Lautan pasir berwarna emas kecoklatan, padang tandus yang gersang, unta, dan pria bersorban. Itulah gambaran tentang Gurun Sahara di film Lawrence of Arabia, film lawas peraih 7 piala Oscar di tahun 1963. Saking terkenalnya film ini, banyak orang yang lantas ingin melawat ke gurun terbesar di dunia ini dan merasakan keindahan gurun yang terekam di film itu.
Merzouga adalah salah satu kota di Tenggara Maroko yang menjadi gerbang untuk masuk Gurun Sahara. Kota kecil ini berjarak sekitar 560km dari Marrakesh, dan hanya berjarak 50km dari perbatasan Aljazair.
Tak sulit untuk menuju ke sini. Di kota Marrakech banyak ditawarkan paket tur untuk menuju Merzouga dan menginap di tenda Berber di tengah gurun sehara. Harga yang ditawarkan juga hampir sama, untuk paket perjalanan 3 hari 2 malam, harganya berkisar 850-950 Dirham atau setara dengan sekitar Rp 1 juta hingga Rp 1,3 juta. Jika tidak punya waktu banyak, seperti saya dan kawan-kawan, bisa ikut paket perjalanan 2 hari 1 malam. Harganya lebih murah, sekitar 650-750 Dirham atau setara dengan Rp 800.000 sampai Rp 1 juta.
Untuk menuju Gurun Sahara dari Merzouga, para wisatawan bisa menaiki jeep atau unta. Kami jelas memilih menaiki unta ketimbang jeep yang bisa saya naiki di Indonesia. Namun, menaiki unta ternyata tak semudah yang saya kira. Cukup mendebarkan dan melelahkan. Sang pemandu, seorang remaja dengan gamis dan sorban, mesti menepuk kepala untanya hingga sang unta yang tadinya berdiri menurut perintah sang majikan untuk duduk. Saat unta duduk itulah, saya mesti naik ke punggungnya sambil berpegangan erat. Pegangan saya harus tambah erat saat unta bangkit dari duduk karena saat itulah saat yang mendebarkan. Sang unta akan bangun secara tiba-tiba, membuat orang yang tak berpegangan erat bisa terjatuh karenanya. Jantung saya berdegub kencang, kaget oleh sentakan gerakan unta yang tiba-tiba.
Secara berurutan, satu persatu kawan saya naik ke punggung unta. Setelah masing-masing unta diikat dengan tali dan disatukan dengan unta di depan dan belakangnya, Yusuf, sang pemandu, ditemani seorang pamannya membawa kami berenam menyusuri padang pasir yang tandus. Sepanjang perjalanan, kami hanya melihat hamparan pasir, pasir, dan pasir. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tak ada kaktus seperti yang kami kira. Hanya ada semak-semak yang kering. Tandus.
Dua jam lebih kami berada di punggung unta itu, mencoba menyeimbangkan diri agar tubuh tak miring saat sang unta berjalan penuh hentakan, sebelum akhirnya kami sampai di sebuah bukit pasir tertinggi di sana. Dari atas bukit itulah kami diajak melihat matahari terbenam di tengah padang pasir. Ketika matahari mulai meredup dan menyisakan warna emas di ufuk barat, warna padang pasir pun berubah menjadi keemasan. Indah luar biasa.
Begitu matahari hilang dari pandangan, kami menaiki unta kami menuju penginapan: tenda suku Barber. Ada beberapa tenda di sini, dibentuk mengelilingi sebuah lapangan yang tak terlalu luas. Tampak beberapa wisatawan yang berkumpul di tengah lapangan, bernyanyi dan menari diiringi musik khas Barber, di depan api unggun yang menjadi satu-satunya penerangan di sana.
Setelah makan makanan khas Maroko, Couscous dan Tagine, kami tidur dengan lelapnya. Selain musik yang dimainkan hingga tegah malam, tak ada suara lain di sini. Benar-benar sunyi, senyap, dan
tenang. Jika melongok ke luar jendela, tampak ratusan bintang bertaburan di atas sana. Menambah kehidmatan malam kami di tengah gurun Sahara.
Esok pagi, kami kembali menaik sang unta, menuju ke Merzouga. Kembali ke pinggiran sahara dengan membawa pengalaman luar biasa, naik unta dan bermalam di gurun terbesar dunia.
Oleh : Rahma Yulianti
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting