-lama sambil menyeruput teh manis dan mengudap kentang goreng.

Saya turun di halte dekat pantai saat hari menjelang sore. Matahari sudah mulai condong ke barat. Kampung Jetty, pemukiman di atas laut yang konon sudah berusia ratusan tahun, jadi tujuan selanjutnya. Di depan pemukiman, gapura besar warna merah dengan ornament naga khas Pecinan menyambut kami. Masuk ke pemukiman, aroma dupa yang dibakar sudah tercium. Semua bangunan dan jalan terbuat dari kayu-kayu yang tersusun sejajar. Tak ada semen, apalagi aspal. Toko-toko sudah tutup. Tak banyak kegiatan terlihat. Kebanyakan penduduk sudah kembali ke tempat tinggalnya untuk bersiap menutup hari.

Di ujung kampung, suasana tenang kian terasa. Hanya lompatan yang memisahkan laut dengan lantai kayu tempat saya berdiri. Tak terdengar lagi suara kendaraan. Hanya ada suara burung dan desiran ombak. Bagi saya yang tak terlalu suka keramaian, suasana seperti ini selalu dicari. Di ufuk barat, matahari mulai terbenam dan malam pun menjelang. Hari terakhir saya di Penang ditutup dengan amat berkesan.

Di sebuah warung kecil, saya memesan segelas teh tarik hangat. Entah kenapa, menurut saya, rasa teh tarik ini berbeda dengan yang biasa saya pesan di kafe-kafe di Jakarta. Mungkin rasa sentimentil yang turut andil menambah kenikmatan. Semakin saya jauh melangkahkan kaki, semakin saya sadar kota ini sejatinya adalah bauran banyak hal. Ungkapan seni di ujung-ujung jalan dan sudut-sudut kota. Juga catatan sejarah panjang dari ratusan tahun lampau. Dan tentu saja, beragam corak budaya yang selalu berhasil jadi daya tarik bagi siapapun yang sudi singgah.

Oleh : Bayu Adi Persada

[gravityform id=”40″ title=”true” description=”false”]

Artikel yang mungkin kamu suka