MENGGAPAI PESONA DIENG
Bandung sore itu mendung, baru saja hujan dengan aroma tanah khasnya yang sering membuat rindu. Lain halnya dengan minggu lalu saat kami masih tinggal di London. Walaupun kota ini sering turun hujan tapi aroma khas setelah hujan reda hanya ada di negara-negara tropis seperti Indonesia.
“Neng, minggu depan aa mau pergi ke Dieng. Kamu mau ikut?”
“Ngapain a? meuni gak ada kacape kan kita baru seminggu pulang atuh!”
“Justru itu neng, Aa kangen mendaki gunung di Indonesia. Ini ada temen yang ngajakin, pasti seru”
“A kan kemarin kita baru ke National Park Lake District di Inggris, iya sih kita gak sempet naik ke puncaknya, tapi kan udah kenyang jalan-jalan sama main di danaunya.”
“Pasti lain neng rasanya, yuk udah ikut aja kita juga kan belum sempet bulan madu di Indonesia. Aa sibuk kerja selama disana, kita naik gunung itung-itung bulan madu.”
“Terserah kamu aja lah a.”
Perbincangan kami sore itu akhirnya berakhir pada pendaftaran dua peserta menuju Dieng bersama geotrek Indonesia. Sebuah komunitas yang lahir dari museum geologi di Bandung, orang-orang yang haus akan petualangan di alam bebas.
“Semua udah siap kan? Obat-obatan terutama, kan kamu punya ashma neng”
“Udah a, semua udah siap. Repot pisan ih, sampe harus nyewa sepatu gunung segala. Apa susahnya sih beli?”
“Kan kita jarang naik gunungnya, lagian minjem juga cuman 15 Ribu!”
Titik pertemuan kami ke Dieng adalah museum Geologi Bandung, kami sedikit heran kenapa tidak di stasiun kereta saja ya? Karena dari cerita-cerita teman yang sudah pernah ke Dieng moda transportasi paling mudah menuju Wonosobo, kota dimana wilayah pegunungan Dieng itu berada adalah menggunakan kereta.
Sampai di museum geologi kami kaget, ternyata dari Bandung menuju Wonosobo kami akan menggunakan mobil. Bentuknya mirip dengan mobil-mobil travel Bandung – Jakarta yang sering saya gunakan sewaktu masih bekerja di ibu kota. Jika menggunakan mobil artinya kami akan menghabiskan waktu selama 12 jam sambil duduk! Sama dengan satu perjalanan bulak balik London – Lancaster menggunakan bus.
“ A ini serius kita pake mobil?”
“Iya, hehe”
“Kamu gila? Kita biasa pake bus dari Lancaster ke London aja 6 jam! Kamu pengen bikin pantat istri kamu ini gepeng?”
“Pasti seru, percaya ya sama aa”
“TERSERAH!”
Setelah perkenalan bersama Geotrek Indonesia dan Mata Bumi sebagai pengatur acara. Kami berangkat jam 5 sore dari Bandung menuju Wonosobo. Beruntunglah selama perjalanan, supir kami adalah orang yang sangat humoris bahkan selama perjalanan dia tidak berhenti menceritakan koleksi lelucon yang dia miliki.
“Coba sekarang tebak, siapa nama aslinya ibu kita Kartini? Ujar pak sopir
semua penumpang terdiam bingung
“Nyerah? Nama asli ibu kita kartini itu Harum!”
Kemudian ia menyanyikan lagu ibu kita Kartini
“ibu kita kartini, putri sejati, putri Indonesia, HARUM namanya”
Sontak seisi mobil tertawa, kami beruntung walaupun perjalan akan sangat panjang tapi mendapatkan supir super eror seperti pak Iyey, katakan lah namanya itu karena saat berkenalan ia bilang
“Nama saya Iyey” sambil menirukan gaya banci taman Maluku.
Sampai juga di Wonosobo, jam menujukan pukul 05.00 setelah selesai solat subuh kami langsung menuju ke salah satu puncak gunung di kawasan Dieng.
Si Kunir, itulah sebutan bagi bukit yang biasa dipakai orang-orang untuk melihat matahari terbit. Nama Kunir/kunyit diambil dari bumbu traditional Indonesia yang sering digunakan untuk menguningkan masakan, kuning perlambang dari warna matahari.
Dibutuhkan waktu kurang lebih 45 menit (ukuran stamina umur 25-30 tahun) sampai ke puncak. Selama perjalanan mendaki banyak sekali yang berteriak
“ Ayo semangat sebentar lagi sampai!”
Setidaknya rasa lelah yang menyelimuti badan ini agak terobati dengan motivasi-motivasi yang diberikan orang-orang asing itu. Nyatanya puncak masih jauh dari pandangan mata. Jalan pendakian yang sempit dan cahaya yang hanya mengandalkan head lamp dan senter menjadi tantangan tersendiri untuk kami.
Pemandangan-pemandanga seperti ini yang membuat kami berdua terus semangat dan fokus pada pendakian. Lengan kami saling menggenggam, tidak perduli seberapa lelah jantung ini memompa darah keseluruh tubuh. Kita harus sampai ke puncak!
“Ayo neng semangat, puncaknya udah keliatan tuh. Sebentar lagi!”
“Iya a, bagus banget ya pemandangannya”
Akhirnya kami sampai di puncak, disapa oleh matahari pagi yang hangat. Ini lah kami di atas puncak bukit si Kunir. Rasanya ingin meneteskan air mata saat melihat pemandangan di sekitar.
“A indah banget ya!”
“Percaya kan sekarang?”
“Iya percaya tapi kenapa sih harus repot-repot naik gunung untuk bulan madu? Orang mah pergi ke Bali, Belitong, Raja Ampat. Tinggal leyeh-leyeh di pinggir pantai sambil menikmati suasana disekitar”
“Soalnya, semua laki-laki pasti suka gunung neng. Tuh apalagi gunung nya ada dua!”
“APA SIH A!”
Menghabiskan semalam di Sikunir sambil berkemah di sekitar danau, memberikan kesan tersendiri bagi kami. Udara dingin, matahari yang tidak lagi pendek dan adzan yang selalu bersahutan saat memasuki waktu solat adalah sebagian suasana mewah yang tidak kami dapatkan saat tinggal merantau di Inggris sana.
Hari ini kami berencana pergi ke ratapan angin, sebuah lokasi yang masih ada di wilayah pegunungan Dieng. Dimana kita bisa melihat talaga warna dari kejauhan.
“Bagus ya ternyata, bisa liat danau yang warnanya ijo tosca dan ijo tua sebalah-sebelahan gitu”
“Cie, yang mulai kesemsem sama Dieng. Sabar neng kita masih akan ke candi Arjuna”
“Arjuna a?”
“Iya candi Arjuna, lebih tepatnya komplek candi Arjuna karena disana nanti ada beberapa reruntuhan candi. Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Sembadra, pokoknya keren dijamin”
***
Hanya membutuhkan waktu 10 menit dari lokasi ratapan angin menuju komplek candi Arjuna, kami kaget karena sesampainya di komplek candi inilah yang kami temukan
Dieng akan selalu menjadi cerita menarik bagi kami berdua. Mungkin lain kali kita akan mencoba moda transportasi yang lebih cepat seperti kereta api. Sambil menikmati perjalanan pulang, kami teringat doa yang disampaikan pak Bachtiar interpreter kami saat berada di puncak bukit si Kunir
“Tuhan, terima kasih, kami telah dilahirkan di Bumi Indonesia dan kami diberi kesempatan untuk menyaksikan bentang alam yang maha indah. Tuhan, jangan cabut keindahan dan keberkahan dari Bumi Pertiwi. Kuatkanlah kami untuk menjaganya dan kuatkan pula kami agar dapat menikmati pesona bentang alam ini”
Gilang Nur Rahman
10 November 2014