Sedang murung atau sedih? Jangan risau.
“Banting saja kemurunganmu di Bantimurung,” seloroh kawan saya saat kami bercakap mengenai obyek wisata andalan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Jaraknya lebih kurang 45 km dari Kota Makassar.
Dan memang benar, selama saya melewatkan masa SMA di Maros dulu (1986-1989), Bantimurung menjadi pilihan berwisata bagi kami sekeluarga dan teman-teman sekolah. Selain memang tempatnya dekat, air terjun serta obyek wisata lain yang ada di sekitarnya menawarkan keindahan. Kemurungan itu rasanya bagai terbanting. Dari pusat kota Maros, Bantimurung sudah dapat dijangkau dengan waktu lebih kurang 20 menit dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum.
Saat mudik Lebaran ke Makassar tahun lalu, saya menyempatkan diri ke Bantimurung. Pada hari Sabtu (10/8/2013) pukul 06.30 kami sekeluarga bersama keluarga adik saya Yayu (minus Iwan, suami Yayu, yang sehari sebelumnya mudik ke Gorontalo hingga hari Senin), bersiap menuju daerah wisata Bantimurung di kabupaten Maros yang terkenal dengan air terjun serta “kerajaan” kupu-kupu-nya itu. Ferry, anak kak Fenny, sepupu saya yang kebetulan tinggal berdekatan dengan rumah orang tua di Antang, menjadi pengemudi Toyota Avanza yang biasa dikendarai oleh Iwan dan akan membawa kami ke Bantimurung.
Kami menempuh jarak sekitar 20 km dari Antang menuju Bantimurung. Saya masih ingat terakhir kali kesana sekitar tahun 1993 atau sudah 20 tahun silam. Seperti apa rupanya Bantimurung sekarang, membuat saya makin penasaran. Saat melintasi ibukota Kabupaten Maros, saya sempat menunjukkan kepada isteri dan kedua anak saya tempat saya bersekolah di SDN 1 Maros (1981-1982) dan SMAN 1 Maros (1986-1989).
Sepanjang perjalanan menuju Bantimurung kami menikmati pemandangan yang indah, hamparan sawah yang menghijau dan bukit kapur yang kokoh menjulang. “Ini seperti sawahnya eyang di Yogya ya Ma,” kata Rizky berkomentar.
Gerbang Bantimurung sudah didepan mata. Ternyata patung kera raksasa sudah digantikan oleh kerangka kupu-kupu besar yang masih dalam tahap renovasi. Meskipun demikian, patung kera yang menjadi ikon gerbang Bantimurung itu masih tetap berdiri dibelakangnya. Saat melintasi bagian bawah patung kera tepat dibawah bokongnya, tiba-tiba saya berseru,”Awas, keranya kentut tuh, ayo tutup hidung!”. Spontan semua yang ada di dalam mobil tertawa terpingkal-pingkal.
Memasuki kawasan Bantimurung, nuansa kesejukan “mengepung” kami. Pepohonan rimbun dan rindang serta bukit kapur yang tinggi membuat suasana pagi yang kian beranjak siang itu terasa adem. Seperti yang pernah saya tulis di Yahoo Indonesia Travel, kemudian saya tuliskan ulang disini:
Secara geografis objek wisata Bantimurung memiliki luas wilayah mencapai 6.619,11 km2 Memasuki kawasan ini, kita akan disambut oleh sebuah gapura besar dengan kupu-kupu raksasa, diikuti patung kera berukuran jumbo. Ini menandakan Bantimurung merupakan habitat asli kupu-kupu dan kera.
Air terjun jatuh perlahan melalui batu cadas dari ketinggian 15 meter dan lebar 20 meter menyajikan nuansa alam yang khas. Selain pemandangan alam yang indah, air terjun ini juga dimanfaatkan oleh pengunjung untuk kegiatan mandi atau sekadar untuk merasakan percikan sejuk air pegunungan.
Di sekitar air terjun, terdapat cekungan-cekungan sungai yang biasa dimanfaatkan pengunjung untuk berenang. Di sebelah kiri air terjun terdapat jalan wisata dan tempat duduk permanen yang membatasi jalan dengan sungai, terusan dari air terjun. Biasanya pengunjung yang datang sekadar mengabadikan gambar panorama air terjun. Di sebelah kanan air terjun, terdapat areal yang cukup landai untuk berkumpul bersama keluarga dengan menggelar tikar sambil menikmati pemandangan. Pengunjung juga bisa duduk di bawah pepohonan rindang atau mandi di air terjun.
Taman Wisata Alam Bantimurung secara umum bergelombang sampai berbukit-bukit. Batuan kapur membentuk bebukitan terjal di kanan kiri sungai. Daerah datar terletak di bagian selatan, tempat terdapatnya air terjun dan kolam. Daerah datar lainnya yang mempunyai panorama cukup menarik terletak di bagian utara taman wisata alam, dapat ditempuh melalui jalan setapak dari air terjun. Vegetasi yang terdapat di Taman Wisata Alam Bantimurung adalah tipe hutan hujan pegunungan yang didominasi oleh famili Liniaceae, antara lain; jambu hujan (Eugenia sp), jabon (Anthocepalus cadamba), pala-pala (Mangifera sp), enau (Arenga pinnata), centana (Pterocarpus indicus) dan lain-lain.
Selain menikmati pesona air terjun Bantimurung, terdapat objek wisata lain di sekitar kawasan ini yakni goa mimpi dan goa batu. Goa Mimpi merupakan salah satu tempat yang digemari. Di dalam goa terdapat stalaktit (relief batu yang terbentuk dari tetesan air dan menggantung di atas langit-langit goa) indah dengan kumpulan kristal. Bening dan mampu memantulkan cahaya. Di sekelilingnya diterangi lampu sehingga memperindah suasana dalam goa. Inilah yang membuatnya disebut goa mimpi karena ketika berada di dalamnya, kita seakan-akan berada dalam mimpi.
Untuk menuju Goa Batu dibutuhkan stamina yang prima meskipun pengelola sudah membuatkan anak tangga setinggi 10 meter. Perjalanannya cukup jauh dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 20 menit. Namun setelah tiba, segala kelelahan segera terbayar dengan pemandangan indah serta air terjun kecil yang begitu asri. Belum lagi keindahan di dalam goa dengan stalaktit dan stalagmite sepanjang lorong 30 meter.
Setelah membayar karcis tanda masuk kawasan wisata Bantimurung (Rp 20.000/orang) kami lalu menuju ke lokasi air terjun Bantimurung yang terkenal itu. Saya mengawasi sekeliling. Ada banyak perubahan sejak saya terakhir mengunjungi kawasan ini 20 tahun silam. Tak jauh dari pintu masuk tersedia kolam renang khusus yang menggunakan air segar pegunungan, dilengkapi dengan fasilitas seluncur untuk anak-anak. Seingat saya dulu tidak ada kolam renang ini. Beberapa bangunan yang relatif baru juga terlihat. Hal yang tak pernah berubah disini menurut saya adalah, kesejukan udara pegunungan dan rimbunnya pepohonan senantiasa menjadi daya tarik utama kawasan Bantimurung.
Kami mengambil tempat tak jauh dari air terjun. Setelah menyewa tikar (Rp 30.000), kami meletakkan barang-barang kemudian bersiap untuk berenang. Rizky, Alya, Ruli, Yayan, dan Ivan sudah tak sabar. Mereka langsung berganti pakaian renang, menikmati sejuknya air pegunungan. Beruntung sekali, kami datang agak pagi, sehingga masih mendapat tempat cukup strategis serta pengunjung masih belum terlalu ramai.
Saya pun ikut terjun bersama keceriaan anak-anak mandi di Bantimurung. Saat pertama kali mencelupkan kaki ke air, dinginnya bukan main. Saya sempat merasa gentar untuk menceburkan diri, namun setelah melihat anak-anak dengan penuh antusias berenang riang, sayapun nekad menikmati kesejukan air Bantimurung.
Kami lalu mendekat ke arah air terjun untuk mengambil gambar disana. Ternyata bukan hanya kami, banyak pengunjung lain yang punya niat serupa untuk mengabadikan kenangan.
Setelah mengambil gambar di lokasi tersebut, anak-anak kembali mencoba sensasi lain, yaitu berenang memakai ban karet. Saya menyewa 3 ban karet (masing-masing seharga Rp 10.000) untuk dipakai anak-anak.
Alya dan Ivan dengan antusias langsung mencobanya dan menikmati sensasi meluncur diatas air dengan memanfaatkan aliran arus. Mereka berteriak-teriak riang.
Setelah sekitar 2 jam berenang, saya lalu mengajak mereka untuk mandi dan bersiap pulang. Anak-anak sempat menolak dan merasa belum puas bermain. Wah, bisa sampai sore nih kalau mereka tidak mau pulang
Seusai membasuh diri di kamar mandi yang tersedia, kami lalu menuju ke Museum dan Penangkaran kupu-kupu di Bantimurung yang letaknya tak jauh dari lokasi air terjun.
Seperti yang telah saya tuliskan pada tautan ini:
Pada 1856 – 1857, Alfred Russel Wallace menghabiskan sebagian hidupnya di Indonesia untuk meneliti berbagai jenis kupu-kupu, termasuk kupu-kupu Bantimurung. Menurut Wallace, Bantimurung merupakan The Kingdom of Butterfly karena ditemukan beragam spesies kupu-kupu langka yang jarang terdapat di daerah lain. Berbagai jenis kupu-kupu yang terdapat di kawasan tersebut antara lain dari family Saturnidae, Nocturnidae, Spingidae dan Nyphalidae. Jenis kupu-kupu tersebut menurut para ahli hanya terdapat di Taman Wisata Alam Bantimurung. Menurut Matimu (1977) dan Achmad (1998) dalam Buku Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (2006), terdapat 103 jenis kupu-kupu yang ditemukan di sana, dan sebaran kupu-kupu jenis komersil seperti Troides haliptron dan Papilio blumei adalah dua jenis endemik yang mempunyai sebaran sangat sempit, yaitu hanya pada habitat berhutan di pinggiran sungai.
Untuk menjaga kupu-kupu dari kepunahan, pemerintah setempat membuat penangkaran di lokasi ini, dan tentunya menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung. Selain penangkaran, ada juga museum kupu-kupu sebagai informasi dan pusat data kupu-kupu yang hidup di alam Bantimurung. Sebelum pulang jangan lupa untuk membeli oleh-oleh kupu-kupu indah Bantimurung yang sudah diawetkan dalam bingkai kaca dengan jumlah variatif. Oleh-oleh ini bisa dipajang di dinding rumah sebagai kenangan dan tanda bahwa Anda sudah mengunjungi “Kerajaan Kupu-Kupu” di Bantimurung.
Kami mesti melewati jembatan kayu untuk memasuki kawasan Museum dan penangkaran tersebut.Setelah berjalan kurang lebih 50 meter, sebuah bangunan terlihat berdiri tegar disisi pepohonan rindang disekitarnya. Itulah museum kupu-kupu Bantimurung. Setelah membayar tiket Rp 5000/orang, kami pun masuk ke museum tersebut yang menyajikan koleksi kupu-kupu didalam beberapa kotak kaca. Apa yang disajikan cukup informatif dengan memuat nama serta jenis species dari kupu-kupu termasuk asalnya. Sayang ada beberapa kacanya yang retak dan perlu segera diganti.
Dari Museum, kami beranjak menuju tempat penangkaran kupu-kupu yang letaknya tak jauh dari situ.Sebuah “rumah” besar dengan rangka dan jaring-jaring besi yang kokoh dan didalamnya ada pepohonan yang disiapkan agar kupu-kupu bisa berkembang biak.
Saya sangat terkesan ketika masuk didalamnya. Sejumlah kupu-kupu dengan warna-warni indah beterbangan didalam lokasi penangkaran tersebut. Rizky, Alya bersama sepupu-sepupunya berkejaran senang mengejar kupu-kupu untuk menangkapnya.
Salah seorang petugas penangkaran kupu-kupu tersebut sempat menunjukkan kepada kami kepompong kupu-kupu yang siap “menetas”. Juga memperlihatkan bentuk kepompong yang sudah pecah dan “sang pemilik rumah” telah terbang mengarungi dunia kebebasan.
“Di penangkaran ini, semuanya ada 8 jenis spesies yang kami pelihara dengan baik, hingga kemudian terus berkembang biak dalam jumlah yang lebih banyak”, ungkap petugas yang mendampingi kami ketika itu. Setelah puas berkeliling, kamipun beranjak keluar. Bersiap pulang.
Di gerbang masuk Bantimurung, kami mampir di kios oleh-oleh yang menyajikan souvenir-souvenir yang banyak didominasi kupu-kupu yang sudah diawetkan kemudian dikemas ulang dalam bingkai kaca ditambah oleh warna-warni ceria yang cemerlang lewat sayap kupu-kupu. Kami membeli beberapa souvenir berupa kupu-kupu dalam bingkai kaca serta gantungan kunci unik.
Catatan
Tulisan ini juga sudah pernah dimuat di blog saya