Ada milyaran manusia di muka bumi dan setiap satu pertemuan adalah satu keajaiban, bukan kebetulan.
Berawal dari perkenalan yang sama sekali bukan kebetulan, saya dan beberapa teman melakukan trip bersama untuk pertama kalinya ke Amed, Karangasem, Bali. Kami terdiri dari empat belas lajang yang tak sudi dibilang kesepian. Tak semua dikenal atau mengenal. Bahkan hingga saya menjabat satu persatu tangan mereka pun, saya masih belum tau pasti apa yang mendorong saya ikut bersama mereka. Kumpulan orang asing dengan hobi backpacker-an.
Tak ada yang istimewa dari Amed, hanya sebuah desa kecil di ujung utara pulau Bali. Butuh waktu 3 jam lebih meyusuri jalan berliku untuk sampai kesana. Tak banyak turis, sepi dan lengah jika dibandingkan dengan Bali bagian selatan seperti Kuta dan Legian misalnya. Hanya ada pantai berpasir putih yang tak se-famous Dreamland. Hanya ada ladang, laut dan jalan sempit berkelok. Sedikit hotel, villa dan homestay untuk kaum hedonisme yang bosan dengan suasana hiruk pikuk tengah kota. Lalu, hanya ada bukit yang menghadap ke laut biru disertai pemandangan kapal – kapal nelayan, gunung dan rumah seorang teman yang berhati lapang membuka pintunya untuk menyambut kami datang.
Berangkat dari Denpasar dengan tujuan bersenang – senang. Layaknya geng motor, kami konvoi di jalan. Matahari sedang panas – panasnya di langit Bali. Tiga setengah jam dilalui dengan tulang ekor yang nyaris patah, muka gosong tersengat paparan UV dan perut lapar karena waktu makan siang sudah lewat satu setengah jam lalu. Yah, namanya juga orang Indonesia, jarang ada yang paham manajemen waktu, janjian jam berapa datang jam berapa. Jadilah kami kesiangan di jalan dan telat makan siang.
Tibalah kami di Amed, di sebuah rumah sederhana milik teman, Bli Komang. Ada hangat menyambut begitu lengan sang empunya rumah dibentangkan. Udaranya segar dan sepoi, rumah yang nyaman. Susana riuh dalam tempo cepat menbungkus kami seketika seusai perkenalan. Tak ada canggung, tak ada jarak, semua melebur. Tawa pecah, senyum malu membias pada wajah – wajah lugu korban candaan. Tak perlu dimasukan ke hati, semua dibiarkan lepas.
Tidak ada kegiatan luar biasa yang kami lakukan disana. Setelah menghabiskan sore dengan snorkling di pantai sekitar, bli Komang dan salah satu teman yang adalah seorang chef berkolaborasi masak di dapur. Atraksi dimulai. Tangan – tangan dingin meramu dan meracik bumbu dengan cekatan. Asap mengepul, suara – suara gesekan piranti masak menambah rasa penasaran lidah ingin segera mencicip. Nasi putih hangat, ikan mahi – mahi bakar, sate ayam tanpa bumbu kacang, plecing kangkung dan berteko – teko es teh manis menjadi jamuan utama makan malam. Lahap, semua mendadak hikmat dalam nikmat. Perut kenyang hati senang.
Matahari sudah turun. Amed yang hening dan sunyi adalah kontras bagi image Bali yang sesak oleh turis hedon. Kami membangun tenda di bukit belakang, bukan karena tak diizinkan bermalam dirumah bli Komang. Tapi karena atmosfer bukit Jemeluk yang sayang untuk dilewatkan.
Bukit yang tenang. Begitu pulas dan larut dalam gelap malam. Dibawahnya air laut pasang, nyaris tak ada gelombang. Siluet perahu nelayan beberapa kali nampak menjauh ke tengah laut. Selain desir angin yang terdengar berbisik dari celah pepohonan dan ilalang, suara kami menjadi satu satunya pertanda adanya kehidupan. Sepanjang malam bergulir kami ribut bercerita, bergosip, berbagi pengalaman dan menertawakan apa saja. Beberapa teman bernyanyi walaupun suaranya sumbang. Tak peduli! Malam itu kami melepaskan kewarasan, citra diri dan segala bungkus masuk akal yang biasa dikenakan dalam lingkungan.
Disudut lain api unggun meranggas kayu bakar. Bintang – bintang mengerling dalam punggung cakrawala. Terhampar lalu tercermin dari setiap mata yang mulai memerah karena kantuk. Menjelang dini hari beberapa dari kami menyerah. Masuk ke tenda dan menyusup dalam kantong tidur masing – masing. Berderet seperti pindang dalam keranjang.
Duduk di bawah pepohonan dan langit malam yang jernih bersama para petualang lain, membuat saya sejenak menghela napas. Malam itu benar – benar menjadi sebuah kemewahan, bukan hanya sekedar bagian dari memori hari tua. Tapi pengalaman, bahwa travelling tidaklah selalu tentang dimana dan kemana. Udara malam itu, atmosfer malam itu, celotehan malam itu, obrolan – obrolan ringan malam itu, gelas-gelas kosong yang minta kembali diisi, menjadi salah satu perjalanan yang paling mengesankan yang pernah saya lalui, walau hanya di bukit belakang rumah.
Lalu, hari ini saya melihat mention seorang teman di twitter, sebuah photo diunggah, ada saya didalamnya bersama belasan teman lainnya. Kami berpose dibelakang api unggun dengan background langit malam yang pekat. “Bersama para pejalan Bali, Bukit Jemeluk dua tahun lalu” seru bli Komang dalam caption—nya. Dengan kata dan cara saya sendiri, saya menyempatkan memori saya mengulas habis trip hari itu. Trip pertama Backpacker Indonesia Regional Bali. Trip yang jadi awal pertemanan kami dalam payung komunitas. Trip yang kemudian membuka jalan saya menuju trip – trip selanjutnya. Dan Tulisan ini adalah persembahan saya untuk kalian, karena pengalaman pertama selalu mengesankan.
Sulastri,
Agustus 2015
Tulisan ini juga dimuat dalam blog pribadi saya https://putriwidia.wordpress.com/2015/08/21/di-bukit-belakang-rumah/