Sebagai salah satu destinasi wisata terpopuler di Belitong, Pantai Tanjung Kelayang patutlah ramai dikunjungi orang. Dampaknya, banyak warung-warung dan penginapan dibangun di kawasan pantai. Karena letaknya yang tak jauh dari pemukiman warga, pada perairan pantai banyak perahu nelayan dan perahu angkutan wisata yang bersauh.
Pada malam hari, lampu-lampu dari penginapan dan warung-warung pinggir pantai berkelap-kelip di antara pepohonan kelapa dan ketapang. Suasana malam makin semarak dengan suara debur ombak dan lampu warna-warni di semenanjung. Lampu warna-warni itu menyirami permukaan bebatuan granit Pulau Burung yang menjadi ikon pantai ini. Tapi kalau malam hari, bentuknya sama sekali tak terlihat seperti paruh burung, hanya lampu belaka yang berubah dari biru ke ungu, ungu ke merah. Tadinya kupikir lampu itu berasal dari sebuah klub malam atau resort.
Kami tiba ketika hari sudah gelap. Satu jam perjalanan menaiki motor tanpa jaket adalah kesalahan besar yang aku lakukan hari itu. Udara dingin menembus pori-pori dan kantuk mulai menyerang karena kecapekan berenang dan hiking ke Gunung Tajam tadi siang. Tapi semua rasa capek hari ini buyar dengan apa yang bisa aku lihat di Tanjung Kelayang. Malam cerah berbintang, matahari terbit yang menawan, dan dua kawan yang sepertinya masih kelebihan energi untuk disalurkan.
Aku, Vero, dan Oja mendirikan tenda di areal Kelayang Resto & Cottage, tentunya setelah meminta ijin ke ibu pemilik restoran yang sangat ramah. Seekor anjing yang Oja beri nama Stela menemani kesibukan kami. Bahkan hingga larut malam pun, Stela terus menemani. Lalu aku bertanya kenapa diberi nama Stela? Halah…ternyata itu singkatan dari (maaf) Si t*t*k delapan! Buset deh si Oja bikin nama. Mesti kali jumlah organ yang ‘itu’ dijadikan nama. -___-’
Dua tenda berdiri dengan apik di bawah pohon ketapang. Aku menggelar matras di depan pagar dari ban mobil bekas yang ditanam setengah bagian ke dalam pasir. Rumput-rumput setajam duri menusuk-nusuk telapak kaki ketika melangkah. Aku mengeluarkan trangia dan menyiapkan makan malam berupa mie instan yang digado dengan retek, penganan sejenis kerupuk khas Bangka yang aku ‘rampok’ dari rumah Bang Edi. Makan malam mewah kami malam itu tandas dalam sekejap.
Ketika aku sedang asyik memoto milkyway yang berarak di pucuk pohon kelapa, Oja dan Vero sudah menggeser matras hingga ke pantai. Mereka berbaring menghadap langit. Menanti bintang jatuh ditemani agas-agas yang menggerayangi kulit yang terbuka. Stela menggonggong diganggu teman-temannya di belakang tenda lalu berlari menjauh dan ditelan gelap. Kumatikan kamera dan berdiri menghadap ke laut. Menatap lampu-lampu pijar yang membentuk garis putus-putus di sepanjang cakrawala, berusaha mencoba sentimental tapi gagal. Hahaha… Sepertinya masa-masa sentimental itu sudah lewat. Tak ada yang perlu dikhawatirkan selain kantuk yang memperpendek hari.
Kukemas kamera dan tripod lalu menyimpannya ke dalam tenda. Kutarik kain sarung, kukalungkan di leher. Kukeluarkan hammock dan kubentang di pasir, di samping Oja dan Vero, lalu ikut berbaring memandangi milkyway dan bersorak tiap kali ada bintang jatuh. Hanya kantuk yang menyadarkan kalau malam sudah begitu larut. Udara semakin dingin. Berada di dalam tenda adalah satu-satunya pilihan agar tetap hangat dan terbebas dari gangguan agas pantai. Beberapa menit di dalam tenda, kami pun lelap.
Link blog: http://www.hananan.com/?p=3625