Home Lomba Blog KTF 2017 Berburu Sarapan di Pasar Ubud

Berburu Sarapan di Pasar Ubud

oleh

Begitu menginjakkan kaki di Ubud, jantung Pulau Bali yang kaya akan budaya, dan melihat kesibukan penduduk setempat menjalani kegiatan sehari-harinya, saya lalu membayangkan satu hal, “Kalau saya tinggal di sini, kira-kira sehari-hari saya akan beli makan di mana, ya?”

Pertanyaan ini sebetulnya selalu hadir di benak saya setiap kali saya menjelajah tempat yang baru. Walaupun mungkin terasa janggal karena di era teknologi ini, seorang pelancong dapat dengan mudah mengeluarkan gawai terkini, memuat aplikasi ulasan tempat makan, lalu pergi ke tempat terdekat dengan hasil ulasan terbaik.

Tetap saja, ada beberapa hal yang selalu membuat saya bersikeras untuk makan di tempat yang sering dikunjungi warga setempat, dibandingkan dengan makan di tempat yang padat dengan pelancong lain.

 

1. Ringan di Dompet

Yang paling klasik dan rasanya seringkali menjadi alasan dengan skala prioritas tertinggi adalah harga makan di tempat kesukaan warga setempat relatif terjangkau. Harga jualnya tidak semahal di tempat yang menargetkan para pelancong (apalagi mancanegara) sebagai pangsa pasar utama.

Bisa dibayangkan, jika para warga setempat perlu secara rutin membeli makanan, mereka pasti memilih tempat makan yang bukan dirancang untuk para turis. Mereka akan memilih membeli makanan dengan harga yang pas di kantong mereka.

Ini membuat saya selalu mengutamakan mencari tempat makan warga setempat demi bisa mengendalikan anggaran ketika bepergian.

 

2. Cita Rasa Lokal

Saya beranggapan bahwa dengan makan di warung yang sering dikunjungi warga setempat, cita rasa yang saya dapatkan adalah cita rasa lokal.

Kadang-kadang, rasa di suatu restoran sudah disesuaikan dengan pangsa pasarnya. Jika ada suatu restoran yang dibuat untuk turis, hampir dapat dipastikan kalau cita rasanya sudah disesuaikan dengan selera turis.

Seringkali saya menemukan rasa pedas suatu masakan dikurangi agar masih bisa dinikmati oleh turis mancanegara. Rasa manis ditambahkan untuk memenuhi permintaan banyak pelancong yang berasal dari Jawa Tengah, misalnya.

Lalu bagaimana jika cita rasa yang orisinil ini tidak sesuai dengan selera saya? Bagi saya, hal tersebut akan menjadi pengalaman berharga tersendiri. Saya dapat memberi penilaian bahwa kelebihan tempat tersebut mungkin merupakan pemandangan alam yang menawan, atau karakter orangnya yang ramah-ramah. Bukan kuliner.

 

3. Meresapi Kearifan Lokal

Alasan ketiga, yang juga menjadi motivasi utama saya dalam bepergian, adalah memeroleh kesempatan berinteraksi dengan warga setempat. Minimal dapat menyaksikan antar mereka. Sering saya mengajak ngobrol pemilik atau pekerja tempat makan untuk bertukar sedikit cerita tentang asal daerah kami, kalau mereka sedang tidak sibuk melayani pembeli lain.

Saya juga sering melihat bahwa warga sekitar acap kali menyempatkan diri untuk mampir ke warung tempat saya makan. Mereka mampir sebentar untuk sarapan sebelum berangkat kantor, atau membeli lauk-pauk tambahan untuk masakan di rumah, atau untuk sekedar bersilaturahmi dengan pemilik tempat makan.

Biasanya saya tidak akan dapat memahami apa yang mereka ucapkan. Tapi menyaksikan mereka berinteraksi dengan bahasa dan dialek yang asing menjadi kepuasan tersendiri. Dan bagi saya itulah esensi berjalan-jalan yang sebenarnya: menemukan hal-hal baru dan asing yang tidak akan saya temui di tempat saya berasal.

 

Menjelajahi Pasar Ubud di Pagi Hari

Terakhir kali saya ke Ubud sekitar setahun yang lalu, saya sengaja memilih tempat tinggal yang tidak menyediakan sarapan. Niat saya sudah bulat. Berbekal tiga pertimbangan di atas, saya ingin mencari sarapan dengan menjelajahi Pasar Ubud.

Berangkatlah saya ke Pasar Ubud untuk menjawab beberapa pertanyaan. Seperti apakah sarapan yang biasa dibeli oleh warga lokal? Apakah sarapan khas warga sini cukup enak? Berbedakah sarapan warga Ubud dengan sarapan di tempat asal saya, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan?

Jika di siang atau sore hari Pasar Ubud didominasi oleh penjual kerajinan dan cinderamata, maka pada pagi hari, para penjual makanan dan bahan-bahan makanan berkumpul menyambut pengunjung pagi hari. Mereka berlomba menarik pengunjung pasar untuk membeli barang dagangan mereka.

Begitu sampai, yang pertama kali saya lakukan adalah berkeliling untuk mengetahui makanan lokal apa saja yang menarik untuk saya cicipi. Makanan apa saja yang baru pertama kali saya lihat dan ingin saya ketahui namanya. Penjual mana saja yang antreannya paling panjang – yang mungkin berarti menjadi favorit warga setempat.

 

Memutuskan di Antara Banyak Pilihan

Setelah berkeliling, saya memutuskan untuk mencicipi beberapa makanan. Sulit sekali memutuskan makanan mana saja yang saya inginkan, karena banyaknya pilihan. Sayangnya, karena saya datang ke pasar dengan perut kosong, saya sedikit kalap tidak bisa mengendalikan diri. Pagi itu saya membeli otak-otak, nasi campur, gorengan, kerupuk, dan kue-kue berbahan dasar ketan.

Namun mengejutkannya, untuk makanan sebanyak itu, saya hanya perlu menghabiskan uang sebanyak Rp 25 ribu. Bisa dibayangkan kalau jumlah tersebut mungkin tidak akan cukup untuk membayar kopi pagi di tempat yang sedang populer di Instagram.

Selain itu, jika tidak ke pasar, saya mungkin tidak akan berkesempatan berbincang-bincang dengan Ibu Nyoman penjual kue (yang menurutnya beliau sudah lebih dari dua puluh tahun berjualan di Pasar Ubud), Bapak Aris penjual otak-otak (yang meyakinkan saya bahwa rasa otak-otaknya lebih enak daripada otak-otak yang ada di Jawa), atau Ibu Dwi penjual nasi campur (yang jarinya sangat luwes dan lentik, sehingga saya yakin bahwa waktu muda beliau sering tampil menari).

*

Pagi itu saya kembali dari Pasar Ubud dengan senyum terkembang. Paling utama karena saya dapat merasakan sibuknya Pasar Ubud di pagi hari, menyaksikan bagaimana keramahan warga lokal dalam menyambut orang luar yang ingin mencoba jajanan khas dan favorit warga Ubud. Tapi selain itu juga karena perut yang sangat penuh dan rasa menang setelah berhasil mendapatkan nasi campur dengan harga Rp 10 ribu per porsi.

Mungkin tahun ini saya akan mencontek Kompas Travel Fair dan merevisi slogan travelling saya menjadi: Travel more, explore more, but whenever possible, pay less.

Oleh : Ahmad Zakky Habibie

[gravityform id=”40″ title=”true” description=”false”]