“Everything was great when you ever experience it.”
Singapura itu mungkin negara idaman para traveler di Indonesia, baik yang budget traveler ataupun bourgeois traveler, karena negara ini seperti memberikan segala kebutuhan yang dibutuhkan oleh traveler. Lo mau jalan-jalan penuh gaya sambil window shopping, merasakan pengalaman seru yang jarang seperti mencoba mengendarai pesawat, ataupun cuma mau berpose di tempat-tempat yang luar negeri banget, Singapura menyediakan itu semua. Tapi mungkin apa yang gw rasain tentang negara ini berbeda dengan kebanyakan traveler. Singapura lebih memberi gw pelajaran dan pengalaman ketimbang pesona keindahannya. Gw gak menyangkal kalo banyak juga keindahan yang gw rasakan, kota ini bener-bener kayak game Metropolis di Facebook. Tertata, rapi, bersih, teratur, disiplin, dan aman. Tapi bukan itu yang mau gw ceritain.
Hari pertama menjejak di bandara ada satu hal yang harus jadi perhatian, ikutilah peraturan dan sistem yang ada. Gw kena sentak orang imigrasi karena masuk ke line yang tidak sama dengan tempat gw mengantri saat mau stempel paspor padahal line itu persis di depan gw, cuma beda nomor doang, dan gw harus kembali ke tempat antrian dan menunggu turis asing di depan gw yang bermasalah dengan data keimigrasiannya. Gak cuma gw, ternyata temen gw juga diinterogasi karena lupa isi data alamat hotel. Kelar urusan imigrasi, gw dapet pelajaran baru lagi, malu bertanya sesat di bandara. Bayangin gw mendarat sekitar jam 9 pagi tapi baru keluar bandara sekitar jam setengah 12. Hanya karena kita kepalang bingung mencari tempat yang jual STP (Singapore Tourism Pass) kita jadi terlalu sotoy menjelajahi bandara changi. Padahal kalau sudah tanya dari awal kita bakal menemukan tempat penjualan itu tepat di stasiun MRT.
Gw belajar lagi bahwa sebelum kita berpergian, riset itu penting. Meskipun gw udah bertanya, ternyata hidup di negara orang juga butuh pemahaman dan pengetahuan, terutama cara membaca peta kota, juga peta moda transportasinya. Tiga hari gw jalan-jalan di Singapura, tiga hari itu juga kaki gw gempor karena kebanyakan jalan kaki yang selalu berputar, belum lagi tersesat dari ujung ke ujung halte saat naik bus umum karena tidak tau halte mana tempat kita harus turun. Alhasil liburan gw cuma habis di jalan, mending kalo kita jadi apal jalannya, inget aja nggak.
Pelajaran berikutnya yang begitu berharga ialah bawalah uang saku yang cukup, meski niat jalan-jalanmu itu minim budget. Kita berdua berangkat hanya dengan membawa total S$200 tanpa ada simpanan uang di ATM. Dan ini bener-bener kesalahan fatal. Kenapa? Pertama, karena kita gak bakal tau apa yang akan kita alami waktu kita traveling. Kedua, karena ini pengalaman pertama kita gak tau medan, maksudnya kita gak tau secara jelas berapa biaya hidup di tempat yang kita tuju. Dari awal uang kita udah kepotong beli STP seharga S$60, sampai di tempat menginap ternyata kita harus bayar uang jaminan sebesar S$100, itu artinya kita harus hidup hanya dengan S$40 berdua untuk 3 hari! Mungkin persiapan kecil yang menyelamatkan hidup kita. Sebelum berangkat gw memilih untuk membawa makanan instan dan memilih penginapan dengan fasilitas breakfast. Ternyata hal ini menolong kehidupan perut kita! Tapi ternyata masalah keuangan ini juga jadi masalah lagi buat kita berdua.
Hari terakhir, gw sudah mengatur waktu untuk sampai di bandara paling tidak dua jam sebelum check-in tapi ternyata kelalaian membuat kami pun kena apesnya. Saat sampai di bandara, kami tidak langsung mengantri check-in karena merasa masih lama dan memlih untuk mencari food court karena memang perut sudah tidak tahan minta diisi ulang. Pesawat kami terjadwal pukul 20.10 itu berarti kita bisa mengantri sekitar pukul tujuh kurang. Ternyata saat berniat mengantri, antrian pesawat menuju Jakarta sudah sangat panjang, dan kami pun berakhir dengan terlambat lima menit untuk check-in. Ya, hanya lima menit, itu berarti kami berada di depan counter sekitar pukul 19.15 tapi tetap tidak diperbolehkan untuk check-in. Dan kami dipaksa dan terpaksa untuk membeli tiket baru. Tapi uang dari mana? Memutar otak untuk mencari bantuan kami mencari wifi, untunglah Tuhan membantu kami lewat komputer di fasilitas KFC. Buka Facebook dan melihat beberapa teman dekat sedang online langsung lah di chat. Bersyukurlah gw punya sahabat yang mau hidup senang susah bersama. Mereka dengan gotong royong bersedia membantu kami untuk membeli tiket pulang. Malam itu bener-bener malam yang panjang, mulai dari nungguin balesan chat sambil deg-degan, puter-puter counter penerbangan low cost demi nyari harga paling murah, bolak-balik ke ATM liat transferan, nungguin counter penerbangan buka dan berakhir lega mendapatkan tiket pulang esok siangnya. Dipikir-pikir sekarang, kalo pengalaman traveling kayak begini ini yang sangat menyenangkan dan penuh pelajaran. Karena traveler is not a tourist, traveling jadi bukan cuma sekedar cerita kunjungan tempat wisata kan?