Home Lomba Blog KTF 2014 Napas tilas Hindia Belanda di negeri bawah laut

Napas tilas Hindia Belanda di negeri bawah laut

oleh

Langit abu-abu dan hujan rintik-rintik menyambut saat saya keluar dari bandara Schipol, di Belanda pada suatu hari Minggu pagi.

“Padahal sudah akhir bulan Mei, ” keluh saya dalam hati.

Kurang dari 20 jam yang lalu saya masih menikmati cuaca iklim tropis di tanah air dan sekarang saya terdampar di tengah cuaca dingin ….

~ * ~ * ~ * ~ * ~ * ~ * ~ * ~ * ~

Beberapa minggu sebelumnya, saya mendapat kabar baik dari pihak beasiswa pemerintah Belanda.
Sebuah institusi pendidikan di Amsterdam dan pihak beasiswa memilih saya, salah satu dari sejumlah akademisi Indonesia untuk menerima beasiswa pemerintah Belanda.
Rencananya saya akan menghabiskan waktu 2 minggu di Amsterdam dan semuanya gratis!

Ya, mulai dari proses pengurusan visa, tiket pesawat, biaya transport sehingga akomodasi semuanya akan ditanggung oleh beasiswa ini.
Saya hanya perlu mempersiapkan mental, karena untuk pertama kalinya saya akan mengikuti kursus singkat di luar negeri. Bersama akademisi internasional lainnya. Pakai bahasa Inggris pula!
Bukannya saya kurang percaya diri dengan kemampuan bahasa Inggris yang saya miliki.
Tapi bahasa Inggris saya sebelumnya hanya pernah diuji lewat perjalanan darat ke Singapura dan Thailand.

Siap tidak siap, saya harus berangkat karena beasiswa sudah diumumkan dan Belanda menunggu di depan mata.
Rasa gembira, bercampur sedikit perasaan takut dan tak sabar ingin segera melihat negeri Belanda berkecamuk dalam pikiran  saya selama penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam.
Belasan jam kemudian maskapai nasional milik kerajaan Belanda sukses mengantarkan saya dan sebuah koper bawaan dengan selamat hingga bandara Schipol.

Schipol sebetulnya terletak sedikit jauh dari Amsterdam. Tetapi dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 30 menit saja, baik dengan moda transportasi kereta maupun mobil.

Tidak seperti kota Amsterdam yang terletak di bawah permukaan laut, bandara Schipol dibangun pada ketinggian 0 (nol) atau sejajar permukaan laut. Tak heran negeri ini disebut Nederlands atau negeri rendah (Low country).

Petugas administrasi dari universitas tempat saya mengambil kursus telah menginformasikan cara menggunakan taksi dari bandara Schipol menuju penginapan tempat saya tinggal.
Taksi di Eropa tentunya bukan pilihan paling ekonomis, sehingga jarang digunakan sebagai pilihan transportasi sehari-hari.
Tapi karena demikianlah instruksi yang diberikan dan juga pengeluaran transportasi akan ditanggung beasiswa, maka saya langkahkan kaki menuju tempat dimana taksi berkumpul.

Jangan bayangkan supir taksi yang menunggu dengan kemeja lusuh dan bau keringat seperti yang biasa kita temui di kebanyakan tempat di Indonesia.
 Supir taksi di pangkalan taksi Schipol ini bersetelan jas lengkap dengan dasinya. Tampangnya perlente mengingatkan saya kepada eksekutif muda saat menghadiri rapat penting. Perawakannya juga tinggi, sekitar 1.85 meter!
Maklum tinggi badan rata-rata penduduk Belanda termasuk yang tertinggi di Eropa.

Saya pun menanyakan apakah disini tempat untuk memesan taksi dan supir perlente itu bergegas membantu membawakan koper yang saya pegang.
Saya pun mengikuti dia menuju taksi yang diparkir, sebuah sedan keluaran Eropa terbaru berwarna hitam mengkilap!

“Ini benar benar keren!” teriak saya dalam hati.

Saya pribadi merasa beruntung mendapat kesempatan naik taksi saat mengunjungi Belanda untuk pertama kalinya.

Supir tinggi nan sopan itu memasukkan koper saya ke bagasi di bagian belakang mobil, sementara saya berjalan ke pintu depan kiri untuk duduk.

Miss, do you want to drive the car ?”
(Nona, apakah Anda ingin mengemudikan mobil ini?)
tiba-tiba sebuah suara menghentikan saya untuk membuka pintu taksi bagian depan.

Oalah!
Ternyata di Belanda supir duduk di sebelah kiri, bukan di sebelah kanan seperti lazimnya di Indonesia.

Saya pun menyadari ketidaktahuan saya, sambil menunduk malu saya berjalan memutari mobil, lalu membuka pintu belakang.
Segera saya masuk ke dalam mobil dan duduk manis di kursi belakang.

Rupanya sang supir memaklumi keadaan tersebut.
Tanpa bermaksud merendahkan harga diri saya dia bertanya,
Is this the first time you visit Netherlands ?”
(Apakah ini pertama kalinya Anda mengunjungi Belanda?)

“Yes actually… ” saya pun mengiyakan.

Sepanjang perjalanan saya melempar pandangan keluar, memandangi bangunan klasik khas Eropa dengan latar belakang langit kelabu dan tetesan hujan di kaca mobil. Di luar suhunya sekitar 15 derajat Celsius, tapi di dalam mobil lebih hangat beberapa derajat.

Jalanan tampak sepi, hanya terlihat beberapa orang saja sedang berjalan dan bersepeda.
Seperti bisa membaca pikiran saya, supir itu kembali berkata,
Don’t worry, the weather isn’t always like this. Summer is coming.”
(Jangan kuatir, cuaca tidak selalu seperti ini. Musim panas segera datang) katanya menenangkan.

Saya pun tersenyum mendengar perkataannya dan menanyakan kenapa jalanan di sini tampak sepi.

Because this is Sunday morning. And most people still stay on their beds. They have hard party last night.”
(Karena ini Minggu pagi dan kebanyakan orang masih di tempat tidurnya. Mereka baru pesta kemaren malam), katanya menjelaskan situasi yang saya lihat.

Setengah jam kemudian, saya pun tiba di tempat penginapan yang disiapkan pihak universitas.
Lima puluh euro (sekitar 700 ribu rupiah, kurs tukar yang berlaku saat itu) saya bayarkan tunai kepada sang supir yang sudah mengantar sambil mengucap “Dank u wel!” (Terima kasih).

~ * ~ * ~ * ~ * ~ * ~ * ~ * ~

Sehabis gelap terbitlah terang.
Demikian terjemahan dari buku yang ditulis berdasarkan kumpulan surat R.A Kartini, yang bahasa aslinya (bahasa Belanda) Door duiternis tot licht.
Keadaan itu juga yang saya temui dua minggu berikutnya selama di Amsterdam.
Cuaca akhirnya menghangat, penanda tanda musim panas tiba.
Tidak selamanya mendung itu kelabu, kata sebuah syair lawas.

Di sela waktu kursus, tak lupa saya sempatkan untuk mengunjungi museum yang terletak di depan institusi tempat kursus saya. 
Dua dari tiga lantai di dalam museum ini didedikasikan untuk benda-benda yang berkaitan dengan sejarah Indonesia atau Hindia Belanda.
Dalam salah satu lorong museum, terletak buku tebal tentang R.A. Kartini, tokoh emansipasi wanita pujaan saya.

Walaupun berada ribuan kilometer jauhnya dari rumah, di museum ini saya dibuat lebih mengenal tanah air sendiri.

Hubungan Belanda dan Indonesia di masa lampau memang terbilang kelam dan pahit.
Namun sekarang generasi muda Indonesia sangat dimudahkan untuk mengecap pendidikan lanjutan di Belanda.
Saya adalah salah satu diantaranya dan saya berdoa akan semakin banyak dari kita yang menyusul di masa mendatang.

Penulis

M Dona Oktavia

Twitter: @klinikgratis

Artikel yang mungkin kamu suka