Danau Tempe, mungkin belum banyak orang yang mengetahui keberadaannya.
Tidak sepopuler Danau Ranu Kumbolo, misalnya.
Tidak seluas dan selegendaris Danau Toba pula.
Juga, tidak seunik Danau Kelimutu yang dikenal dunia.
Jujur, saya pun tak mengetahui Danau Tempe sebelumnya.
Saya “menemukannya” ketika sedang mempelajari peta area Sulawesi Selatan untuk menyusun rute travelling. Beruntung saya menggunakan private tour, maka memungkinkan untuk mampir ke kota Sengkang di mana Danau Tempe berada. Dalam perjalanan pulang dari Toraja menuju Makasar, alih-alih menggunakan jalur yang sama dengan berangkat, saya meminta jalur berbeda. Rute dan kondisi jalannya menurun serta berkelok-kelok tajam, cenderung ekstrem namun memungkinkan. Tour guide serta pengemudi yang mengantar kami juga menyanggupi -meskipun kami (saya dan ibu saya) sempat dibilang turis nekat oleh Pak Joko, tour guide kami, hahaha…
Alhasil dua turis perempuan (yang katanya) nekat sampai di kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Luas kotanya 38,27 kilometer persegi yang meliputi satu kecamatan, yaitu Kecamatan Tempe. Danau Tempe sendiri terletak di sebelah barat kota Sengkang, dengan luas 13.000 hektar. Penginapan kami pun letaknya dekat dengan pelabuhan kota Sengkang, cukup berjalan kaki melewati jalan kecil dan gang, tidak sampai 10 menit berjalan santai. Jangan bayangkan pelabuhan dengan kapal-kapal besar, yang ada hanya perahu tradisional dengan mesin tempel. Perahu inilah yang kami naiki untuk menjelajahi Danau Tempe.
Awalnya sedikit takut karena baru pertama kali saya naik perahu sekecil ini, tanpa fasilitas life jacket, tak bisa berenang pula. Semua kekhawatiran segera sirna seiring pemandangan menarik yang kami saksikan sepanjang perjalanan dari pelabuhan menuju ke tempat menyaksikan sunset di danau. Sekitar satu jam perjalanan menyusuri danau, perahu berhenti di salah satu rumah terapung. Ya, memang banyak deretan rumah terapung di Danau Tempe. Penduduk dari beberapa wilayah sekitar danau mencari nafkah dengan menangkap ikan dan tinggal di rumah terapung untuk beberapa hari.
Ada pula rumah terapung yang sengaja dijadikan fasilitas turis, mulai dari menyediakan makanan ringan, hingga tempat menginap. Ukuran rumah-rumah ini hampir sama satu sama lain, dibuat terutama dari bambu dan kayu. Salah satunya kami singgahi sejenak sambil menanti sunset time. Pemiliknya seorang ibu yang ketika kami datang sedang membuat pisang goreng. Rupanya memang sudah dipesan oleh tour guide kami.
Sempat mengobrol sejenak dengan ibu tersebut, ternyata umurnya hanya sekitar beberapa tahun di atas saya, namun terlihat jauh lebih tua. Beliau tinggal di rumah terapung seorang diri, karena suaminya sudah meninggal akibat serangan jantung. Menjual makanan dan menyediakan penginapan di rumah terapung ini merupakan sumber nafkah utama untuk menghidupi anak-anaknya yang tinggal di desa. Mungkin beratnya beban hidup menjadikan ibu ini sedikit murung dan pendiam, terlihat tidak terlalu suka mengobrol dengan tamunya.
Ada sedikit haru terselip diantara indahnya sunset di Danau Tempe sore itu. Sembari menikmati pisang goreng dan teh hangat, kami menyaksikan matahari tenggelam menyisakan semburat cahaya indah di langit. Di atas rumah terapung sederhana, ditemani hidangan sederhana pula, saya tetap dapat menikmati kesemuanya.
Senja menjelang, perahu kami bergerak kembali menuju pelabuhan agar sampai sebelum gelap meliputi langit. Dalam perjalanan, motor perahu sempat tersangkut semacam jala. Duh, bagaimana jika sulit dilepas? Bisa jadi terapung-apung di atas perahu sampai malam, nih.. Begitu kita-kira yang terbersit di pikiran saya.
Guess what?
Ketika sekilas menoleh ke belakang, ternyata langitnya indah sekali! Dan seakan sudah diatur, perahu yang berhenti karena tersangkut memberi saya kesempatan mengabadikan nuansa after sunset yang tersaji indah. It’s like a win-win solution, karena perahu yang tersangkut bisa cepat teratasi dan saya mendapat foto cantik yang hingga kini menjadi salah satu masterpiece saya. Bukan karena jago motret, tetapi alam yang luar biasa digabung dengan moment yang tepat.
Itulah sekelumit kisah yang bisa saya bagikan dari Danau Tempe di Sengkang.
Meski belum populer, tidak legendaris, maupun tidak serba menakjubkan, bukan berarti tidak indah. Bukan berarti tidak ada yang bisa dikenang. Semua tergantung kita memaknainya.
Ketika kita mengunjungi suatu tempat secara langsung, akan ada interaksi maupun pengalaman yang membuatnya lekat dalam ingatan. Setidaknya satu dua foto yang kita abadikan sendiri akan lebih berkesan dibandingkan foto perfect milik orang lain.
Yuk, datang dan nikmati secara langsung keindahan dan kekayaan negeri kita! Travel more, explore more… semakin kita sering melakukan perjalanan ke tempat baru (apalagi yang tidak mainstream), pasti banyak hal dan wawasan baru, unik, maupun berkesan bisa kita dapatkan.
Travelling itu menyenangkan, apalagi menjelajahi negeri kita sendiri. Let’s pack your bag and explore our beloved country, INDONESIA!
Oleh : Andriani Karisma Wiria
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting