Hai, nama saya Arroyan. Saya tinggal di Malang, tepatnya adalah 25 km selatan kota Malang. Daerah dimana saya tinggal tersebut terkenal dengan keberadaan pabrik pelurunya yaitu Pindad.
Sudah tahu kan? Yup betul, Turen.
Saya mempunyai seorang adik, bernama Jiddan. Dia sekarang naik kelas 3 di Madrasah Ibtidaiyah di Turen. Sedangkan saya nyantri di salah satu pondok pesantren di Malang, sekarang memasuki tahun ke tiga.
Okay, karena sudah mendekati lebaran, enaknya kita ngomongin lebaran aja ya.
Lebaran bagi saya adalah pulang kampung atau istilah kerennya mudik. Mudik ke kampung halaman, tempat kelahiran ayah saya di Laweyan Solo. Untuk bertemu dengan mbah kung, pak de, bu de, dan anak-anaknya pak de, bu de.
Kehebohan mudik sudah dimulai sehari sebelum hari H.
“Yah, kopernya tolong di turunin dong. Sama oleh-olehnya tolong masukin mobil dulu !” Kata mama.
“Sebentarrrr, ini baru manasin mobilll….!” Jawab ayah tak kalah banternya.
“Maaa, kaos enggri bretku sudah disiapin belum ? jangan lupa layanganku sama benangnya lo Yah..!” kata adikku.
Wah, kalau lagi begini ini, suasananya hampir mirip susana masa kampanye pilpres, gampang tersulut emosinya.
***
Rumah mbah kung berada di sebuah gang di Kampung Batik Laweyan. Gang tersebut tidak ada namanya, tapi yang membedakan adalah tembok di gang tersebut dihiasi dengan mural atau lukisan dinding yang berisi pesan-pesan moral. Katanya sih yang bikin gambar, Mas Bani anaknya Bu De Dewi.
Kata ayah, jaman ayah kecil dulu Laweyan belumlah seheboh sekarang. Dari dulu memang sudah ada pabrik-pabrik batik, tapi butik-butik belum menjamur seperti sekarang ini. Ayah sering mengeluhkan tidak adanya lahan parkir di Kampung Laweyan, karena ayah sering harus berebut tempat parkir dengan para wisawatan domestik. Meskipun ayah penduduk asli Kampung Laweyan.
Saya dan adik Jiddan paling seneng blusukan di gang-gang kecil di Laweyan. Kadang melongok ke rumah-rumah loji, atau melihat ibu-ibu mengayunkan cantingnya di belakang butik-butik batik yang berjejer di sepanjang Jalan Sidoluhur.
Ayah juga sering mengenalkan kita dengan kuliner yang khas dari Solo. Ada hik yaitu bermacam jajanan pasar ditambah kopi atau teh yang tersaji di angkringan, thengkleng, selat ( mungkin plesetan dari salad ), setup makroni ( Mama paling tidak suka karena mblenyek ), dan lain-lain.
Dari berbagai macam kuliner yang ada, ayah dan pak de – bu de sepertinya paling favorit dengan makanan yang namanya ndhog so.
Menurut cerita ayah, ndhog itu artinya telur , godhong so adalah nama dari daun mlinjo. Godhong so itu dirajang kecil-kecil kemudian di ublek dengan telur, digoreng. Oh ya, telur itu pun beli telur yang rijek, yang sudah retak. Belinya di Pak Sari, juragan telur terkenal jaman ayah masih kecil.
Hasilnya adalah telur goreng yang mengembang lebar. Di iris-iris menjadi tujuh, karena putra-putri dari mbah kung dan almarhumah mbah putri berjumlah tujuh, dan ayah anak ragil.
Sepertinya Ndhog So tersebut makanan paling sentimentil bagi ayah , pak de, dan bu de.
Rumah mbah kung merupakan rumah kuno, masih terbuat dari kayu. Bentuknya seperti pendapa di Kalurahan Turen. Tidak terlalu besar. Kalau lebaran, anak cucu pada kumpul , rumah tersebut penuh dan rame banget.
Oh ya ada suatu tradisi di keluarga ayah, yaitu acara halal-bihalal Trah Martodinomo. Martodinomo ini adalah nama mbah buyut nya ayah. Jadi semua keturunan mbah buyut yaitu anak, cucu, cicit, canggah, apa lagi ya….kumpul diacara Halal-Bihalal tersebut. Istilahnya ayah adalah Ngumpulno Balung Misah. Artinya kurang lebih tetap menjaga silaturahmi dengan sanak famili dimanapun mereka berada. Sohibul hajatnya bergantian.
Dari semua selebrasi mudik tersebut yang paling saya suka adalah saya bebas nongkrong di hik menikmati Solo di malam hari bersama ayah, mama, dan adik. Karena kalau sudah kembali ke pondok, hilang sudah kebebasan itu.
Catatan : Tulisan diatas pernah di muat di http://www.arifkancil.com/search/label/Jalan-Jalan