Kali ini cerita tentang perjalanan ke Dieng tahun lalu…
Pertama kali nyobain open trip ya ke Dieng ini, orang-orang (baca: agen travel) biasanya menyebutnya sebagai “Negeri di Atas Awan” sepintas memang kata-kata tersebut terkesan “wah” dan menjual. Pada kenyataannya, memang Dieng layak dijuluki dengan sebutan itu.
Berada pada ketinggian 2093 mdpl dan terletak di antara dua kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Dieng memiliki pemandangan yang indah dan saat kamu berada di salah satu spot terkenalnya, yaitu Sikunir atau bahkan sanggup sampai ke puncak Prau, kamu memang akan serasa berada di atas awan.
Masih dengan partner in crime yang sama, yaitu Nadia, kami bertolak menuju Dieng pada jumat malam, dengan meeting point di Dunkin Donnuts Plaza Semanggi. Kami menggunakan elf dengan kapasitas sekitar 20 orang dan berangkat sekitar pukul 8 malam. Karena perjalanan panjang, jadi saya lebih memilih untuk tidur saja.
Paling tidak nyaman memang perjalanan darat yang jauh, makanya saya siapin obat ampuh yang namanya “ant*m*”, walaupun saya bukan tipe yang gampang mabukan (maksudnya mabuk darat ya), saya memilih obat itu sebagai obat tidur yang ampuh hahahaha
Akhirnya sekitar pukul …. hmmm intinya sih siang dan sudah mendekati jam makan siang kami akhirnya sampai di homestay!! *lapar darurat*
Waktu itu saya pakai jasa open trip dari Rani Journey, dengan dipandu oleh Mas Ranu dan Babe sang driver elf yang kocak. Waktu awal-awal perjalanan sih kami masih “malu-malu”, belum kenal satu sama lain, jadi sibuk saja dengan rombongannya masing-masing. Tapi, untunglah selama trip komunikasi kami pelan-pelan terbangun dan akhirnya tidak sia-sia, karena sampai sekarang pun kami masih saling kontak! Kami menamakan grup open trip kali ini dengan nama “LESTARI” hahahahaha *asalnya adalah dari nama homestay kami di Dieng*
Lanjut ke trip …
Untuk destinasi pertama kami adalah kawah Sikidang, untunglah dengan ikut open trip, kami sudah tidak perlu memusingkan biaya masuk ke tempat-tempat wisata. Kesan pertama yang didapat dari kawah ini adalah gersang dan bau belerangnya sangat menyengat, jadi dianjurkan untuk pakai masker ya.
Setelah puas menghirup bau belerang kami pindah ke Dieng Plateau Theater, di sana kita bisa melihat profile lengkap tentang Dieng, mirip seperti bioskop kecil.
Dan … di Dieng itu komoditi utamanya adalah kentang, mau ke tempat wisata manapun, pasti ada yang jual kentang, entah itu dalam kondisi masih mentah ataupun yang sudah diolah jadi keripik, kentang goreng, dan lain-lain. Bisa banget untuk oleh-oleh pas pulang.
Habis dari sini, kami lanjut ke Telaga Warna, saat itu airnya sedang agak surut, tapi tetap bagus.
Untuk hari itu, pemberhentian terakhir kami adalah Candi Arjuna yang sudah tersohor, kami sampai sana sore dan cuacanya lumayan dingin.
Di sana kamu bisa berfoto dengan orang-orang yang berpakaian hanoman dan tokoh wayang lainnya. Bayar 10.000 untuk tiga kali take, tapi kenyataannya kamu bisa foto berkali-kali kok hahaha
Petualangan hari itu sudah cukup, kembali ke homestay untuk istirahat (harusnya) kenyataannya kami malah ngobrol sampai malam sekaligus keliling sekitar homestay, cari jajanan hangat, karena memang turun hujan, seperti agak kurang tepat waktu kami pergi ke Dieng di bulan November, karena cuacanya juga kurang bersahabat kala itu. Malam harinya hujan turun. Padahal besok subuh rencananya kami ingin berburu golden sunrise di bukit Sikunir.
Dengan berbekal baju lapis dan perlengkapan lainnya untuk menangkal dingin, kami mulai start perjalanan pukul 2 pagi. Kendaraan sudah mengantri tidak jauh dari pintu masuk menuju Sikunir. Orang-orang yang punya visi dan misi seperti kami sudah menyebar di jalanan, mulai menuju ke tempat yang sama. Jauh dari bayangan saya, kondisinya penuh orang. Mungkin karena weekend ya.
Untungnya untuk menuju puncak Sikunir, jalur trekkingnya tidak begitu susah, sudah berbentuk tangga-tangga kecil yang terus menuju ke atas. Kamu harus super hati-hati, apalagi karena semalam hujan, jadi tanah agak licin, saya sih menganjurkan pakai sepatu atau sandal gunung, kalau sandal jepit rasanya hanya mempersulit kamu saja. Tentu saja faktor banyaknya orang pun turut kamu perhatikan, di kasus saya, saya mesti mengantri untuk naik selangkah demi selangkah. Pada akhirnya, toh sampai juga di Puncak. Bisa bayangkan betapa ramainya di atas sana. Bahkan untuk mendapat space untuk berdiri pun sulit 🙁
Sepertinya kami memang kurang beruntung, kami tidak dapat golden sunrise, kabut cukup tebal untuk bisa memunculkan sinar sang fajar. Kami pun hanya bisa menikmati euforia puncak Sikunir tanpa melihat matahari terbit. Tapi dibanding itu semua, saya malah sangat bersyukur bisa bertemu dengan orang-orang ini -grup Lestari-, saya tidak menyangka bisa menjalin komunikasi yang baik dengan mereka bahkan sampai dengan hari ini. Padahal tadinya kami tidak saling kenal dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Bahkan kami masih suka bikin agenda untuk jalan-jalan bareng, walaupun cuma daerah-daerah sekitaran aja, yang penting ngumpulnya, seru lah, gara-gara Dieng, jadi ketemu pasukan-pasukan ini 😀
Itulah sekilas perjalanan ke Dieng tahun 2014, harga dari sebuah perjalanan yang sulit dibeli adalah pengalaman, kemanapun kamu melangkah, disitulah kamu punya cerita dan disitulah kamu mengenal orang-orang baru.
Link blog : https://dialoghujan.wordpress.com/2015/06/18/negeri-di-atas-awan/