Home Lomba Blog KTF 2015 Hujan dan Kenangan, Gunung Papandayan

Hujan dan Kenangan, Gunung Papandayan

oleh

Persis tengah malam untuk pertama kalinya kakiku menjejak di kota Swiss Van Java-julukan Kota Garut- yang sejuk karena dikepung oleh pegunungan.
Pekatnya malam tak membuat mataku kalah oleh kantuk, sebaliknya kutebar pandangan ke luar jendela mobil mengitari senyapnya kota diantara kerlap kerlip lampu jalanan. Aku menoleh kebelakang, kedua putriku masih tertidur lelap diatas jok tengah. Kasihan, perjalanan Yogya-Garut molor beberapa jam dari prediksi sebelumnya, sepertinya kedua putriku sangat kelelahan.
“Kita cari hotel dulu ya,” kata suamiku sambil mengurangi kecepatan kendaraan
Mobil melaju perlahan, seiring berputarnya jarum jam melewati tengah malam. Beberapa belas menit kemudian kami menemukan hotel Tirta Gangga yang bangunannya bergaya klasik di pinggiran kota Garut.

Memasuki kamar hotel yang nyaman, luas dengan perabotan yang serba klasik membuat rasa lelah sedikit terobati. Liburan kami kali ini memang sangat berbeda. Mungkin lebih tepat disebut petualangan. Bagaimana tidak? Perjalanan Jakarta-Yogya memakan waktu tempuh 30 jam-karena bertepatan dengan libur lebaran- kemudian selama 7 hari menjelajah tempat-tempat wisata di Yogya. Diteruskan perjalanan selama belasan jam Yogya-Garut. Dan rencana, sebelum kembali ke Jakarta, kami ingin menuntaskan perjalanan ini di Gunung Papandayan, Garut. Kebayang kan? Betapa letihnya belahan jiwaku menyetir tanpa mau aku gantikan, dan kami hanya beristirahat pada waktu-waktu sholat dan makan saja. Tapi, kedua putriku lebih suka perjalanan seperti ini dibanding menggunakan airplane. Lebih seru dan berkesan kata mereka.

***

Senyumku mengembang, ketika pagi hari melihat kedua wajah putriku begitu ceria setelah menghabiskan sarapan di restoran lantai atas. Nasi goreng spesial plus omelet dan beberapa menu seafood dibalut tepung crispy dan aneka jus buah segar, memang hidangan yang cocok di lidah kami.
“yuuk jalan! Udah hampir jam 9 niih, mau berangkat jam berapa?” ujar sulungku sembari berdiri hendak meninggalkan meja makan.
“Iya, nanti kesorean lagi di sananya.” Cetusku menambahkan.
“waduuuhhh, ada yang udah gak sabar mau foto gunung nih.” Sela suamiku meledek, melihat kedua tanganku yang sudah menggenggam tas kamera.

***

Sinar matahari mulai merangkak naik ketika mobil kami mulai menelusuri jalan menuju lereng Gunung Papandayan. Jalanan yang begitu sepi dengan topografi yang rusak parah, lubang-lubang yang tidak bisa diprediksi kedalamannya, kiri kanan hutan rimba sedikit membuat aku ragu untuk melanjutkan perjalanan. Mobil besar kami melaju seperti kuda, tapi kedua putriku justru terlihat sangat menikmati perjalanan ini, mereka tergelak setiap kali ban mobil terpaksa harus menaiki batu besar atau masuk ke dalam lubang yang dalam.
Dasar anak-anak, Gumamku dalam hati.

Akhirnya , tepat ketika matahari persis di atas kepala, kami sampai di lereng gunung. Baru aku saksikan ada kehidupan disini. Tempat parkir yang luas, kedai-kedai makanan ringan dan satu gedung pengelola tempat wisata Gunung Papandayan. Di gedung ini kami diberikan briefing sejenak tentang destinasi apa saja yang bisa dikunjungi.
“Sayang pak, harusnya jam 7 pagi sudah berada disini, kalau sudah siang begini tidak bisa mengunjungi semuanya”, kata bapak petugas briefing dengan ramah

Iya, ternyata ada beberapa tempat yang menjadi daya tarik pengunjung. Empat kawah dan beberapa lubang magma aktif yang tersebar di beberapa titik, hutan mati, edelweis dan saat-saat sunset di puncak Gunung Papandayan. Tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Ketika kami memulai pendakian, tak disangka gerimis tiba-tiba mengucur dari langit. Cuaca saat itu, awal agustus 2014 masih belum stabil, kadang panas terik, hujan, gerimis atau mendung tanpa hujan.
Kami berteduh sejenak di warung kecil, sepertinya menyantap mie instan panas adalah pilihan tepat untuk menghangatkan tubuh, sembari menunggu hujan reda. Selain memang tidak tersedia rumah makan dan perut juga sudah menagih untuk diisi. Hmmm, selalu terasa nikmat jika pandai mensyukuri.

Langit makin berkabut, cuaca mulai mendung, gerimis sedikit mereda. Bismillah, kami melanjutkan pendakian, ditemani seorang pemandu.
Awalnya aku ragu apa aku bisa mendaki gunung yang terjal, curam dan sesekali harus melintasi jalan setapak dengan jurang dalam dibawahnya. Kami memang tidak berniat mendaki sampai ke puncak, hanya ingin menikmati pemandangan kawah, magma dan menyaksikan keunikan permukaan pegunungan yang tinggi dan berbatu. Tapi ternyata untuk menyaksikan semua itu juga tidak mudah.

Kakiku terus berayun melangkah, satu demi satu tanjakan terlewati. Udara sejuk pegunungan seperti menarik-narik kakiku untuk terus berjalan. Kabut makin tebal, lekuk-lekuk gunung mengintip di sela-sela kabut yang semakin membuat aku terkagum-kagum. Asap belerang mulai tercium dari kejauhan. Penasaranku makin menggunung, ingin menyaksikan langsung lubang-lubang magma yang bergolak dari dalam perut bumi.
Perjalanan masih terus berlanjut dan gerimis makin menjadi-jadi. Kami harus menuruni tebing yang curam dan kemudian melintasi anak sungai yang terjal penuh batu-batu besar.

Subhanallah, akhirnya kami sampai pada satu titik lubang magma yang mendidih dan menimbulkan uap beraroma belerang. Takjub!!!
Hujanpun menderas. Ketika kami berada di atas permukaan bumi yang terhampar luas dan hanya beratap langit. Disekeliling diselimuti kabut-kabut tebal dan jika mengarahkan pandangan ke bawah, terlihat bukit-bukit batu tertutup kabut tipis dan tebal, kelok-kelok sungai yang mulai pasang karena derasnya hujan. Allahurobbiiiii…. Betapa luas semesta-Mu, diri ini begitu kecil dan tidak ada apa-apanya.

Hujan mengguyur tubuh kami dengan sempurna, menatap kedua putriku yang tertawa riang bermandikan hujan mengingatkan aku pada masa kecil dulu. Ketika hujan adalah saat-saat yang dinanti, berhamburan ke luar rumah mencari tanah lapang yang luas, kemudian berguling-guling dan sesekali saling menyemprotkan air bercampur tanah coklat ke muka teman-teman sepermainan. Setelah puas bermain membilas tubuh dibawah pancuran air yang sejatinya adalah saluran air dari atap rumah.
Ah, betapa indah masa kecil….

“Kita harus segera turun, hujan makin deras, khawatir sungai meluap,” ujar pemandu membuyarkan lamunanku.
Jelang jam empat sore, langit makin berawan hitam, kami pelan-pelan menuruni tebing menuju arah pulang. Dalam perjalanan pulang beberapa titik lubang magma masih sempat kami saksikan. Bahkan ada satu lubang magma yang bergolak mendidih dengan sangat kuat. Jika kita melemparkan batu diatasnya, serta merta batu itu akan mental beberapa meter, didorong oleh kekuatan uap yang menyembur. Sebuah fenomena alam yang langka dan menakjubkan. Subhanallah…
Selang satu jam, tibalah kami di lereng gunung. Hujan masih setia mengguyur tubuh kami yang lusuh dan basah kuyup. Kami beristirahat sejenak di kedai kecil sambil menghangatkan tubuh dengan segelas wedang jahe. Alhamdulillah…. Lega rasanya melihat kedua putriku yang masih tersenyum meskipun jari jemarinya keriput karena kedinginan. (Nani Djabar)
http://nanidjabar.blogspot.com/2015/06/hujan-dan-kenangan-gunung-papandayan.html

Penulis

Nani Djabar

Twitter: @Ummudiffa