Home Lomba Blog KTF 2017 Klungkung Bercerita

Klungkung Bercerita

oleh

Kabupaten terkecil di Pulau Bali adalah Klungkung. Walau areanya kecil dibanding kabupaten lain di Bali, namun Klungkung merupakan kabupaten unik karena memiliki tiga kepulauan terpisah, yaitu : Nusa Lembongan, Nusa Penida, dan Nusa Ceningan. Kunjungan ke rumah salah satu teman asli Bali, menjadi awal perkenalan saya dengan kabupaten terkecil ini.

Ibukota Kabupaten Klungkung yaitu Semarapura menjadi titik awal perjalanan saya. Tahun 1908 terjadi Perang Puputan Klungkung yang berlangsung di area ini, sebuah perjuangan masyarakat dalam melawan penjajahan Belanda. Berdiri menghadap Patung Kanda Pat Sari (Patung Catur Muka Klungkung) yang berada di jantung kota Semarapura, memperlihatkan kepada saya dua bangunan besar sarat sejarah yakni Kertha Gosa dan Monumen Puputan Klungkung. Bermula dari titik ini, seakan kembali mengulang sejarah Klungkung lewat cerita yang dituturkan oleh teman saya Agung, sang putra daerah.

Taman Kertha Gosa

Kertha Gosa adalah bukti kerajaan Klungkung yang masih tersisa, tak hancur di masa peperangan dengan Belanda. Memasuki kawasannya, mata ini disuguhkan dengan sebuah kolam lebar bernama Taman Gili yang mengelilingi Bale Kambang, tempat bagi raja bersantai di kala dahulu. Pemandangannya memang asyik untuk bersantai, karena kota Semarapura terlihat dari titik ini. Tak hanya pemandangan, namun juga langit-langit atap bale yang bagai sebuah karya seni menceritakan Perang Sodara Barata Yudha.
Selain Bale Kambang, terdapat dua bale lain yang merupakan tempat untuk mengadakan rapat dan pengadilan. Di salah satu bale, terdapat kursi yang digunakan masa itu, yaitu kursi dengan ukiran lembu untuk para penasihat dan ukiran naga untuk raja. Jika menengadah ke langit-langit atap, maka kita bisa melihat cerita tentang kehidupan setelah meninggal. Masyarakat Bali percaya akan adanya karma, bahwa hasil perbuatan selama hidup akan dihukum sesuai dengan karmanya, hal ini sesuai dengan hukum Karma Phala.
Titik-titik hujan mulai membasahi tanah Klungkung, dan berloncatan ria di atas air Taman Gili. Kami segera menuju bangunan di sisi lain Kertha Gosa yaitu sebuah museum yang menyimpan benda bersejarah pada masa Kerajaan Klungkung, benda yang digunakan oleh pengadilan adat, serta  cerita perjalanan raja Klungkung. Hujan reda meninggalkan basah pada setiap rumput hijau yang tertata rapi di Kertha Gosa, bahkan tempat ini juga menjadi lokasi pre-wedding bagi masyarakat Bali. Penasaran, saya ikut berfoto dengan latar belakang Medal Agung bersama pasangan yang sedang melakukan pre-wedding.
Medal Agung dulunya adalah gerbang utama Kerajaan Klungkung, yang kini menjadi sebuah pura. Ini pertama kalinya saya melihat pura yang hanya memiliki bangunan seperti gerbang pintu, tanpa ada bangunan lain. Meski begitu, umat Hindu dapat berdoa pada kedua sisi bangunan ini, baik bagian depan atau belakangnya. Ada kepercayaan masyarakat bahwa tidak boleh masuk melewati pintu Medal Agung, silakan memutarinya bila ingin menuju bagian belakang Medalagung. Pintu Medal Agung ini tidak pernah dibuka sejak Perang Puputan, karena ada mitos bahwa pintu ini adalah gerbang antara dua dunia. Siapapun yang masuk sisi lain Medal Agung melalui pintu ini, maka akan menuju alam lain.

Monumen Puputan Klungkung

“Inilah simbol perjuangan para tetua dan pendahulu kami yang berperang habis-habisan melawan Belanda pada masa itu,” tutur Agung sambil menunjuk Monumen Puputan, melanjutkan ceritanya tentang sejarah Klungkung yang terus mengalir hingga masa kini. Cerita tentang perjuangan pahlawan dipaparkan dalam diorama yang disusun berurutan mengisi ruangan, dan setiap dioramanya memperlihatkan visualiasi kejadian masa Perang Puputan hingga mencapai kebebasan. Hujan kembali membasahi tanah Klungkung seraya menutup cerita Agung tentang sejarah tanah kelahirannya. Sejenak kami bersantai di bale bengong, yaitu sebuah pendopo yang berada di sudut halaman, membiarkan kami menikmati bangunan monumen yang dibalut dengan eksterior lingga dan yoni, khas seni Bali.
Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda ternyata dirasakan dalam oleh masyarakat Klungkung. Membiarkan hati dan logika merasakan perjuangan mereka lewat cerita Agung, membangkitkan memori saya akan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita.

Waktu memang selalu berjalan, tapi masa lalu tak akan bisa dihapus. Perang Puputan Klungkung merupakan masa silam, tumpah darah dan kesedihan yang meliputi kala perjuangan telah tergantikan dengan kebebasan. Kini ceritanya adalah sejarah, peninggalannya adalah pusaka, yang akan terus mengalir turun-temurun hingga anak cucu kelak.

Oleh : Emmanuela Sabatini

[gravityform id=”40″ title=”true” description=”false”]