Home Lomba Blog KTF 2014 Sepotong Hati dan Selembar Selendang di Koto Gadang

Sepotong Hati dan Selembar Selendang di Koto Gadang

oleh

Saya sudah sering dengar Koto Gadang.  Bayangannya ya kota, wong namanya saja Koto – Gadang.  Besarnya seperti apa, ga berani nebak juga.

 

 

Jadi ingin tahu tentang Koto Gadang karena naksir banget sama selendang sulam emas yang dipakai ibunya teman saya.  Ugh, kok saya yang bapaknya orang Minang ga pernah punya selendang begitu.  Serius banget deh cakepnya selendang sulam emas itu dan kabarnya hanya dijual di Koto Gadang.  Bayangan saya selendangnya itu warnanya krem, dengan sulaman benang emas dan bunga-bunga warna merah dan kuning.  Pasti cantik!

 

 

 

 

Selanjutnya, saya berkenalan dengan Itiak Lado Mudo buatan ibunya teman yang sama.  Rasanya ga ada bandingannya.  Mantep banget. Nothing like it.  Rendang sih sudah pasti enaknya, tapi Itiak Lado Mudo itu juga nyam nyam banget.  Tambah penasaran.  Kok di satu daerah bisa ada dua hal yang menarik hati.

 

 

Keinginan mengunjungi Koto Gadang kesampaian ketika saya dan 3 orang teman lainnya berlibur ke Sumatra Barat.  Lepas dari Sawahlunto kami menuju ke Koto Gadang, kampung halaman salah seorang dari kami. FYI, teman kami ini aseli anak Koto Gadang.  Asli dalam artian bapak ibunya memang orang Koto Gadang.   Kalau di Hogwarts teman saya itu masuk golongan Pure- Blood.

 

 

Hari itu kami tiba di Koto Gadang agak sore menjelang magrib.  Jadi saya tidak sempat lihat sekeliling dengan seksama.  Tapi saya ingin tahu seberapa besar Koto Gadang ini.  “Koto Gadang itu dari mana sampai mana? Pusat kotanya mana?”, “Nah itu tadi pusat kotanya, yang tadi kita lewatin” eh? “Alun-alunnya mana?”, “Ya itu tadi”.  Jadi sekedar informasi saja ya, yang dibilang alun-alun, pusat kota itu sebuah masjid ukuran sedang  dan rumah gadang ukuran medium. “Kotanya mana?”, ga puas saya dengan jawaban anak asli Koto Gadang ini.  “Ya cuma segini”, “Start dari mana sampai mana?”, “Dari ujung jalan kita masuk itu, sampai ujung ga jauh dari sini”, “Jadi yang kota itu yang mana?”, “Engga ada.  Koto Gadang itu kampung”,  ealah, kirain kota macam Cirebon atau Pekalongan gitu.

 

 

Malam pertama di Koto Gadang belum pas kalau tidak mencoba Itiak Lado Mudo di tempat asalnya.  Wuah, makan malam yang mewah.  Setengah itiak kami habiskan berempat.   Setelah itu kami  konsentrasi dengan buku masing-masing, main game di ponsel serta nonton Take Me Out di TV dan pergi tidur agak awal.  Perut kenyang dan udara sejuk adalah panduan sempurna untuk segera kemulan dengan selimut tebal.  Berhubung sinyal Telkomsel tidak tembus kesini, jadi mau update status di Path atau FB juga ga mungkin.

 

 

 Pagi hari, saya bangun, sholat subuh dan membuka pintu teras belakang rumah. Pemandangannya priceless! Gunung Singgalang berdiri megah di belakang rumah.  Wuih.  Berjuta rasanya deh buka teras belakang rumah, dan teraraaa, ada gunung kece.  Saya bengong sejenak. Menikmati momen bengong itu dengan sepenuh hati.  Tuhan Maha Besar.  Saya masih diberi kesempatan melihat pemandangan secantik dan semegah ini.

 

 

Jalan ke depan rumah, longok kanan kiri, pemandangannya seperti di kartu pos.  Matahari bersinar cerah, langit biru bersih, tanaman hijau sepanjang jalan.  Ini adalah pagi yang sempurna.  Tidak mau menyia-nyiakan pagi yang cerah, kami jalan kaki ke Janjang Koto Gadang. Yaitu tangga curam yang melintas Ngarai Sianok.  Menuju Janjang Koto Gadang kami melewati sebuah pasar.  Ah, pasarnya so cute. Kecil, hanya seperti sepetak tanah diperempatan jalan,  diantara rumah-rumah. tapi lengkap rupanya. Karena jualan bebek yang siap digulai dengan cabai hijau itu.  Browsing sebentar di pasar, kami melanjutkan jalan kaki  ke Janjang Koto Gadang.

 

 

Sejak jaman dahulu kala, Janjang ini adalah jalan potong menuju ke Bukittinggi.  Sampai sekarang masih bisa sih, sudah  bagus pula rutenya, tapi sadar diri dengan keadaan fisik yang bukan atlit, kami memutuskan hanya nyicip tangga-tangga curam itu sedikit lalu kembali ke atas.

 

 

Sudah jalan-jalan keliling Koto Gadang, tapi selendang sulam emas belum juga ditengok.  Teman saya bilang, kalau mau lihat-lihat kerajinan lokal datang ke Amai Setia.  Pusat pemberdayaan perempuan yang didirikan oleh Rohana Kudus. Wow, tempat bersejarah tuh. Yang mendirikan saja Rohana Kudus, pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia.  Lokasi Amai Setia hanya 100 meter dari rumah.  Seperti biasa, karena dekat jadi merasa bisa ditunda-tunda.

 

 

Esok harinya,  27 Januari 2013.  It was my birthday.  Again, saya merasakan pagi yang sempurna.  Bangun tidur, buka mata, Gunung Singgalang, udara bersih, dikelilingi oleh teman-teman tercinta.  Sempurna. Yeap, saat yang tepat untuk menghadiahi diri sendiri selendang cantik itu.  Saya bertekad bulat pergi ke Amai Setia.  Tapi ternyata karena pagi itu juga ada acara peresmian Janjang Koto Gadang, seluruh warga ikutan acara jalan pagi.  Jadi Amai Setia baru akan bukan jam 13 siang.  Ugh. Sementara kami harus sudah segera hit the road karena akan kembali ke Jakarta. Memang belum jodoh nih untuk punya selendang sulam emas nan ciamik itu.

 

 

 Dua hari dua malam kami habiskan di Koto Gadang. I really enjoy my time in Koto Gadang. Pemandangan yang mahal, udara sejuk dan bersih, langit biru, rumah-rumah antik terawat rapih di kanan kiri jalan. Jadi malas pulang.  Sehingga saya memutuskan untuk meninggalkan sepotong hati saya di tempat ini.  Pasti akan kembali lagi, karena ternyata meskipun sudah sampai di Koto Gadang, selendang sulam emas itu belum jadi hak milik.

Penulis

Chempaka Sjahbuddin

Twitter : @chempakasj