Sabtu, 24 Januari 2015
Udara pagi kala itu masih terasa dingin di sekitaran tempat tinggal Saya di daerah Cibungur, Purwakarta. Saya sendiri tetap belum bisa melepaskan belenggu nikmatnya kasur akibat dari begadang semalam suntuk. Dua gelas kopi malam itu menjadi seremoni Saya bersama seorang teman lama yang malam itu datang jauh-jauh dari belahan bumi bagian Cibinong: Brian Adi Chandra. Saya masih ingat nama lengkapnya. Namun, Ia lebih akrab disapa sebagai Karyo. Karyo Ucul tepatnya.
Lupakan sejenak soal Karyo. Jadi pagi itu tersebutlah lima orang bujangan dan seorang lelaki berumah tangga tetapi masih serasa bujangan yang memiliki latar belakang yang sama sebagai buruh. Tujuan kami berenam cuma satu waktu itu, yakni:
Mencapai puncak tertinggi dari gunung (jreng jreng)..
Intinya sih kami cuma ingin jalan-jalan saja. Membuang penat. Menghirup udara terbuka yang sedikit lebih pantas daripada di sebuah ruangan kerja ber-AC, menaiki mobil melewati desa-desa, menenemukan tempat dan teman baru, berpose bersama daun dan pepohonan, menginap di dalam tenda hingga sampai pada level yang paling agak mengerikan: tidur satu ranjang. Eh bukan, satu tenda maksudnya hehehe.
Gunung Bongkok namanya.
Saya pribadi entah mengapa masih merasa bersalah sendiri. Hidup sudah tiga tahun lebih sambil mengais rejeki di Purwakarta, tetapi belum pernah sekalipun mendengar nama gunung ini. Jikalau bukan karena rekomendasi dari teman, mungkin sampai sekarang Saya tidak akan pernah tahu pesona alamnya. Oh iya, kala itu kami memang sengaja berangkat kesana untuk mengikuti sebuah event yang bertemakan “Peduli Alam Indonesia”. Kegiatannya sendiri berupa opsih, penanaman bibit pohon dan penghapusan grafity.
Berangkat dari sebuah sebuah keyakinan bahwa buruh juga manusia, punya waktu dan punya cuti, kami berenam, yakni Saya, Karyo, Aldy, Ari, Rama, dan Eka melaju dengan menggunakan moda transportasi bus dari tempat tinggal Saya menuju pertigaan Ciganea. Selanjutnya kami akan menunggu 2 orang lainnya yang berasal dari Karawang dan seorang dari Bekasi yang bernama Pak Dody. Beliau inilah sosok yang mengajak kami untuk berpartisipasi dalam acara ini. Ia juga merupakan salah satu manusia yang rela menuangkan waktunya untuk mengembangkan potensi alam Gunung Bongkok hingga cukup familiar di telinga banyak orang sampai sekarang.
Gunung yang kerap disebut dengan Bukit Bongkok ini memang telah akrab di kalangan masyarakat Plered dan sekitarnya. Terletak di Kampung Cikandang, Desa Sukamulya, Kecamatan Tegalwaru Kabupaten Purwakarta. Memiliki pesona alam yang masih asri dan ‘Perawan’ dikarenakan belum banyak dijangkau oleh pihak luar, walaupun memang sebelumnya cukup banyak pula dari beberapa kalangan sudah naik-turun tanpa adanya jalur yang cukup jelas. Barulah setelah adanya pembukaan jalur beserta pagar pengaman oleh beberapa komunitas pendaki gunung yang digagasi oleh www.pendakigunung.org, trek-nya sekarang menjadi lebih jelas. Bekerja sama dengan beberapa pemuda dan warga dari masyarakat sekitar, Gunung Bongkok kini semakin menjadi salah salah satu destinasi wisata alam yang banyak dikunjungi setelah Waduk Jatiluhur jika kita hendak berpergian ke Purwakarta.
Perjalanan siang itu diawali dengan melewati beberapa pemukiman warga dan hutan bambu. Tidak sampai 15 menit, ternyata kami sudah sampai di Pos Munclu (666 mdpl). Dari titik ini kita akan disuguhkan oleh eloknya lansekap Waduk Jatiluhur yang membentang luas dengan bukit-bukit kecil yang mengitarinya. Mata kami berenam terbelalak kala itu. Masih dari ketinggian 666 mdpl saja view-nya udah syahdu begini, bagaimana nanti di puncaknya? Kami semakin tak sabar menunggu esok. Biaya registrasi sendiri sebesar Rp. 10.000/orang (update terakhir menjadi Rp. 5.000/orang). Masih terbilang murah untuk sebuah pengalaman rekam panca indra yang begitu memuaskan.
Lansekap Waduk Jatiluhur
Tim inti kala itu
Pos Munclu sendiri dapat memuat sekitar 15-20 tenda. Merupakan Pos dengan lahan datar yang paling luas di kawasan wisata Gunung Bongkok. Tak heran mengapa banyak acara-acara sering dipusatkan disini. Di Pos ini pula terdapat sebuah rumah pohon yang sengaja dibangun untuk dapat melihat view Gunung Bongkok dan Gunung Parang yang berdampingan.
Gn. Bongkok (kiri), Gn. Parang (kanan)
View Gn.Parang dari rumah pohon
Gunung Parang.
Gunung yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari Gunung Bongkok ini dikenal baik bagi kalangan penggiat pemanjat tebing karena memiliki sudut elevasi yang hampir vertikal.
Sebenarnya masih ada satu gunung lagi, yakni Gunung Anaga. Namun, gunung ini masih sulit untuk dibuka jalurnya dikarenakan daerah vegetasinya yang begitu rapat, ditambah lagi adanya kepercayaan masyarakat sekitar yang menyatakan bahwa terdapat beberapa daerah terlarang di sekitaran Gunung tersebut. Hal tersebutlah yang membuat Gunung Anaga sangat jarang disentuh oleh manusia. Ketiga gunung tersebut, Bongkok-Parang-Anaga masing-masing berdiri kokoh secara berdampingan dengan keistimewaannya masing-masing.
Keesokan harinya menjelang pukul 09.00 waktu setempat, rombongan kami-yang mendapat nomor antrian paling terakhir akhirnya berangkat menuju puncak Gunung Bongkok. Berbekal dua bibit pohon mahoni yang akan ditanam disekitaran jalur pendakian, kami melangkahkan kaki perlahan-lahan dikarenakan jalur tanah yang tersedia memang sangat licin. Hal tersebut dikarenakan hujan deras yang mengguyur semalam. Aturan penanaman sendiri cukup jelas: Ditanam sesuai nomor antrian. Panitia dengan sengaja membuat nomor antrian tidak berurutan, tetapi acak. Jadi selama proses mendaki nanti, kami diharuskan celingak-celinguk ke arah kanan kiri jalur guna mendapatkan lubang yang sesuai dengan nomor antrian kami.
Jalur pendakian menuju puncak sendiri didominasi oleh tanah merah dan bebatuan besar dengan kemiringan yang terus menanjak. Di beberapa titik kritis pendakian terdapat tali webbing yang dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mendaki. Peserta yang turut serta kala itu pun masih banyak yang terpeleset walaupun dibantu dengan tali webbing ini, termasuk juga Saya dan teman serombongan yang bersama dengan Saya kala itu.
Puncak dari Gunung Bongkok sendiri ada dua, yakni Puncak Batu Tumpuk, yang berada di ketinggian 975 mdpl dan puncak kedua yang dinamakan dengan Datar Bongkok atau Puncak Batu Datar. Di Puncak Batu Tumpuk, kami sesegera mungkin melakukan tugas kami untuk menghapus beberapa gravity yang tertera disekitaran bebatuan yang ada. Sayang sekali memang masih terdapat tangan-tangan jahil berjiwa vandal di negeri ini.
Panorama dari Puncak Batu Tumpuk
Karyo jadi duyung gunung!! Hahaha
Karena sesungguhnya, warisan alam di Indonesia ini adalah harus dijaga kelestariannya demi masa depan anak cucu kita kelak. Bukankah itu salah satu tugas utama kita dalam pengabdian sebagai Warga Negara Indonesia yang katanya cinta tanah air?
Overall, Gunung Bongkok akhirnya telah menjawab rasa penasaran Saya dan teman-teman serombongan yang notabenenya telah tinggal cukup lama di Purwakarta bahwa setiap sisi di seluruh penjuru negeri ini sesungguhnya elok jika dieksplorasi lebih lanjut dengan rasa tanggung jawab.
Tulisan ini sebagian besar dimuat disini.