Home Lomba Blog KTF 2017 Menelusuri Kisah Mangkunegara VI, Pemimpin Yang Bersahaja

Menelusuri Kisah Mangkunegara VI, Pemimpin Yang Bersahaja

oleh

Surakarta yang lebih dikenal dengan Solo memiliki sejarah masa lalu yang panjang dan terhormat. Di sinilah raja-raja Mataram bertahta dengan kisah yang selalu menarik serta bisa menjadi teladan. Masing-masing dari mereka memiliki gelar dan wilayah kerajaan sesuai dengan perjanjian pada masa pemerintahannya. Praja Mangkuneragan adalah salah satu kerajaan yang ada di Solo yang dipimpin oleh penguasa bergelar “Pangeran Adipati Arya”. Sekilas kerajaan ini mengingatkan saya pada Monaco dengan wilayah otonomnya yang juga dipimpin oleh penguasa bergelar “Pangeran”.

Para penguasa ini biasanya akan bertahta seumur hidup, pergantian tahta pada umumnya terjadi saat mereka lanjut usia atau wafat. Uniknya Mangkunegaran memiliki tradisi pergantian tahta dimana tahta tidak selalu diteruskan oleh putra tertua, melainkan dapat digantikan oleh cucu, sepupu, adik atau keponakan. Para Mangkunegara yang telah wafat umumnya dikebumikan di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu yang berada di luar Kota Solo. Terkecuali Mangkunegara VI yang dimakamkan di Astana Oetara yang kini merupakan salah satu cagar budaya Kota Solo, suatu siang saya dan keluarga pun mampir ke sana.

Lokasi makam Mangkunegara VI tak jauh dari pusat kota dan berada di tanah datar sehingga cukup mudah untuk berkunjung ke sini. Saat berkunjung kita hanya perlu mematuhi tata tertib yang berlaku di sana yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan aturan berkunjung ke makam pada umumnya. Mangkunegara VI dimakamkan bersama para kerabat dan mereka yang pernah mengabdi padanya. Hal menarik, ternyata kedua orang tua Ibu Tien Soeharto pun sempat dimakamkan di sini sebelum kemudian makamnya dipindahkan ke Astana Giri Bangun.

Terdapat masjid dan pendopo serta bangunan yang rencananya akan berfungsi sebagai museum Mangkunegara VI di kompleks pemakaman Astana Oetara ini. Suasananya asri karena banyak pohon besar dan tanaman di dalamnya. Sebuah patung anak kecil yang berada di depan menyambut setiap pengunjung yang datang. Tak jauh di belakangnya terdapat patung Mangkunegara VI yang terlihat bersahaja dengan menggunakan peci sebagai penutup kepala. Selanjutnya di belakang patung tersebut terdapat sebuah pintu gerbang berwarna kuning dan hijau untuk masuk ke dalam area makam utama. Sebuah bangunan beratap (cungkup) dapat terlihat saat kita memasuki area itu, di sanalah Mangkunegara VI disemayamkan.

Ir. Soekarno yang kelak merupakan Presiden Pertama Republik Indonesia disebut-sebut sebagai arsitek Astana Oetara. Kompleks pemakaman ini bisa dibilang tidak “sekaku” makam keluarga kerajaan pada umumnya. Mangkunegara VI memang dikenal dekat dengan rakyatnya, setelah tiada beliau pun dimakamkan dekat dengan rakyatnya. Sebagai pengingat akan hal ini selain berfungsi sebagai makam, Astana Oetara juga rutin menjadi tempat kegiatan warga sekitar dengan puncak acara kebudayaan Grebeg Astana Oetara yang dilakukan dalam rangka peringatan saat Mangkunegara VI naik tahta.

Kisah Mangkunegara VI menarik untuk ditelusuri, salah satunya karena beliau memilih untuk turun tahta atas kehendak sendiri lalu menetap di Surabaya bersama keluarganya hingga kemudian wafat dan dimakamkan di Astana Oetara, Nayu, Solo. Mangkunegara VI bertahta untuk menggantikan posisi kakaknya Mangkunegara V yang meninggal dunia. Hal ini dilakukan berdasarkan pesan ibundanya Ray Dunuk (Putri Mangkunegara III) karena putra Mangkunegara V belum ada yang cukup usia untuk bertahta. Kondisi keuangan kerajaan saat itu pun dalam situasi sulit akibat harga gula masa jatuh karena adanya pesaing baru dari Brazil (Mangkunegaran memiliki pabrik gula yang merupakan salah satu sumber penghasilan kerajaan).

Selain itu manajemen keuangan kerajaan juga perlu dibenahi, sehingga Mangkunegara VI kemudian menetapkan pemisahan yang ketat antara keuangan perusahaan dan keuangan keluarga. Semua sektor ekonomi yang potensial dikelola dengan lebih baik dan modern pada masa itu, semisal tanah milik Mangkunegaran dikelola menjadi tanah-tanah produksi dan sewa. Kemudian dilakukan pengaturan yang ketat terhadap tanah-tanah yang disewa oleh perusahaan milik Belanda. Penyitaan tidak segan-segan dilakukan terhadap mereka yang melakukan penunggakan sewa. Pada akhir kepemimpinannya, hutang kerajaan dapat dilunasi dan keuangan kerajaan menjadi surplus.

Nampaknya pembenahan keuangan dan perekonomian Mangkunegaran adalah peninggalan yang paling menonjol dari Mangkunegara VI. Namun saya juga tertarik dengan prinsip beliau untuk menyederhanakan penampilan dirinya beserta para kerabat kerajaan dengan mewajibkan potongan rambut pendek untuk pria. Kemudian hal penting lainnya dalam kehidupan sosial masyarakat adalah masalah kebebasan dalam memeluk agama. Beliau memberikan izin kepada para kerabat kerajaan untuk memeluk agama kristen. Ini adalah salah satu kisah yang dapat terus dijadikan panutan karena ternyata toleransi bukanlah hal yang baru kemarin sore ada di negeri ini.

Matahari semakin tinggi saya dan keluarga pun harus menyudahi kunjungan kami. Mudah-mudahan lain waktu saya bisa hadir bersama keluarga dalam acara Grebeg Astana Oetara, atau paling tidak saat museum Mangkunegara VI sudah resmi dibuka untuk umum untuk mencari tahu lebih banyak mengenai kisah-kisah keteladanannya. Saya memang sudah bukan berdarah asli Solo, namun berkunjung ke kota ini dan mampir ke salah satu cagar budayanya mengajarkan saya banyak hal tentang masa lalu. Itulah yang membuat saya juga tertarik untuk membawa anak-anak berkunjung ke kota ini dan mampir ke cagar-cagar budaya yang ada di sana. Tujuannya agar mereka belajar sesuatu tentang kota tempat asal nenek moyang mereka yang memiliki sejarah panjang ini.

Saya lalu teringat ketika pernah membaca sebuah artikel dari sebuah media asing yang mengulas tentang penelitian terhadap anak-anak yang diperkenalkan sejarah mengenai nenek moyangnya dan mengetahui banyak hal tentang kisah keluarga mereka di masa lalu. Melalui penelitian itu dikemukakan bahwa anak-anak tersebut akan dapat lebih baik melakukan penyesuaian diri sekaligus lebih tabah dalam menghadapi tantangan zaman. Memahami sejarah dan kisah nenek moyang rupanya merupakan salah satu cara untuk menemukan jati diri. Harapannya dengan mengenalkan anak-anak kepada kisah-kisah dari tanah leluhurnya mereka dapat menemukan jati diri mereka yang kokoh sebagai generasi penerus bangsa. Ibarat pohon dengan akar yang kokoh nantinya akan dapat tumbuh dengan baik.

Oleh : Ratih Janis

[gravityform id=”40″ title=”true” description=”false”]