Home Lomba Blog KTF 2014 Solok dengan K: Esensi dari Alam Semesta

Solok dengan K: Esensi dari Alam Semesta

oleh

Solok dengan K: Esensi dari Alam Semesta

 

“Solok. Dengan K.”

Berulang kali harus kujelaskan kepada kolega bahwa Solok tempat asalku memiliki huruf ‘k’ di belakangnya, yang menandakan keberadaannya berada ratusan kilometer jauhnya dengan Solo, tanpa ‘k’.

Tak ada yang menarik di kota kecil yang terdampar dua jam jauhnya dari ibukota provinsi, Kota Padang. Hanya ada lahan berhampar sawah dan ladang berhampar rempah. Hanya ada sungai yang membelah kota sama besar. Hanya ada danau dan hutan. Hanya ada rumah dan lurah. Lalu aku, dan budayaku.

Tetap saja, harus aku pulang. Meraung bersama kijang, kuhampiri lagi “desa”-ku. Menantang medan, melintasi jurang, aku kembali pada atap yang cerah jauh dari gelapnya racun kimia. Setidaknya, selama seminggu ke depan, paru-paruku lebih sehat.

Singgahlah aku kepada Sarasah Aia Batimpo. Udaranya segar, pohonnya rindang. Air terjun ini begitu terkenal, bahkan dinyanyikan oleh pelantun tembang-tembang dari Ranah Minang. Biasa saja. Hanya ada runtuhan tetes demi tetes air terhempas menuju tanah, menyentuh setiap helaian daun yang sudah gugur terlebih dahulu. Biasa saja. Hanya ada suara serangga dan hewan-hewan melata. Biasa saja dengan langit yang biru yang tepat menyentuh pepohonan berwarna hijau yang matang. Biasa saja: bukankah ini esensi dari alam?

Tak heran jika Ibu tetap memaksa singgah di Sarasah. “Kebiasaannya” itulah yang berbeda dengan domisiliku, Bandung—di mana angkot berpacu merebut penumpang dan mahasiswa bergelut dengan waktu: tempo seperti lagunya Metallica. Namun, di tepian Sarasah, berbagai spesies burung tampak mengulur waktu, menyiapkan lelap yang paling nikmat agar penatku bertransformasi menjadi sedap. Kehidupan a la rural yang tak pernah lagi kucicipi sehabis terlena dengan mall dan highway. Sudahlah, masih ada enam hari lagi.

Esoknya, ku putari sawah dan ladang: kordio pagi yang sempurna. Masih ada kerbau! Masih ada petani! Mereka menyapaku yang sedang berlomba dengan stopwatch dan smartphone yang mencatat jarak tempuh. Sepatu lariku melesat, dan bangau menyorakiku. Bintang yang awalnya berkilauan ditiup oleh matahari yang mulai tampak. Sejak pindah ke Bandung, baru kali itu kusaksikan matahari keluar dari persembunyiannya, di bawah luasnya sawah yang menguning. Lagi-lagi biasa. Namun apakah pernah “kita”, sang metropolis, benar-benar mengalaminya? Bukankah ini adalah esensi dari alam?

Kunikmati kopi bersama para petani. Kami menghadap kepada air yang berlari menyusuri sungai, membelah batuan, meresap pada tanah. Begitu nyaman, begitu alami, begitu teduh, begitu biasa. Kuhirup lagi aroma kopi asli Pasaman itu. Ah, cukuplah perasaan yang bisa menjelaskannya.

Dalam beberapa hari selanjutnya, kusempatkan diriku berkunjung ke Danau Singkarak, yang pernah dikelilingi pebalap sepeda untuk meraih tropi-tropi dan uang hadiah dari kucuran keringat dan latihan keras—juga untuk meraih sebuah pemandangan langka di milenium yang begitu anti-kampung ini.

Danau Singkarak punya pinggiran seperti pantai berpasir. Batu-batu berukuran super juga terdampar di sekelilingnya. Jika dicermati, ada pensi—sejenis kerang kecil—yang hidup berkoloni di area pantai. Beberapa pedagang rujak buah dan mie instan dengan pondok-pondok kayu mereka juga menghangatkan suasana dinginnya angin danau. Kuliner sedap khas Minangkabau juga tak kalah hadir di sana: mulai dari pangek bada hingga samba lado hijau. Entah apa yang membuatku rindi akan makanan-makanan ini… yang pasti rasanya jauh lebih enak dari restoran cepat saji yang menjamur di kota kembang.

Singkarak yang lembap dan sepoi adalah kontras yang nyata bagi Sirukam yang dipenuhi spesieh-spesies kayu yang daunnya memerah—mungkin karena panas. Dari atas bukit itu tampaklah sisi kota—rumah-rumah bertingkat, kantor-kantor pemerintahan, rumah gadang yang megah, bangunan-bangunan tua, bangunan-bangunan modern, dan megaarsitektur lainnya—yang dikelilingi oleh sekumoulan spektrum warna hijau, kuning, dan merah yang meneduhi kota yang sedang berkembang menuju peradaban modern itu.  Sirukam yang tinggi menjadi saksi bagi erupsi Gunung Talang beberapa waktu lalu. Namun, Sirukam tetap indah, tetap biasa—menjadi salah satu esensi, lagi, bagi alam.

Gunung Talang sendiri juga punya keindahannya. Walau tak sempat kudaki, mencicipi indahnya lukisan Tuhan itu saja sudah membuatku berdecak kagum. Konon katanya, Gunung Talang dan lingkungannya adalah surga biodiversitas bagi masyarakat Sumatera Barat. Sayangnya, kondisi “batuk-batuk” yang sedang diidam oleh Tuan Talang tak mengizinkanku melakukan ekspedisi menyusuri dan mendaki gunung.

Tak apa-apa. Masih ada Puncak Payo yang tak kalah indahnya. Tak kalah juga tingkat biodiversitasnya. Puncak Payo adalah tempat asal kami. Dari ladangnyalah nenek bisa makan. Dari sungainyalah ibu bisa mandi sebelum ke sekolah. Walaupun sudah benar-benar berbeda kasusnya untuk seorang “aku”, si metropolis, masih saja ada relasi yang terasa melekat antara aku dan Puncak Payo. Oh, tempat tinggal nenek jauh lebih nyaman dari kos-kosan jutaan rupiah di daerah Dago Asri. Jika ada yang harus menggambarkan indahnya Puncak Payo, cukup nyanyikan Rayuan Pulau Kelapa agar lebih tenang dan lebih dekat kiranya dengan yang kulihat.

Lelah dengan hijau, mungkin ada baiknya aku susuri pasar tradisional yang begitu ramai. Genangan air hujan di mana-mana dan lalat di mana-mana adalah sensasi tersendiri yang tak bisa dirasakan di lorong-lorong toko serba ada di berbagai pusat perbelanjaan. Pedagang sayuran yang berteriak harga, dan pedagang ikan yang berteriak “segar”, tampaknya begitu mengenal nenekku. Dengan jurus-jurus tawar-menawar yang tak pernah kukuasai, nenek melancarkan aksinya: membeli yang paling berkualitas, dengan serendah-rendahnya kuantitas. Sungguh, nenek begitu ahli; jika ada gelar doktor dalam masalah tawar-menawar, tentu nenek bisa dengan mudah lulus beserta gelar “dengan pujian”.

Di hari terakhir, berhasil kususuri tempat-tempat tersembunyi lainnya: Sungai Batang Lembang yang benar-benar membelah kota, gedung-gedung kecil yang eksotis, pondok-pondok bambu di sudut-sudut kota, serta orang-orang yang ramah dan penuh budaya… bahkan sempat aku hadiri upacara khitanan sepupuku yang begitu meriah, dengan pembantai kambing dan segala macamnya.

Namun, dari segala hal yang ada, aku perlu bersyukur bahwa aku berjalan dalam dualisme: Minangkabau yang luhur dan berbudaya agung, serta Metropolitan yang berdedikasi dan berintelijensi tinggi. Aku perlu mencatat dan mencamkan bahwa sejauh apapun sayapku terbang, Solok—dengan k—adalah tempat di mana pada akhirnya aku ingin kembali. Biasa saja; semua orang rindu akan kampung halamannya, pada akhirnya. Namun, bukankah itu adalah esensi dari alam semesta?

Penulis

Alief Moulana

Twitter: @AliefMoulana

Artikel yang mungkin kamu suka