Home Lomba Blog KTF 2014 Rinjani Selalu di Hati

Rinjani Selalu di Hati

oleh

Hari kedua lebaran alias 2 Syawal 1435 H alias 29 Juli 2014, kami berangkat dengan menggunakan pesawat menuju Lombok. Iya, hari kedua lebaran.
Di saat orang lain masih berkumpul dengan keluarga, kami ber-sembilan-belas memutuskan untuk naik gunung. Balada karyawan dengan cuti yang terbatas ya begini ini. Paling gak bisa liat tanggal merah.

Kami memulai pendakian di tanggal 29 Juli 2014 pukul 16.00, melalui Desa Sembalun. Rute pendakian hingga Pos 2 masih termasuk landai. Kami memutuskan untuk camping di Pos 2 karena hari sudah malam. Esok paginya kami mulai melanjutkan pendakian menuju Pos 3, trek yang dilalui sungguh memanjakan mata meski cukup terik. Padang sabana di kanan dan kiri jalur. Adakah yang pernah mendengar nama Bukit Penyesalan? Saya sendiri menyebutnya Bukit PHP. Diatas bukit masih ada bukit, begitu seterusnya sampai 7 bukit. Sungguh menguras energi dan hati (loh?).

Pukul 16.00 kami pun tiba di Plawangan Sembalun, area camping sebelum melakukan summit ke Puncak Gunung Rinjani. Keesokan harinya pukul 02.00 kami pun memulai perjalanan 1.000 meter vertikal menuju puncak. Angin dingin yang menerpa membuat saya merasa mengantuk, jalan pun sambil merem-melek. Pukul 05.00, sekitar 400 meter vertikal sebelum puncak, kami pun solat subuh. Diantara bebatuan yang sanggup menghadang dinginnya angin. Meskipun lebaran hari kedua ngacir tapi solat gak boleh ngacir juga dong hehe.. Kebetulan saya sendiri sedang tidak solat, tapi pengalaman solat diatas ketinggian 3.000 mdpl sungguh luar biasa.

Mentari mulai terbit dari ufuk timur, mengiringi perjalanan kami menuju puncak. Selangkah dikurangi setengah langkah kami terus berjalan. Sesekali debu pasir menerpa wajah kami. Sesekali berhenti untuk menarik nafas dan menepuk lutut yang sudah lelah. Sungguh saya teramat beruntung memiliki rekan-rekan seperjalanan yang solid. Dengan dibantu dua kawan, saya yang kelelahan diakhir 100 meter pun diseret. Pasrah dan diseret.
“Ayo sedikit lagi, itu puncak di depan mata.” – teriakan Abdul, yang menyemangati saya.
Kami ber-sembilan-belas dengan terbagi menjadi tim-tim kecil pun tiba di puncak Gunung Rinjani, 3.726 mdpl. Puncak Gunung Agung pun tampak dikejauhan. Rasa syukur menyelimuti hati ini. Sebuah pelajaran yang teramat mahal bagi saya. Pelajaran mengenai ego. Bagaimana dua orang kawan yang bisa berlari untuk mencapai puncak, nyatanya malah tidak meninggalkan saya.
“Buat apa kita nyampe puncak tapi ninggalin temen” – Boim, ketua sekaligus sweeper sekaligus yang nyeret saya sampe puncak.
Setibanya di puncak, saya sebagai orang terakhir dari rombongan hanya bisa bengong dan kedinginan. Lima orang kawan perempuan pun memeluk saya supaya hangat, dan saya hanya bisa menitikan air mata haru.
Mendaki gunung bukanlah untuk menaklukan puncak, melainkan diri sendiri.
Rinjani menjadi memoar perjalanan hati tentang persahabatan.

 

Penulis

Caecilia Eka A.W.S.

Twitter : @leaws