Saya teringat ketika liburan Agustus tahun ini, saya dan suami memutuskan untuk ikut perayaan Dieng Culture Festival (DCF) 5 melalui sebuah agen perjalanan di Jogja kala itu. Perjalanan kami di mulai dari stasiun kereta api (KA) jakarta kota menggunakan KA Gaya Baru Malam dengan keberangkatan jam 10.30 tepat waktu. Saya dan suami excited sekali karena ini perjalanan pertama kami dengan mengusung tema perayaan kebudayaan suatu daerah di Jawa Tengah. Rombongan kami ada sekitar 50 peserta berangkat dari Jakarta, sebelum keberangkatan kami sudah saling mengenal via wahatsapp.
Delapan jam lebih berlalu dan tibalah kami di stasiun KA Lempuyangan. Kami semua di antar ke Ketawang menggunakan 3 bus besar. Disini kami rebahan sebentar, minum teh hangat sambil menunggu peserta lain yang akan bergabung dengan kami dari beberapa daerah dan sambil berganti bus dengan ukuran yang sedikit lebih kecil untuk menuju Dieng. Disini kami juga di bagikan goody bag dari panitia berisi tiket VIP DCF 5, baju, kain khas Jogja dsbnya, menarik bukan. Saat itu waktu menunjukkan jam sebelas malam, kami semua yang sudah berada di bus sudah tidak sabar untuk segera sampai di Dieng karena perjalanan kesini lumayan jauh ternyata. Namun 20 menit berlalu bus pun belum ada yang berangkat, karena ada masalah teknis yaitu beberapa peserta masih banyak yang belum kebagian tempat duduk di bus karena penuh, panitia kewalahan. Kami yang sudah terngantuk-ngantuk di bus hanya bisa menunggu dan berdoa agar peserta lain bisa segera dapat bus. Satu jam berlalu, baru mulai terdengar suara mesin bus untuk bergegas pergi tanpa kami ketahui apakah peserta lain sudah mendapatkan bus. Kami tiba di Dieng tepatnya di Sikunir jam 4 pagi, dengan suhu 0 derajat. Saat itu tujuan pertama kami adalah hiking di bukit Sikunir untuk melihat sunrise, semua orang bergegas agar tidak ketinggalan moment itu. Ada yang naik ojek sampai di persimpangan, saya dan suami memilih untuk berjalan kaki saja menikmati setiap detik perjalanan pendakian ini. Pagi itu banyak sekali yang mendaki, kami mencapai di puncak tepat ketika matahari mulai terbit, rasa lelah saya dan suami terbayar sudah dengan indahnya pemandangan gunung Sindoro dan gunung Sumbing, dinginnya udara sampai menembus tulang rasanya. Bukit Sikunir ini terletak di desa Sembungan, desa tertinggi di pulau Jawa, Saya setuju jika tempat ini disebut spot terbaik untuk melihat bangunnya sang Surya. Selesai menikmati tempat ini serta berfoto-foto, kami turun dari bukit menuju homestay. Ketika berada di bawah, saya melihat banyak aktivitas anak-anak kecil yang mau berangkat menuju sekolah, saya melihat hampir semua anak kecil ini pipinya kemerahan, mereka terlihat sangat menggemaskan. Saya juga menikmati jajanan mereka di pagi hari yaitu “buah anget” bentuknya seperti sop buah namun hangat tidak dingin, harganya seribu rupiah.
Aktivitas kami sesampainya di homestay yaitu bersih-bersih tubuh alias mandi. Saya nekat mandi tanpa air hangat karena saya pikir kapan lagi saya menikmati mandi dengan suhu udara sedingin ini tanpa air hangat, sensasinya pun membuat saya terlena. Siap mandi, saya dan peserta lain segera sarapan. Ketika sarapan kami dikejutkan dengan suara seorang perempuan yang hampir berteriak dengan nada marah ke guide kami. Terdengar suara marah perempuan ini, karena dia tidak dapat kamar di homestay dan ada juga beberapa peserta lain mengalami hal yang sama seperti dia, selidik punya selidik kemarahan perempuan ini meluap karena selalu mendapat perlakuan buruk dari awal perjalanan padahal dia sudah membayar mahal untuk ikut trip ini. Saya sempat membayangkan jika saya di posisi dia, saya bisa merasakan lelahnya dia ikut perjalanan ini dan di perlakukan buruk oleh agen perjalanan tapi menurut saya, akan lebih baik jika perempuan itu diam sejenak selama 6 detik untuk berpikir sebelum bertindak, mengelola emosinya. Jika ia marah seperti itu, saya yakin beberapa hari kedepan ia tidak bisa menikmati liburannya di Dieng.
Terlepas dari cerita perempuan tadi, saya meneruskan agenda saya untuk mengunjungi komplek Candi Arjuna bersama suami dan peserta lain menggunakan bus karena setelah itu kami juga akan mengunjungi kawah Sikidang dan Telaga Warna. Turun dari bus betapa kagetnya kami pergi tanpa di dampingi guide untuk menjelajah Dieng, beberapa peserta mengoceh tiada henti. Saya dan suami sepakat untuk berkeliling candi meninggalkan peserta lain yang sedang mengoceh. Candi-candi di komplek Arjuna kala itu hampir semuanya sedang di pugar dan di jaga ketat oleh banyaknya polisi berbadan tegap, kami tidak kecewa karena disana kami mengalihkannya dengan kuliner. Kami menikmati kentang goreng khas Dieng dan es dawet durian. Setelah itu kami meneruskan perjalanan kami ke Kawah Sikidang. Di kawah Sikidang pemandangannya tidak jauh beda dengan kawah-kawah yang pernah saya kunjungi, isi kawah tsb belerang dan sempat tercium beberapa kali aroma busuk. Bau tsb berasal dari telur-telur yang kelamaan berada di dalam kawah, maklum ada satu pedagang yang memasak telurnya di kawah tsb. Nah, di Telaga Warna panoramanya cukup menggoda mata, air telaga kadang berubah warna seperti pelangi. Di seberang lokasi Telaga ini saya dan suami menikmati mie Ongklok khas Dieng. Oh ya, saya juga sempat membaca chat di whatsapp keluhan beberapa peserta yang di tinggal di homestay saat ke Candi Arjuna sampai Telaga Warna. Hmmm sepertinya agen perjalanan yang saya ikuti belum terampil dalam membawa trip besar. Malam hari, kami menuju komplek Arjuna kembali untuk menikmati Jazz Atas Awan, acaranya seru. Selain panggung musik, ada banyak juga kegiatan lain seperti, bakar jagung massal, pelepasan lampion, dan berbelanja benda unik khas Dieng dan sekitarnya. Malam yang indah.
Puncak dari festival budaya ini adalah keesokan harinya yaitu ritual pemotongan rambut anak bajang atau rambut gimbal. Saya baru tau saat itu bahwa festival ini di hadiri lebih dari 20.000 pengunjung, animo peserta luar biasa. Selesai ritual rombongan kami bergegas menuju stasiun KA purwokerto untuk kembali pulang ke Jakarta. Dalam perjalanan pulang, di grup whatsapp banyak keluhan, cacian dari peserta dan ada juga yang mengancam akan memposting tulisan mengenai buruknya pelayanan agen perjalanan dari Jogja ini. Maklum karena sampai di purwokerto ada beberapa peserta yang ketinggalan kereta yang jadwalnya berbeda dengan rombongan kami.
Buat saya liburan ini sangat berkesan, bukan hanya karena pengalaman menggunakan jasa agen perjalanan yang kurang professional saja tetapi tempatnya memang sungguh memesona, saya tak ragu untuk tahun depan datang kembali di DCF 6 dan menikmati dinginnya 0 derajat.