Home Lomba Blog KTF 2014 Monokrom Senja di Sunda Kelapa

Monokrom Senja di Sunda Kelapa

oleh

Indonesia sungguh unik. Di tengah meningkatnya intensitas bisnis pengangkutan barang berbasis  kapal modern, bisnis pengangkutan menggunakan kapal tradisional masih menggeliat, bahkan menjadi tumpuan bagi sebagian orang. Salah satu tempat kapal-kapal jenis itu bersauh ada di sisi utara Jakarta. Orang-orang mengenalnya dengan nama Pelabuhan Sunda Kelapa.

Saya pernah mengunjungi pelabuhan sejenis ini di Makassar, Pelabuhan Paotere namanya. Sunda Kelapa jauh lebih besar dari Paotere. Jarak dari ujung satu ke ujung lainnya kurang lebih sekitar 1 kilometer. Sunda Kelapa pada dasarnya buka setiap hari. Tentu saja, tempat ini menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak orang di dalamnya. Namun, saya sempat terkecoh begitu sampai di gerbang depan yang seringkali terlihat tertutup rapat. Ternyata, kita perlu memutar sedikit menuju ke pintu samping untuk memasuki area pelabuhan. Parkirlah kendaraan anda, lalu cobalah berjalan santai menyusuri sisi pelabuhan. Setidaknya, menurut saya itu cara terbaik untuk menikmati sisi-sisi menarik pelabuhan ini.

Sore itu langit terlihat cerah diselingi awan yang menyembul disana-sini. Saya tersenyum, tak lain karena, untuk melihat langit biru saja, cukup sukar mengingat saya berada di Jakarta. Puluhan kapal berjejer gagah dengan goresan-goresan bekas mengarungi lautan-nya masing-masing. Ada ungkapan yang mengatakan, kurang lebihnya seperti ini: “pelaut andal tidak dibentuk dari lautan yang tenang”.  Saya sepenuhnya setuju akan hal itu, kapal-kapal disana mungkin, apabila mereka adalah persona seperti kita, juga akan menganggukkan kepalanya sambil sedikit tersenyum bangga, mengingat kerasnya perjalanan yang selama ini mereka tempuh. Guratan dan goresan itu tercetak jelas sebagai gambaran.

Sunda Kelapa apabila dipersonifikasikan, mungkin terlihat seperti seorang gadis tomboi, tak semua orang mampu mengerti keindahannya. Saat menginjakkan kaki di pintu gerbang dan melihat dari kejauhan, saya sempat mengernyitkan dahi lantas bergumam, “Ah, cuma seperti ini ternyata”. Tak tampak sisi menarik yang sering dibicarakan orang di media sosial ataupun cerita perjalanan di laman-laman. Apalagi pelabuhan memiliki bau khas yang membuat tak semua orang mampu berlama-lama berada di sana. Tapi ketika kita mau melangkah menyusuri sejenak, satu demi satu sisi tersebut mulai tampak. Ya, cinta pada pandangan pertama tak berlaku untuk semua hal. Kali ini saya harus mencoba “mengenalnya” lebih dalam.

Sunda Kelapa sejatinya adalah sebuah refleksi, miniatur kehidupan kita. Ada banyak hal yang tersirat di dalamnya. Suara bising, nyaring, melengking saling bersaut-sautan, tak kenal giliran sesungguhnya ingin memberi penjelasan bahwa harmoni kadangkala tercipta dari ketidakserasian, ketidaksinkronan. Sementara itu hiruk-pikuk berbagai moda angkutan yang seakan tak pernah berhenti, tanpa memandang waktu, membuat saya termenung, lalu berpikir: kita yang seringkali tak memandang waktu atau waktu yang-dengan begitu egoisnya-berlari sendiri tanpa pernah memandang kita? Peluh yang menetes dari tubuh para pekerja di bawah terik sinar matahari sesungguhnya adalah gambaran nyata kerja keras anak manusia dalam mencari penghidupan. Gelak tawa renyah para pekerja dan penjual makanan disana menyisipkan sebuah pesan sederhana, tapi sayangnya seringkali luput dari pandangan kita. Bahwa bahagia adalah selalu tentang apa yang ada di dalam diri kita, bersumber dari dalam, bukan yang lain.

Hal-hal intrinsik seperti itu seringkali tak bisa terlihat dari satu dua pandangan saja, kita perlu menyusup lebih dalam,  meresapinya.

Bepergian ke suatu tempat biasanya membuat kita merogoh kantong, menguras kocek. Namun, entah mengapa saya merasa perjalanan ke Sunda Kelapa membuat saya semakin “kaya”. Tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya, dengan sedikit usaha mata dan hati kita akan dimanja. Percayalah.

 

Penulis

Priananda Sanditya Rio Pradana

Twitter: @sandityario

Artikel yang mungkin kamu suka