Bagan adalah alasan utama mengapa saya melakukan perjalanan ke Myanmar. Bagan yang terletak di tepi sungai Irrawady merupakan rumah bagi ±2.200 kuil, pagoda, stupa dan reruntuhan Buddhis yang masih bertahan hingga sekarang. Kuil dan pagoda di Bagan dibangun dari abad ke-9 hingga abad ke-13. Diestimasi ada sekitar 13.000 kuil dan pagoda yang berdiri dengan megah pada saat itu, menandakan zaman keemasan Bagan, hingga akhirnya pada tahun 1287 bangsa Mongol datang dan menghancurkan Bagan.
Setelah menempuh 10 jam perjalanan darat via bus dari Yangon, saya pun tiba di terminal bus Bagan. Saat itu pukul 05.30 dan langit sudah terang. Turun dari bus, saya pun langsung dikerumuni supir taxi dan kereta kuda yang berbondong-bondong menawarkan jasanya untuk mengantarkan saya ke penginapan. Saya pun kemudian memutuskan menggunakan kereta kuda. Seiring langkah kaki kuda, saya pun memasuki wilayah Bagan Archaelogical Zone. Kesan pertama yang saya dapatkan adalah sepertinya waktu berjalan lebih lambat di Bagan. Saya pun langsung jatuh cinta dengan Bagan.
Centuries Old Stupa
Setelah selesai check-in, saya pun siap berangkat mengeksplor Bagan dengan e-bike (sepeda elektronik) sewaan. Tujuan pertama adalah Shwezigon Pagoda. Pagoda ini merupakan salah satu yang paling terkenal di Bagan dan menyerupai Shwedagon Pagoda yang terkenal di Yangon. Dari sana saya kemudian melanjutkan perjalanan ke kuil lainnya, sebu saja Bulethi, Sulamani, dan kuil-kuil kecil yang tidak saya ketahui namanya. Sebagian saya kunjungi, sedangkan sebagian lagi hanya saya amati dari luar saja.
Kuil-kuil di Bagan didominasi oleh warna merah bata yang begitu kontras dengan warna hijau dari pepohonan liar yang tumbuh di sana. Kuil-kuil tersebut sudah berada di sana selama berabad-abad lamanya, terpapar sinar matahari, angin, hujan dan juga gempa tanpa perlindungan apapun. Gempa terakhir yang terjadi pada Agustus 2016 silam telah meluluhlantakkan lusinan kuil yang terdapat di Bagan. Ketika saya berkunjung ke sana, sebagian besar kuil sedang direnovasi, sehingga tidak bisa diakses.
Menjelang petang saya pun kembali mengendarai e-bike menuju ke Shwesandaw Stupa yang katanya merupakan spot terbaik untuk menikmati sunset di Bagan. Ketika tiba di sana, sudah ada beberapa bus pariwisata, mobil dan puluhan e-bike yang terparkir rapi di depan stupa. Saya pun bergegas naik untuk mencari tempat duduk yang ideal. Stupa ini dijadikan sebagai spot favorit untuk melihat sunrise dan sunset karena lokasinya yang strategis, karena terdiri dari 5 lantai, sehingga pengunjung bisa menyaksikan pemandangan dari lokasi yang lebih tinggi. Saya datang ke Bagan pada bulan Juni yang merupakan awal dari musim hujan di Myanmar sehingga saya tidak berharap banyak dapat melihat sunrise dan sunset yang bagus. Apalagi hari pertama saya di Yangon ditemani oleh hujan yang turun terus menerus. Saya menunggu hingga sunset pada pukul 18.30, sambil menyaksikan turis datang dan pergi, termasuk beberapa Bhikkhu dari berbagai negara (bisa dilihat dari warna jubah yang dikenakan) baik yang datang sendiri maupun bersama rombongan. Semuanya berlomba-lomba mengabadikan sunset dengan latar kuil-kuil di Bagan, tetapi tidak sedikit dari mereka yang kecewa. Meskipun tidak ada hujan di Bagan, tetapi langit dipenuhi oleh lapisan-lapisan awan sehingga menghalangi pemandangan sunset. Belakangan roommate saya yang duluan tiba di Bagan bercerita kepada saya bahwa dia sudah berburu sunrise dan sunset selama 3 hari berturut-turut sebelum akhirnya memutuskan untuk menyerah. Nampaknya, kami datang bukan pada musim yang tepat.
Keesokan harinya, meskipun sudah tahu tidak akan bertemu dengan sunrise yang bagus, saya tetap memutuskan untuk mengunjungi Bulethi stupa. Stupa ini juga tidak kalah populer dengan Shwesandaw sebagai sunrise temple. Pengunjung bisa naik hingga ke tingkat keempat di stupa ini. Pukul 04.00 subuh saya sudah bangun dan bersiap-siap untuk berangkat. Saya pun langsung menuju ke Bulethi. Subuh itu tidak begitu banyak orang yang berada di sana, mungkin karena low-season dan mungkin karena banyak yang malas bangun pagi. Kembali saya pun harus kecewa karena tidak ada sunrise pada hari itu, yang ada hanyalah semburat warna lembayung di langit dan awan yang lumayan tebal. Untunglah saya ditemani dengan pemandangan seorang petani yang sedang membajak sawah di sebelah kuil. Petani tersebut membajak sawah bersama seekor kerbau secara perlahan sambil menyanyi. Sesekali dia berhenti karena capek dan menenggak sedikit air sekalian memberikan waktu bagi kerbaunya untuk beristirahat.
Ancient Wisdom of Burmese People
Karena hari ini merupakan hari terakhir saya di Bagan, maka saya pun menyempatkan diri untuk mengunjungi kuil-kuil lain yang terdapat dalam list saya. Saya berkunjung ke Dhammayangyi (kuil yang paling besar di Bagan), Ananda Temple (kuil yang paling cantik di Bagan), Thatbyinnyu (kuil yang paling tinggi di Bagan) dan beberapa kuil lainnya seperti Gawdawpalin, Shwegugyi, Htilominlo, Bupaya, dan lain sebagainya. Saya suka dengan kuil-kuil besar, kemegahannya beserta keindahannya. Tetapi saya mendapati diri saya juga menyukai kuil-kuil kecil di mana di kuil-kuil tersebut tidak ada orang lain, yang ada hanya diri saya sendiri dan kuil tersebut. Begitu sunyi dan begitu damai.
Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore dan saya pun harus menyudahi kunjungan ke kuil-kuil di Bagan. Satu jam lagi saya mesti melanjutkan perjalanan ke Mandalay. Saya mesti mengakui bahwa trip ke Bagan kali ini sangat tergesa-gesa, saya hanya punya waktu 2 hari untuk mengunjungi 2200 kuil di Bagan. Awalnya saya berharap bisa menikmati kuil di Bagan dengan duduk santai dari satu kuil ke kuil lainnya tanpa terburu-buru. Tetapi akhirnya saya menyadari bahwa Bagan ternyata jauh lebih luas dan waktu 2 hari tidaklah cukup. Bagan bukanlah hanya kuil saja, tetapi merupakan sebuah cara bagaimana masyarakat di sekitarnya hidup dengan damai. Selama di Bagan saya banyak bertemu dengan penduduk lokal dan belajar dari kearifan mereka. Hingga saat inipun mereka masih sangat religius. Di kuil-kuil mereka masih melakukan ibadah, membacakan paritta dan memberikan persembahan. Saya bertemu dengan beberapa penduduk lokal yang menawarkan untuk mengoleskan bedak Thanaka ke wajah saya, dimana saya selalu ingin memberikan tips tetapi selalu ditolak mereka karena menurut mereka itu adalah tradisi asli Myanmar yang harus dilestarikan. Dalam perjalanan bus dari Bagan menuju Mandalay saya pun sambil memikirkan bagaimana nasib mereka 10 tahun atau 20 tahun kemudian. Di satu sisi saya berharap arus globalisasi dan meningkatnya kunjungan turis mancanegara bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Tetapi di sisi lain saya juga berharap mereka tetap menjadi diri mereka yang rendah hati, ramah dan tidak menjunjung tinggi materi.
Oleh : Suryadi
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting