Home Lomba Blog KTF 2014 Menapak Kawah Ijen

Menapak Kawah Ijen

oleh

Rasa penasaran membuncah untuk menyaksikan blue fire yang fenomenal. Terbilang unik karena hanya ada dua blue fire di dunia, akhirnya kami memutuskan untuk menikmati salah satunya. Liburan di tahun 2013 lalu menjadi petualangan besar yang membekas. Selain memiliki destinasi yang menantang, petualangan ini saya lalui bersama keenam teman lainnya.

Rencana perjalanan yang sudah kami susun selama tiga bulan pun akhirnya terealisasi di bulan Juli. Kami memulai perjalan a la backpacker. Bukan supaya dibilang keren karena mengikuti tren, hanya saja kami ini mahasiswa dengan dana pas-pasan dan bermodal barang pinjaman teman.

Berbekal dua tenda, logistik untuk 3 hari, dan perlengkapan lainnya, kami pun memulai perjalanan dari Solo pukul 08.00 pagi. Kereta Sri Tanjung seharga Rp 50.000 siap mengantar kami menuju pemberhentian terakhir, stasiun Karangasem, Jawa Timur. Bisa Anda bayangkan bagaimana di dalam kereta ekonomi selama 12 jam ? Dari pemandangan di luar jendela yang masih hijau segar sampai gelap gulita. Dari bernyanyi burung kakak tua berulang kali, bergurau, sampai bermimpi masing-masing. Aktivitas selama di kereta membuat kami cukup bosan. Akhirnya pukul 21.00 kami tiba di pemberhentian terakhir, stasiun Karangasem, Banyuwangi.

Bingung karena sampai di malam hari dan tidak ada angkutan umum seperti yang kami rencanakan, akhirnya kami menerima tawaran jasa carter jeep seharga Rp 450.000 kami meluncur ke Paltuding, yaitu pintu masuk dari Kawah Ijen. Udara dingin sudah menembus kulit, hujan dan kabut pun melengkapi perjalanan kami menuju Paltuding. Jalan yang berkelok, terjal, dan rawan jurang membuat supir harus jalan perlahan.

Tidak banyak hal yang bisa kami lakukan usai tiba di Paltuding. Tidak ada listrik dan minim pencahayaan. Meskipun kami ditawari sebuah ruangan yang bisa disewa untuk menginap, kami memutuskan untuk membangun tenda di tengah hujan yang mulai lebat. Kami mengakhiri malam di hari pertama dengan mie instan, kopi, dan tidur lelap.

Sadar dari sisa kelelahan semalam, mencium aroma tenda yang basah membuat kami terbangun dengan semangat. Ini pagi yang dinantikan! Melihat secara langsung Kawah Ijen yang selama ini hanya kami pandang melalui foto dan video orang lain. Selesai sarapan di warung bu Saleh, kami berjalan menuju Kawah Ijen. Kurang lebih 3 km kami lewati dengan banyak istirahat. Maklum, sebagian dari kami sudah terbiasa dengan kegiatan hiking dan bagi tiga orang (termasuk saya) perjalanan ini merupakan pengalaman pertama. Kami melanjutkan perjalanan dan disalip oleh rombongan bule. Ya, bulan Juli merupakan bulan terpadat untuk Kawah Ijen. Tapi yang paling mengherankan adalah para penambang belerang. Sering kali kami berpapasan dengan orang muda maupun bapak-bapak yang sedang memikul belerang di pundaknya. Kurang lebih 30 kg beban yang harus mereka pikul dan naik-turun menyusuri Kawah Ijen menuju pos timbangan (lokasi menjual belerang). Meskipun begitu pria perkasa itu jalannya lebih cepat dan gesit daripada kami yang tidak membawa beban berat.

Setibanya di Pos Bunder (Pos Pertama), kami mengehela napas bersama para pengangkut belerang yang juga berjualan kerajinan tangan berbahan dasar belerang. Kerajinan ini memiliki bentuk yang beragam, kura-kura, kelinci, beruang, sampai karangan bunga. Harganya pun sangat miring, untuk ukuran kecil dihargai Rp 2.000 atau Rp 5.000 dapat tiga dan ukuran besar dihargai Rp 15.000, tawar-menawar tentu saja berlaku di sini. Selesai berbincang dan mengumpulkan informasi untuk persiapan menikmati blue fire di esok subuh, kami pun melanjutkan perjalanan hingga puncak tertinggi. Sayang, seorang teman dari kami terpaksa mundur karena sakit.

Kawah Ijen berhasil kami injak di siang hari. Perasaan senang dan kagum menyelimuti kami. Melihat hamparan pasir cokelat dan awan yang menyapa kami begitu dekat rasanya bukan impian lagi. Saya berjalan menyusuri pasir-pasir lembut dengan dihiasi batu-batu besar yang sekiranya bisa dijadikan tempat berlindung dari angin kencang. Di kanan dan kiri saya nampak kawah yang menyimpan air berwarna hijau muda. Segera kami mendekati bibir kawah yang dipenuhi oleh kabut. Bau belerang yang tidak mengenakkan sudah menusuk hidung kami. Saatnya mengenakan masker yang kami beli seharga Rp 10.000 di Paltuding. Muncul pertanyaan di benak saya, bagaimana para pengangkut belerang itu bisa bertahan setiap harinya dengan bau yang membahayakan kesehatan ini? Konon katanya, paru-paru para penambang belerang ini lebih tebal dari manusia biasa, sehingga bukan menjadi masalah lagi bagi mereka meskipun tidak mengenakan pelindung.

Kami terpaksa turun karena bukan lagi kabut yang mengejar kami, melainkan gas magma yang berbahaya. Menurut cerita dari salah satu penambang belerang, pernah ada salah satu pengunjung yang terkena racun dari gas belerang karena tidak patuh dan nekat untuk menetap di atas.

Ini saatnya untuk menyaksikan blue fire! Pukul 03.00 pagi, berbekal cokelat, air mineral, dan tenaga yang tersisa saya dan keempat teman lainnya kembali menuju Kawah Ijen. Perjalanan 3 km kembali kami tempuh dengan rasa yang berbeda. Dini hari napas terasa lebih berat dan kaki beku karena suhu yang sangat rendah. Sesekali saya terhenti karena merasa benar-benar tidak kuat, tetapi seorang penambang belerang dengan murah hati merangkul saya dan menyemangati saya untuk menyaksikan blue fire yang fenomenal itu. “Ayo sebentar lagi! Jangan mau kalah sama turis Jepang itu!” ujar beliau sambil menyeret saya terus berjalan. Puas sudah mencapai di kawah ternyata tidak cukup untuk menyaksikan blue fire. Ternyata saya harus menuruni tebing tersebut untuk benar-benar melihat apa itu blue fire.

Ternyata bagian tersulit belum saya lewati. Tidak ada jalan setapak, melainkan bebatuan kapur yang licin dan rapuh. Berulang kali saya merosot dengan sengaja karena takut untuk melangkah. Sering kali saya berpapasan dengan beberapa turis domestik yang digendong oleh seorang porter. Ini pemandangan yang baru bagi saya dan kata salah satu teman memang itu sudah biasa terjadi di gunung mana saja. Sedikit ada rasa bangga yang menyeruak di dada. Saya berhasil berjalan dan mencapai bibir kawah Ijen dengan kaki sendiri dan semangat oleh teman-teman seperjuangan. “Best friends make the good times better and the hard time easier” ini benar.

Merasa kecil, sangat kecil di antara hamparan tebing dan dihadapkan oleh bebatuan yang menyemburkan api biru. Ya, saya dan teman-teman berhasil menyaksikan salah satu api biru di dunia, kemudian satu lagi terdapat di Islandia.

Kawah Ijen merupakan salah satu bukti kekayaan Indonesia. Lokasi ini berhasil menjadi tempat pariwisata terlaris sepanjang tahun. Setiap tahunnya ribuan turis antre untuk mengabadikan blue fire. Senang pernah menjadi bagian dari petualangan 2013 dan saksi dari keindahan alam Indonesia.

Penulis

Sekar Rarasati

Twitter : @sekararasati

Artikel yang mungkin kamu suka