Pagi kedua saya di kota Seoul. Hari ini merupakan momen yang dinantikan karena salah satu wishlist saya akan terwujud, yaitu mengenakan Hanbok, pakaian tradisional masyarakat Korea Selatan. Meski sempat membayangkan betapa repotnya membawa jaket tebal dan menghadapi udara dingin, saya tidak urunkan niat. Hari ini, saya akan mengunjungi Gyeongbokgung Palace, menikmati jalanan kota Seoul sambil mengenakan Hanbok – sekaligus berfoto di Hanok Village, mencicipi Samgyetang, dan pergi ke sungai Cheonggyecheon.
Dalam perjalanan menuju Gyeongbokgung, saya berjalan-jalan di area pedestrian, tepat di jantung kota Seoul. Saya melihat beberapa patung dari tokoh yang dihormati dan dikenal sebagai founding fathers Korea Selatan, yakni Raja Sejong, dan salah satu pasukan yang terkenal bernama Laksamana Yi Sun-Sin. Hal unik lainnya adalah saya melihat sederet huruf Hangeul, yang menjadi asal muasal bahasa Korea (Korean alphabet). Masih ingat video demonstrasi warga Korea Selatan yang sempat menjadi perbincangan di media sosial? Ya, mereka melakukan unjuk rasa terhadap presiden Korea Selatan (yang kini sudah dimakzulkan), Park Geun-hye, karena beliau tersangkut skandal suap dan korupsi, yang juga melibatkan beberapa pengusaha. Tempat inilah yang menjadi pusat demonstrasi . Pada saat saya kesana, terdapat beberapa barang yang dibuat para demonstran sebagai bentuk unjuk rasa. Salah satunya adalah miniatur penjara, yang di dalamnya terdapat foto Park Geun-hye dan beberapa individu lain yang terlibat dalam kasus tersebut. Sebagai informasi, area pedestrian yang saya ceritakan ini tepat berhadapan dengan Gyeongbokgung Palace.
Karena waktu sudah mendekati jam 12, maka saya segera menuju sebuah restoran sup ayam ginseng yang terkenal di Korea Selatan. Meski antrian mengular hingga ke luar restoran, saya hanya menunggu sekitar 15 menit sampai akhirnya mendapatkan giliran untuk menikmati sajian utama, Samgyetang. Sup ayam ginseng ini menyajikan satu ekor ayam rebus untuk setiap porsinya. Satu mangkuk Samgyetang dihargai sekitar KRW 32,000.
Dari restoran Samgyetang, saya memulai perburuan mencari Hanbok. Saya menemukan sebuah tempat penyewaan Hanbok seharga KRW 15,000 untuk empat jam pemakaian. Motif Hanbok yang disewakan sangat cantik. Ada yang warna pastel hingga motif bunga. Pilihan saya jatuh kepada warna pink dengan aksen emas. Selain Hanbok, disewakan pula aksesoris lainnya, seperti hiasan kepala dan tas kecil. Dari tempat penyewaan Hanbok, saya berjalan kaki untuk menelusuri Gyeongbukgung Palace.
Tiket masuk Gyeongbokgung Palace adalah KRW 8,000. Namun, bagi pengunjung yang datang ke Gyeongbokgung dengan memakai Hanbok, tidak perlu membayar tiket alias gratis. Saya dihampiri oleh seorang siswi SMP Korea yang tergabung dalam komunitas sukarela. Dia memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa ia mendapatkan misi untuk menjadi pemandu wisata untuk grup turis yang datang ke Gyeongbokgung.
Gyeongbokgung Palace merupakan komplek istana terbesar di Korea, diantara lima istana lainnya. Dibangun pada tahun 1395, komplek istana yang digunakan selama kepemimpinan Dinasti Joseon ini memiliki pemandangan dan lansekap yang sangat indah, ditambah dengan latar belakang Gunung Bugak. Di dalam kompleks ini, terdapat banyak bangunan yang diperuntukkan bagi keluarga raja dan ratu pada jaman tersebut. Pintu gerbang istana ini disebut Gwanghamun Gate. Setiap area di dalam istana tersebut dibangun secara strategis – tempat tinggal prajurit terletak di area depan karena mereka bertugas untuk melindungi kerajaan, dan keluarga ratu dan raja tinggal di area belakang istana. Selain itu, desain dan arsitektur bangunan-bangunan di Gyeongbokgung Palace memiliki arti dan makna yang sarat adat istiadat dan kepercayaan lokal Korea Selatan.
Selesai dari Gyeongbokgung Palace – masih mengenakan Hanbok – saya bergegas menuju Hanok Village. Hanok merupakan sebutan untuk rumah tradisional Korea. Kawasan ini sebenarnya adalah kawasan perumahan warga, namun desain bangunannya masih menggunakan gaya rumah tradisional Korea. Tempat ini sangat populer di kalangan turis karena kerap dijadikan lokasi syuting dan memiliki nuansa khas ‘Korea’. Hanok Village dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari Gyeongbokgung Palace selama 15 menit, atau menggunakan taksi yang hanya membutuhkan waktu 5 menit.
Saya masih punya waktu sekitar 1,5 jam hingga waktu pengembalian Hanbok. Akhirnya saya berjalan-jalan, menyusuri pedestrian pusat kota Seoul, sambil menikmati angin musim dingin dan matahari senja. Saya sempat membeli camilan, yaitu semacam kue bolu dan buah stroberi, yang saat itu sedang memasuki musim panen.
Perut sudah berisik minta diisi. Saya bergegas menuju ke Dongdaemun untuk makan malam. Sebelum menuju ke restoran, saya melewati Cheonggyecheon Stream, atau Sungai Cheonggyecheon. Aliran sungai ini mengalami proses restorasi pada tahun 2005. Sebelumnya, area tersebut merupakan kawasan kumuh dan tidak terurus. Ketika saya berkunjung dan menuruni anak tangga untuk melihat sungai lebih dekat, saya sangat kagum. Meski di tengah kota, air sungai sangat jernih, bersih, dan bahkan banyak seni mural di sepanjang dinding sungai. Dipayungi oleh jembatan Narae dan Gwanggyo, sungai Cheonggyecheon telah disulap menjadi atraksi wisata yang menarik.
Menu makan malam kali ini adalah Budae Jjigae. Korean hot pot ini mulai banyak diadopsi oleh restoran-restoran Korea di Jakarta. Budae Jjigae terdiri atas potongan sosis daging, sliced beef, tteok, sayuran, dan mi (ramyeon). Seluruh bahan dimasak di dalam panci berisikan kuah kaldu yang memiliki bumbu rempah berwarna merah. Sangat pas dinikmati saat cuaca dingin.
Oleh : Edwina Tjahja
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting