“Tidak ada rahasia di atas sini. Semua orang tahu apa yang kamu lakukan” kata guide yang memandu grup rombongan saya yang berjumlah sekitar 24 orang.
Tidak heran jikalau hal itu benar benar terjadi di Acoma Pueblo, sebuah desa peninggalan zaman dahulu kala yang hingga kini masih dihuni oleh suku Indian Pueblo. Anak anak bisa bermain sepuasnya tanpa ganguan gadget ditemani para ibu yang mengobrol bersama tetangga. Tidak ada yang memegang handphone, karena tidak ada sinyal telepon di Acoma Pueblo. Jangankan itu, Acoma Pueblo bahkan tidak dialiri listrik maupun air.
Terletak di sebuah dataran tinggi yang rata dan terbuat dari batu (disebut juga Mesa yang berarti meja dalam bahasa spanyol), Acoma Pueblo berada di New Mexico, USA dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Acoma Pueblo telah lama didiami oleh suku Indian Pueblo bahkan sebelum tahun masehi. Tidak heran jikalau Acoma Pueblo menjadi salah satu desa tertua di Amerika yang masih dihuni.
Suku Pueblo adalah suku Indian yang sehari harinya bertani dan berburu. Hidup mereka yang tenang tiba tiba terusik ketika pada tahun 1540, bangsa spanyol yang mencari emas datang ke Acoma Pueblo. Sayangnya mereka tidak menemukan segengam emas pun. Bangsa spanyol yang melihat suku Pueblo menganut kepercayaannya sendiri pun berniat mengubah keyakinan mereka menjadi agama kristen. Hal ini ditolak oleh suku Pueblo sehingga terjadilah perang selama beberapa hari yang berakhir dengan kekalahan di pihak suku Pueblo. Sebagai akibatnya, Acoma Pueblo luluh lantak dan banyak suku Pueblo yang terbunuh. Suku Pueblo yang hidup pun terpaksa harus rela dibaptis sebagai kristiani dan meyesuaikan hidupnya dalam kekuasaan bangsa Spanyol.
Hingga sekarang di desa ini masih berdiri tegap sebuah gereja bernama San Esteban del Rey Mission. Saya penasaran bagaimana mungkin mereka masih mau berkunjung ke gereja yang notabane merupakan simbol kekalahan dan bukti pengaruh bangsa spanyol di desa ini. Sang guide berkata bahwa suku Pueblo adalah suku yang cinta damai.
“Seberapa pun pahitnya itu, kami tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Yang bisa kami lakukan sekarang hanyalah belajar dari masa lalu.”
Saya terkagum dengan jawabannya yang benar benar menjalankan konsep “Let it go”.
Khusus di gereja tersebut, peserta tur dilarang untuk memotret. Di dalam gereja, para peserta tur dapat menonton langsung tarian khas suku Pueblo. Para penari yang merupakan wanita dan pria dewasa mengenakan pakaian tradisional mereka yang berwarna warni. Meraka juga menggambar wajah mereka dan mendandani kepalanya dengan aneka bulu burung. Di tangannya mereka memegang semacam alat musik yang digoyang goyang serta tangan yang lainnya memegang tumbuh tumbuhan.
Setelah tarian tersebut selesai, para penari berjalan keluar dan kembali ke rumah masing masing. Kami pun lanjut mengikuti sang guide yang lanjut menceritakan bahwasanya di Acoma Pueblo, terdapat kurang lebih 14 klan dari berbagai suku yang tinggal bersama. Yang uniknya, seluruh rumah dan properti adalah milik perempuan. Bagi mereka perempuan telah menjalankan banyak tanggung jawab dari mulai mengurus rumah, membesarkan anak serta menjaga orang tua mereka ketika para lelaki pergi bertani dan berburu. Oleh sebab itu, mereka layak dikarunai rumah beserta isinya. Dan nantinya ketika mereka telah menikah, pasangan mereka pun akan tinggal di rumah keluarga perempuan.
Menurut guide, tidak semua suku Pueblo tinggal di rumah mereka di Acoma Pueblo. Tetapi secara rutin mereka tetap mengunjungi rumah leluhur mereka. Beberapa acara tradisional pun masih kerap di lakukan di Acoma Pueblo.
Sang guide lalu berjalan menyusuri lorong lorong di desa. Rumah rumah yang ada telah diperbaharui kembali dan dibangun menyerupai aslinya. Rumah pueblo bercirikan khas dan unik yang terbuat dari lumpur dan jerami dan berwarna coklat. Biasanya rumah terdiri dari beberapa tingkat dan mempunyai tangga disampingnya. Suku pueblo juga menggunakan kayu sebagai pondasi untuk bagian atas rumah. Saya berusaha menengok ke dalam rumah melalui jendela kaca mereka, tiba tiba seorang ibu keluar dan menyapa. Saya pun membalas menyapa. Di depan rumah terdapat meja yang memamerkan hasil karya seni suku Peublo yang s sangat populer yakni aneka kerajinan pecah belah yang terbuat dari tanah liat, perhiasan, lukisan dan lain lain.
Ibu yang mengaku tinggal di Acoma Pueblo ini lalu menjelaskan apa apa saja yang dijualnya. Dia menyakinkan keseluruhannya adalah hasil karyanya. Untuk membuktikannya, saya mengambil sebuah kalung dan dibelakang namanya, terpapampang namanya. Otentik.
Tak jauh dari rumah ini, seorang ibu telah menunggu para peserta tur dengan barang dagangannya. Dibantu dengan angin yang kadang bertiup kencang, dan cuaca yang dingin, ibu ini sukses menjual coklat panas dan kue tradisional nya seperti apple pie. Beberapa suku Pueblo yang ada di sini membalut tubuhnya dengan selimut khas mereka untuk memerangi dinginnya angin winter.
Awalnya saya tak percaya di negara super power seperti USA, masih ada tempat yang jauh dari peradaban seperti Acoma Pueblo. Tapi setelah melihat langsung anak anak yang bermain bebas dan riang, orantua yang duduk santai mengobrol, saya merasakan hidup yang damai dan tenang tanpa ganguan notifikasi Facebook serta keharusan meng-update twitter. Yang tak kalah penting adalah Acoma Pueblo mengajarkan saya untuk berbaur menghargai alam dan menyatu dengan satu sama lain.
Such a spiritual trip!