Home Lomba Blog KTF 2014 Surga di Garis Wallace

Surga di Garis Wallace

oleh Mahansa Sinulingga

Mid 2014

 


Jakarta – Makassar – Rantepao – Ampana – Poso – Ampana – Togean – Gorontalo – Manado – Jakarta

 

 

 

Halo penduduk planet bumi yang normal dan menjenuhkan! Ya, ini artikel ke-3 dari saya berjudul “Tour de Celebes”. Ini merupakan tulisan perjalanan pertama saya konsepnya tetap seperti bisul di pantat, menyebalkan.Jadi jika kalian mengharapkan informasi yang penting tentang traveling ke sulawesi saya sarankan baca blog orang lain saja, mungkin mereka bisa lebih membantu. WEK! #adatbolehdiadu

Sebelum saya lanjutkan tulisan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih dulu ya kepada Mbak Dea Sihotang dengan blognya ; http://deasihotang.wordpress.com/ yang sudah menginspirasi saya untuk menuliskan cerita perjalanan saya. Sebelum Tour de Celebes ini saya hanya mengabadikan kenangan traveling ke dalam format .jpg saja, sempat kepikir untuk menulis tapi malas. Entah kesambet apa pas baca blog Mbak Dea Sihotang kok tiba-tiba hawa ingin menulis begitu besar. Dilanjut ya..

Oke jadi trip ini saya sudah rencanakan dari tahun 2013,bersama dua sahabat saya Nawem & Iras, kita sudah beberapa kali kita traveling bareng. Kebetulan saya yang terpikir untuk membelah Sulawesi dan prioritasnya adalah perjalanan, bukan destinasi. Efek membaca cerita perjalanan dan penelitian Alfred Wallace (belum tau dia siapa? nih http://en.wikipedia.org/wiki/Alfred_Russel_Wallace ) dan setelah membaca buku Ring Of Fire karya Lawrence Blair (link: http://www.amazon.com/Ring-Fire-An-Indonesia-Odyssey/dp/981426010X ) , saya menggebu untuk menjelajah Sulawesi. Dua sahabat saya itu langsung mengangguk setuju macam boneka Mr.Bean di dashboard kijang kapsul. Begini rute awal nya;

 

 

peta disiapkan setahun,hari H malah lupa bawa

 

















 

 

 

 

 

 

 

 

 

Start dari Jakarta – Makassar – Rantepao Toraja – Palopo – Ampana – Togean – Gorontalo – Manado – Sangihe – Manado – Jakarta. Namun akhirnya kita coret Sangihe, bukan karena apa-apa tapi karena alasan……………………………(nungguin?). Rencana awal sekitar 12-13 harian, kita cut menjadi 9 hari. Untuk menambah seru kita tidak booking penginapan sama sekali dari Jakarta, cuma googling untuk transportasi saja.

 



Day 1

 

Jakarta – Makassar (1.417 km – 2 jam – pesawat)

 

 

 

Hari-H tiba, kita mengambil 1st flight Jakarta – Makassar (tradisi saya pribadi kalau 1st flight anti mandi pagi apapun urusannya), banyak maskapai untuk rute ini (googling sendiri!) , rata-rata harganya sekali jalan sekitar Rp.600.000-an , kita beli harga reguler. Tiba di Bandara Sultan Hasanuddin kita cukup kaget dengan megahnya bandara Sultan Hasanuddin, mirip punya Lombok yang baru cuma lebih besar, tapi saya pribadi sih kurang suka arsitektur model modern begini. Menurut saya kurang Indonesia, saya justru suka Bandara Soekarno-Hatta Terminal 1, kental nuansa lokalnya. Kalo saya jadi Presiden, saya akan mewajibkan Angkasa Pura mendesign bandara ada unsur arsitektur lokal daerahnya masing-masing. (beuh! presiden ciamik)

 

 

 

 

bandara sultah hasanuddin

 

 

Di Bandara kita langsung dijemput sepupu istri saya, Lanor yang sangat berbaik hati begitu tau saya akan tiba di Makassar dia menawarkan untuk menjemput dan mengantar kemana tujuan kita. Langsung kita menuju Terminal Bus Litha di kota karena harus beli tiket bus Makassar – Rantepao (Toraja) yang akan berangkat malam itu juga jam 9:00pm. Kita pilih Bus Litha yang AC tiketnya seharga Rp……….BAKEKOK! (ini gampang cari di google karena ini rute super populer, ga mahal pokoknya dan nyaman). Setelah beli tiket bus, kita kembali ke arah Bandara karena untuk ke Desa Rammang-Rammang kita harus melewati jalur Bandara.

Kita minta diturunkan di Airport saja, karena Lanor sendiri yang asli Makassar tidak tahu jalan ke Desa Rammang-Rammang (bahkan belum pernah dengar, dan banyak orang Makassar sana yang tidak tahu tentang ini), sebelum naik pete-pete (bahasa lokal untuk angkot) kita makan di restoran Padang dong kebetulan kita bertiga kompak dan “seiman” dalam hal traveling, wisata kuliner sama sekali bukan prioritas kita dalam perjalanan.

Kita turun di depan pabrik Semen Boswa (semua disana tau pabrik ini), lalu jalan kaki masuk ke dalam sekitar 1.5 km sampai ketemu jembatan kecil. Di sisi kiri jembatan ada dermaga kecil untuk perahu menuju ke Desa Rammang-Rammang. Setiba disana kita celingak-celinguk karena sepi, di seberang jalan ada warung cuma diisi sama bocah-bocah pulang sekolah pantaran umur 10 tahunan. Melihat muka kami bingung, mereka datangi kami dengan bahasa Makassar menawarkan perahu nyeberang ke Desa Rammang-Rammang. Beruntung saya memang suka latihan bahasa Makassar dari istri jadi paham maksud mereka. Jujur saya heran juga dalam hati “bener nih yang nyeberangin kita anak bocah begini??kalo ada anaconda atau buaya loncat ke gelayut kita apa kabar ini?” *mulai kebayang film Lake Placid pas adegan buaya jumbo nya lagi ngunyah-ngunyah senyum-senyum nikmatin korbannya*. Akhirnya kita sok habek aja masuk perahu dan mulai menyusuri sungai di tengah rawa-rawa yang gambarannya mirip film perang Vietnam.

Dari dermaga kecil ke Dusun Berau – Desa Rammang-Rammang sekitar 24 menit dengan perahu bernahkoda bocah. Kita melewati pemandangan yang ciamik, dengan bukit-bukit karst menjulang tinggi, beberapa kali melewati goa, mengingatkan saya akan perjalanan ke Green Canyon Pangandaran versi lebih sempit. Dengan kaki kesemutan dan mental siap loncat kalo tiba-tiba ada buaya, akhirnya kita memasuki “gerbang terakhir” semacam bukit karst yang hampir seperti plafon, sebelum melihat hidden paradise nya.

 

 

 

 

 

 

 

dermaga dan perahu bernahkoda bocah

 

 

 

 

 

melewati beberapa goa

 

 

kalau di film perang Vietnam,anak kecil begini taunya Vietkong ya.. *TARR TARR-TARR!

 

 

entah anaconda entah vietkong ini yang keluar dari semak

 

 

 

“gerbang terakhir”

 

 

Turun dari perahu, kita jalan menuju rumah kecil dan bale-bale dibawah pohon yang rindang. Dua sahabat saya berpencar sibuk sendiri, Iras sibuk foto sementara Nawem duduk di ujung merenung sepertinya. Saya paling belakang, melihat pelan-pelan mutar 360 derajat….phewww……..benar-benar “hidden paradise”. Kita istirahat di bale-bale, ngopi dan ngobrol dengan Ibu pemilik warung disana. Saya berpikir “wow, beruntung sekali keluarga penghuni disini, tinggal dikelilingi pemandangan yang setengah surga”.

 

 

 

 

 

desa ditengah tebing-tebing karst

 

 

pas dengan gambaran di buku pelajaran SD yang “berlibur ke rumah nenek”

 

 

hey,kita hidup diatas surga kawan!

 

 

 

 


Saya hanya tiduran di bale-bale untuk menikmati keadaan ini, lalu tak lama setelah saya bengong, tiba-tiba beberapa warga berkumpul di ujung sana, saya ikutan lari menghampiri untuk mengetahui ada apa. Ternyata seekor sapi disana lagi berusaha melahirkan, saya berdiri dari belakang mengintip keajaiban Yang Kuasa. Proses mulai dari sang ibu sapi mengejan, lalu si anak keluar sampai sang ibu membersihkan seluruh badan si anak merupakan hal yang baru pertama kali saya lihat, rasanya begitu bersyukur.

Oke cukup sesi melankolisnya jangan pada mewek hey kamu2! *timpuk kanebo* sosot dah tuh mata ngembeng , lanjut..

 

 

 

 

 

penghuni surga ya malaikat bukan?

 

 

 

kegiatan surgawi: bahagia

 

 

ini si ibu sapi dan anaknya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 





 

 

 

Sebelum sore kita pun kembali ke alam duniawi, dari depan Pabrik Semen Boswa kita naik pete-pete balik ke arah Makassar, seingat saya pete-pete pertama mengantar kami sampai terminal Daya, lalu lanjut naik pete-pete lain yang menuju kota Makassar. Harga nya lupa, googling lah! Beruntung (lagi) Lanor menawarkan kembali untuk menjemput dan mengajak makan malam bersama (yes!), dia mengajak kami ke sebuah restoran seafood Apong (ningrat banget buat kita) di sebelah Mall Panakukang. Selesai makan kita menuju terminal Bus Litha. Jam 9:10pm bus berangkat menuju Rantepao, Toraja.

Makassar – Rantepao, Toraja (326km – 9 jam – bus)

Bus Litha AC ini sangat nyaman menurut saya, jok empuk, tempat kaki lega, biarpun tidak ada toilet tapi bus ini sering berhenti. Sebenarnya dari hasil googling-an saya, rute ini bisa melihat Gunung Vagina (Gunung Batu Kabobong) tapi sayang kita berangkat malam jadi mungkin next time!

 

 

 

nyaman, ruang kaki lega

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Day 2

 

City Tour Toraja

 

 

Tiba di Rantepao jam 6:20am,lumayan ontime.Turun dari bus tiba-tiba kita jadi rombongan Tim Thomas Uber Cup yang baru sabet semua medali emas, kita di kerubungi penuh sekali orang. Bedanya kalau Tim Thomas Uber dielu-elukan (sambil pamer medali emas), nah kita dikerubungi ditawari jasa ojek, jasa keliling kota, info penginapan dll (sambil pamer bau badan soalnya belum mandi sejak dari Jakarta) Susah menghindar dengan bentuk kita yang backpack-an, muka kuyu tapi setengah metropolitan, tak ayal jadi rubungan ojek-ojek lokal.

Akhirnya kami menolak semua tawaran dan cari tempat ngopi. Di warung kopi kita rencanakan kegiatan di Toraja sampai bagaimana cara ke Ampana (kota pelabuhan untuk menyeberang ke Togean). Nawem buka buku Lonely Planetnya, saya buka print-printan hasil googling sambil ber-google maps-an dengan hp, sementata Iras tidak kalah sibuk………….sibuk nanya-nanya orang sekitar toilet terdekat dimana, maklum perempuan.

Tak lama datang 2-3 orang lokal penawar jasa city tour dll, salah satu dari mereka bernama Jon menjadi “sales pariwisata” yang kita paling acungi jempol karena kegigihannya mengejar kita, ternyata kita sudah diikuti dari turun bus sampai ke warung kopi ini. Nego dengan Jon tidak tercapai sepakat di warung kopi, kitapun lanjut jalan kaki cari penginapan. Saat lagi istirahat di depan restoran yang masih tutup, Jon datang lagi mencoba nego lagi. Singkatnya (aslinya nego berlangsung 2 hari dengan suasana mencekam, ngga gitu jg deng…nego sekitar 32 menit) kita menemui kata sepakat dengan Jon untuk paket city tour dan charter mobil dari Rantepao sampai ke Ampana besok harinya.Kita mengunjungi beberapa tempat wisata di Rantepao, mulai dari upacara pemotongan kerbau, kampung adat, kuburan bayi di pohon, sampai kuburan tebing.

 

 

 

jalan tiarap di lubang sepanjang 25m

 

 

saya, nawem & iras setelah keluar dari lubang 25 m tadi

 

 

pemandangan begini melimpah di toraja

 

 

baby grave kambira, bayi meninggal yang belum tumbuh gigi dikubur disini

 

 

rumah adat “tongkonan”

 

 

kerajinan lokal, warna khas toraja: hitam-merah-kuning-cokelat

 

 

 

londa

 

 

 

kampung adat kete katsu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Beberapa catatan saya tentang Toraja:

 

 

  • “sebelum ingatan manusia bermula, nenek moyang kami turun dari Bintang Tujuh dalam pesawat luar angkasa” ini asal muasal mengapa bentuk rumah adat Toraja sangat ajaib. (saya baca dari buku Ring of Fire – L.Blaire, dan dibenarkan oleh guide lokal kita saat itu Pak Daud) 

 

 

 

  • Selama ini kita tahunya arti dari Toraja = Tanah para raja, tapi menurut Pak Daud itu tidak tepat. Arti sebenarnya adalah Tana = Tanah, Toraya = keramahtamahan, karena tradisi turun-temurun Toraja adalah mendiskusikan semua permasalahan dengan duduk bersama di dalam rumah adat mereka, apa baik-buruknya dengan penuh keramahtamahan. 

 

 

 

  • Banyak sekali gereja, sebentar-sebentar gereja. Kebetulan pas kita di Toraja itu hari Minggu, langsung dong saya niatin untuk pagi-pagi datang kebaktian, tapi nasi sudah menjadi bubur, saat lonceng gereja berbunyi mungkin saya lagi tidur mangap terlentang bagai seonggok daging rendang. 

 

 

 

  • Penghormatan mereka kepada orang tua sangat besar terlihat dari megahnya upacara pemakamannya, bisa potong belasan sampai puluhan kerbau. Jika ada yang kurang mampu, keluarga lain yang mampu akan membantu menyumbang kerbau. Indah bukan? 

 

 

 

 

edisi black and white ya biar ga mual

 

 

killing field

 

 

whos next?

 

 

aku manusia.

 

 

hiburan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Beberapa menit di lokasi pemotongan kerbau, jujur baru pertama kalinya saya merasa begitu iba nya terhadap hewan, melihat gesture kerbau berteriak kesakitan membuat saya hampir menangis. Saya jalan menjauh, kamera saya simpan dan memilih minum teh di warung 100m dari lokasi. Terpikir oleh saya, manusia itu makhluk yang paling hebat sekaligus kejam ya. Kerbau dengan berat 600-700 kg bertanduk besar bertenaga dahsyat, tumbang melawan manusia yang secara fisik tidak sebanding tapi hanya otak yang membedakan. Dengan otak paling besar diantara makhluk hidup lain, manusia bisa mengalahkan hampir apa saja.

 

Day 3

 

Rantepo – Ampana ( 520km – 16 jam – mobil)

 

via: palopo – wotu – pendolo – tentena – poso

 

 

Senin pagi, kita siap-siap check out dari penginapan di Rantepao (Riana Guest House – Rp.150.000/malam). Kita antar Iras ke pos Bus Bintang Prima tujuan Makassar (berangkat jam 9:00am), karena Iras masih bekerja kantoran cuti nya sudah habis pula. Saat berjalan kaki dari guest house Iras dan Nawem mengerti kegelisahan saya, mereka makan mie gerobak, saya sendiri makan bakso b2 (galau kelamaan ga makan b2).

Iras pun masuk bus, kita berpisah di Rantepao. Sekarang tinggal saya dan Nawem. Kita lanjutkan perjalanan panjang ke Ampana. Sudah terbayang bosen dan pegel nya badan 16 jam ke depan. Start dari Rantepao jam 10:10am kita menuju ke kota terdekat, Palopo. Pemandangan masih biasa, mirip lah sama jalur selatan Jawa. Lewat Palopo kita menuju Wotu.

Nah, dari Wotu ke Pendolo merupakan perjalalanan yang memahat kenangan di ingatan saya. Kita melewati jalur yang sangat eksotis. Kontur jalur yang membuat jantung lembur, naik-turun berbonus tikungan “hair-pin” mirip Sirkuit Monaco F-1 yang tak terhitung banyaknya, jangan sedih tak cuma ban mobil bunyi cit..cit..cit pas melahap tikungan, tapi juga dapat Grand Door Prize kanan-kiri jurang. 2 jam berlalu semua bisa saya nikmati akhirnya. Saya, Nawem dan Pak Lexi (driver) sedikit sekali ngobrol selama perjalanan ini, saya hanya melayangkan pandangan ke luar dan banyak diam menikmati barisan pegunungan tinggi yang sangat cantik berbaris dengan indahnya berselang-seling dengan kabut yang jatuh menyelimutinya, satu sisi jurang, sisi lainnya hutan lindung yang benar-benar lebat berbeda dengan di jalur selatan jawa. Suasana yang sangat mistis namun menenangkan, gelap namun sangat damai. Suara burung yang bersahut-sahutan memainkan orkestra alam, udara yang sejuk dan segar. Ah,…….

 

 

 

 

Setelah menuruni pegunungan, kita sampai di perbatasan propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Disini setiap mobil yang masuk harus melapor ke pos dan menunjukan surat jalan dari kota awal. Menurut Pak Lexi pos-pos ini ada sejak bergolak nya kisruh Poso. Tak lama di ujung penglihatan kami, samar-samar nampak seperti laut. Ternyata kami hampir sampai di ujung selatan Danau Poso. Kebetulan saat itu pas menjelang matahari terbenam, semburat merah terlihat di jajaran bukit-bukit, pantulan air danau saat senja begitu indah.

Tentena, Poso kita lewati saat tengah malam. Di Tentena banyak gereja, dan ada satu wilayah yang unik, dimana di sisi kiri kanan jalan berjejer salib merah berukuran sekitar 160cm-an di depan tiap rumah penduduk. Beberapa rumah masih ramai menyanyikan lagu rohani, berkumpul di teras rumah, saat itu jam 10:40pm. Masuk Poso keadaan hening saat itu sekitar jam 11:40pm. Tidak terlihat orang berjaga-jaga (dalam bayangan saya sebelumnya mungkin Poso agak menyeramkan).

Saat jam 2:10am kita berada entah di suatu daerah diantara Poso dan Ampana, Pak Lexi beristirahat agak lama disini. Awalnya saya malas turun dari mobil, tapi saya putuskan buang air kecil sebentar. Saya turun – jalan ke arah kebun sekitar 5m dari mobil – buka celana – (hmmm….potong compas ya deskripsinya disini) – iseng saya dongak ke langit. WOW, saya kaget melihat langit yang sangat cantik malam itu, taburan jutaan bintang sangat jernih terlihat. Kalau kalian melihat hasil foto slow shutter langit pada malam hari, nah mirip seperti itu kira-kira. Nampak seperti beberapa galaxy lain samar-samar, dikelilingi pasir yang menyala kerlap kerlip (lebih bagus dari lampu di kota kutak katik matamu binal, senyum manis rayuan gombal). 15 menit saya hanya mengagumi lukisan Tuhan.

Jam 4:15am kita sampai di Ampana, setelah 16 jam perjalanan yang sukses menumbuhkan bisul di pantat saya (hey! bisulpantat!). Langsung kita masuk hotel Oasis atas rekomendasi Pak Lexi karena bule-bule yang dia antar selalu kesini.

 

Day 4

 

Ampana

 

 

Hari ke-4, saya baru mandi sekali. Pagi ini saya hampir mandi untuk ke-2 kalinya, tapi kalau bisa saya tunda ya ngapain sekarang, kan gitu? Saya dan Nawem jalan kaki mencari sarapan, Ampana ini kecil sekali. Pusat peradaban hanya di sekitar pelabuhan untuk menyeberang ke Togean. Di kota kecil seperti ini, ke pasar pun susah cari makanan, tidak seperti Jakarta yang bergelimpangan penjual makanan.

Bosan berjalan kaki, kita cari akal sewa motor. Tanya sana-sini, tidak ada yang tahu tempatnya. 1001 akal dong, kita nongkrong di pangkalan ojek, dibuka dengan basa-basi, singkat kata kita berhasil membujuk salah satu tukang ojek untuk menyerahkan motornya dan kita sewa seharga Rp.80.000 untuk 6 jam.

Langsung ngacir kebut ke arah gunung di kejauhan yang berada di Selatan dari Ampana. 1 jam naik motor, tidak juga sampai gunung. Tapi kita malah berada di antah berantah jalanan berbatu, kanan-kiri tanah kosong dengan semak yang sangat tinggi. Jalan semakin lama semakin mengecil, melewati kuburan. Dengan modal keyakinan (nekat), kita jalan terus, tiap ada persimpangan hanya nebak saja. Akhirnya sampai lagi di jalan yang agak besar, dan kita menemui jalan balik ke arah kota. Kita lewati kota lanjut ke Timur menuju Luwuk, tapi di jalan tidak ada apa-apa, Luwuk pun masih 3 jam lagi, bisul di pantat saya semakin merongrong layaknya pacar yang posesif.

Cerita saya potong saja ya sampai malam itu kita kedatangan gerombolan polisi berpakaian preman mengaku dari Polres, ketika saya dan Nawem lagi duduk di teras depan kamar hotel. Jujur saya gelagapan karena baru pernah kena “grebeg”. Sedikit obrolan singkat dengan Pak Polisi;

Polisi : “Kami dari Polres, mana KTP bapak?” (suaranya berat plus kaya kumur-kumur)

Saya : “Hah?? dari Flores?” (saya mikir ngapain dari Flores bilang-bilang)

Polisi : POLRES! POLRES! (mimik muka bete)

Saya : “Ooooh..Polres”

Intinya kita di cek KTP, mereka melihat isi kamar kita, dan ada satu polisi yang curiga melihat baju perempuan setengah tertutup selimut di kasur saya. Saya jelaskan ini baju anak saya, saya bawa buat ngobatin kangen. Mukanya malu pas saya angkat bajunya ukuran anak balita.
(dalam hati saya: WEEKK BAKEKOK!! uwer-uwer tuh muka pake baju anak gue nih)



Day 5

 

Ampana – Wakai, Togean (102km – 4jam – ferry kayu)

 

Wakai,Togean – Pulau Kadidiri (8km – 30 menit – perahu nelayan)

 

 

Jadwal ferry kayu menyeberang dari Ampana ke Wakai,Togean jam 10:00am, kita berangkat jam 10:05am (lumayan ontime).Harga tiket per orang Rp.45.000. Perjalanan ditempuh sekitar 4 jam. Wakai merupakan ibukota persinggahan untuk kapal besar, dari Wakai jika ingin melanjutkan ke pulau-pulau lain bisa dengan perahu nelayan. Ada yang menarik selama di perjalanan, di kiri-kanan beberapa kali terlihat ikan terbang melesat sangat cepat.

 

 

ferry kayu ampana – wakai,togean




















 

 

 

Sampai di  Wakai, kita sudah ditunggu oleh Pak Rully (nelayan yang menjadi petugas antar-jemput tamu untuk penginapan Pondok  Kadidiri Lestari). Sebelum menyeberang, saya sudah mengatur untuk penginapan di Togean, dan memilih Pondok Kadidiri Lestari karena paling murah dibanding dua lainnya di pulau tersebut. Dengan harga Rp.150.000/orang (bukan per malam) sudah dapat makan 3x sehari.

 

 

 

30 Menit dengan perahu nelayan menuju Pulau Kadidiri melewati pemandangan yang indah, laut yang berwarna biru dan cyan, gunung-gunung  karst , goa-goa yang menurut orang lokal dulunya menjadi tempat pembuangan mayat korban bajak laut. Sampai di Pulau Kadidiri, mata saya dilayani dengan kedamaian pantai berpasir putih, sebuah jembatan dermaga panjang, cottage berjejer di pinggir pantai.



 

pantai pasir putih model begini mudah ditemui

 

 

dengan kaos wajib pas traveling, band favorit  http://wearejames.com

 

 

jembatan dermaga di pulau kadidiri

 

 

sisi kiri, kadidiri paradise

 

 

tenggelamnya matahari menyebar semburat merah mempercantik langit

 

 

kamar kita di pondok kadidiri lestari



Sampai malam saya hanya bersantai ria menikmati keheningan pulau Kadidiri, mengobrol dengan keluarga Pak Aka pengelola Kadidiri Lestari yang sangat ramah. Di sini mencari signal sama susahnya seperti kalian yang masih berjuang mencari jodoh, sekalinya ada signal tidak pernah stabil putus-sambung terus, sekalinya tidak ada signal icon signal di HP cuma berisi kehampaan persis hati kalian. Saya kasih tau spot signal di pulau  Kadiri, 1 spot  harus duduk di bawah pohon kelapa yang ada kursi kayunya,duduk diam disitu & sabar, nanti signal akan datang sendiri seperti jodoh (WEK!). 1 spot lagi di jembatannya dermaga Kadidiri Paradise.


Mirip waktu kita (saya, Iras & Nawem) boat trip dari Lombok ke Komodo, kali ini pun hanya kita yang turis lokal, sisanya turis interlokal (mancanegara wek!). Di pulau Kadidiri ini, listrik hanya ada mulai jam 6:00pm sampai jam 12:00pm (ini di google), faktanya sih sudah mati dari jam 11:00pm. Jangan mengharapkan kehidupan ningrat berlimpah listrik, disini sahabat saya selain keluarga Pak Aka dan beberapa bule ya cuma rokok dan bir bintang.


Kegiatan rata-rata saya di Pulau Kadidiri: ngobrol – duduk bengong di teras – baca buku – nulis – ngebir. Ada satu hal menarik yang ingin saya share (serius ini tentang intisari kehidupan PRETTTT) yakni saat saya lagi duduk di teras sambil menulis, listrik pun dimatikan sesuai jadwal. Dari posisi duduk santai di teras, saya langsung berdiri dan keluar teras menuju pinggir laut dan takjub dengan keindahan langit malam itu yang (lagi-lagi) bertabur jutaan bintang dan semburat galaxy lain. Kenapa saya kaget?karena sewaktu ada listrik saya tidak menyadari keindahan langit malam itu, tetapi begitu mendadak semua listrik mati gelap total di pulau, langit menjadi sangat terang. Pikir saya tentang prinsip hidup: “wow…ini mirip kehidupan ya…disaat semua terlihat riuh ramai gemerlap kehidupan, mungkin kita tidak menyadari keindahan sesungguhnya karena kilaunya tertutup, tapi terkadang hidup manusia itu mungkin harus gelap total, harus ambruk, terdampar ke level terhitam kehidupan untuk dapat melihat keindahan dibalik itu semua” (*jutaan penggemar menjerit-jerit histeris sambil menyanyikan lagu Amy Search*)



Day 6

 

Island Hopping, Togean

 

 

Saya malas menulis , silakan dilihat-lihat saja fotonya ya dibawah ini,

 

 

sekolah SD dengan view terbaik saya rasa : )

 

 

danau ubur-ubur tak menyengat,sayang saya tidak bawa kamera bawah air

 

 

celana wajib. edisi polkadot ke sulawesi

 

 

untuk saya, ini snorkling terbaik saya selama ini.

 

 

pulau bolilanga, pantainya tidak usah di jelaskan lagi lah ya bagusnya.

 

 

pantai karina, mirip pink beach nya komodo

 

 











Day 7 – Day 8

Pulau Kadidiri – Wakai,Togean (8km – 30 menit – perahu nelayan)

 

Wakai,Togean – Gorontalo (141km – 14 jam – ferry)

 

 

Ferry dari  Wakai ke Gorontalo akan berangkat jam 4:00pm, jam 11:40am kita sudah di Wakai sengaja berangkat pagian dari  Kadidiri karena mau lihat-lihat Wakai. Kita diantar Pak Rully, nelayan yang sangat berbaik hati mempersilakan kita istirahat dirumahnya yang sangat sederhana. Kita makan siang bersama keluarganya sebelum saya jalan kaki keliling Wakai.

 

 

ferry dari Wakai,Togean  – Gorontalo, 14 jam.



 

dikasih hidangan penutup, saat meninggalkan Wakai,Togean.

 

 

istirahat dirumah nelayan (Pak Rully) saat hujan deras

 

 

repot-repot kita diajak makan siang bersama.




Jam 4:00pm ferry berangkat menuju Gorontalo (ontime lagi!), kita mengambil kelas VIP seharga Rp.90.000/org karena kita sampai Gorontalo langsung berangkat lagi menuju Manado, kita pikir pantas lah kita mencicipi sedikit keningratan untuk mendapat istirahat yang enak. 



Day 8

 

Gorontalo – Manado (431km – 9jam – mobil)

 

 

Tiba di Gorontalo jam 5:12am kita langsung dikeroyok penawar jasa travel ke manado sejak masih di dalam ferry. Di pelabuhan tidak jauh beda, cuma plus dikeroyok tukang bentor. Kita menjauh dari pelabuhan, jalan kaki ke arah kanan (sok tau) lama-lama jalanan makin sepi, akhirnya manggil bentor juga diantar ke kota. Keliling-keliling jalan kaki, numpang kencing sana-sini, sarapan, istirahat didepan toko orang, jam 11:15am kita berangkat ke Manado setelah dijemput oleh travel Gorontalo – Manado. Agak lucu penarifan travel ini, duduk di depan Rp.175.000, duduk tengah Rp.150.000, duduk belakang Rp.125.000.



 

lapangan nani wartabone

 

 

salah satu sudut kota gorontalo






























Perjalanan ke Manado tidak terlalu penting untuk ditulis, karena biasa saja,pemandangan yang masih mirip dengan jalur selatan Jawa. Yang lebih penting justru Pak Supir yang sangat ber-passion membalap. Dengan pose muka maju – agak alergi injak pedal rem – dan menunjuk-nunjuk penuh emosi kalau ada mobil lain yang mengambil jalurnya. 8 jam teng kita sudah sampai di Manado sudah termasuk makan siang.


Sampai di Manado kita langsung ke Mall MANTOS, karena kangen peraadaban modern. Tak terhitung restoran seafood, tapi kita makannya JCO dong. Sebenarnya kita pulang pada hari ke-10, tapi kita tidak berniat kuliner atau menjelajah Manado maupun ke Bunaken, sedikit telpon-telpon penerbangan, akhirnya kita pulang pada hari ke-9.


Malam terakhir di perjalanan ini, saya menyelesaikan sebuah tulisan untuk istri, ditemani rolling door ruko yang sudah tutup. Kenapa saya menulis untuk istri padahal ini semua tentang perjalanan saya? Terserah saya dong mau nulis apa. (WEK!).



dari sel-sel otak serotonin untuk seorang istri


lukisan langit maha cantik

semburat merah merona ke lereng bumi

jajaran gunung dirajut sempurna

silih berganti dengan kabut mistis


hamparan sawah zamrud

tumpah butiran suci dari dewi sri

sungai menderu deras meliuk

tebing karst menjulang gagah


dengar ombak pada hampirku

debur mendebar kiri dan kanan

laut melagukan nyanyian makna

ikan-ikan mengantar kami


mataku puas kekaguman

mulutku tiba-tiba lupa aksara

otakku banjir serotonin

jiwaku menari-nari gila

bergemar seperti mainan tambur anak kecil


setakjubnya perasaan ini

setakjubnya pengalaman ini

setakjubnya perjalanan ini

tidak mengalahkan takjubku untuk kamu


leher terkuat untuk kepalaku

penjaga halaman belakang saat aku didepan

layar kala badai bagi tiang haluanku


di senja estafet perjalanan ini

terbitlah rindu untuk kamu,

istriku…




Day 9

 

Manado – Jakarta (2.194km – 3.5 jam – pesawat)    

 

 

Selesailah tour de celebes ini begitu kita mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Terima kasih buat Nawem dan Iras untuk berbagi pengalaman ini bersama, terima kasih buat………………(macam menang Oscar!BLAH!)


Selesai.




*Ebiet G.Ade fade in: “houuhoo….ho houuhooo…hoouhoo….”



Penulis

jesse horasio

Twitter : @jessehorasio

Artikel yang mungkin kamu suka