Home Lomba Blog KTF 2014 Jalan-jalan-lah ke Luar Negeri! (Malaysia Day 1)

Jalan-jalan-lah ke Luar Negeri! (Malaysia Day 1)

oleh

Cita-cita ini muncul sekiranya pada satu setengah tahun yang lalu, saat saya menemani abang saya yang tengah melepas kepergian bosnya ke Rusia. Kala itu saya hanya dapat mengitari luasnya Bandar Udara Soekarno-Hatta terminal 2, dengan announcer-announcer yang secara bergantian memanggil calon penumpang pesawat. Lalu dengan tidak disangka-sangka, ide itu muncul dengan sendirinya. Saya entah mengapa langsung mengutarakan ide itu kepada abang saya, “ tahun 2014 saya harus ke Singapura.”

Berbagai persiapan pun mulai saya lakukan, salah satunya dan yang paling utama adalah mengumpulkan uang. Tidak terasa, di penghujung tahun 2013 saya pun dapat mengurus paspor. Setelah menerima paspor, saya masih bingung mau pergi ke mana. Ya, ke Singapura. Tapi sama siapa? Saya jadi agak mengurungkan niat untuk melakukan perjalanan ke luar negeri pada Januari atau Februari 2014. Akan tetapi, segala tekad saya tetap bulat. Suatu saat, dan kalau bisa dalam waktu dekat, saya harus ke Singapura (sebenarnya bukan harus ke Negara itu, namun Negara itulah yang sepertinya cocok bagi seorang pemula. Kalau kala itu saya dapat kesempatan ke Inggris pun tidak akan saya tolak, hehe).

Dan lagi-lagi, kuasa Tuhan-lah yang menentukan jalan hidup saya. Saya tiba-tiba teringat dengan seorang sahabat saya yang berdomisili di Kuala Lumpur, Andina namanya. Ia WNI, namun tengah menempuh studi S1 di sana.

Saya pun menghubunginya dengan alih-alih minta diajak ke Malaysia, dan mulai bertanya-tanya tentang apakah ia siap untuk menemani saya jika saya ke sana, sampai sedikit bertanya-tanya tentang biaya hidup di sana. Memang dia sahabat saya, jadi dia mengerti saya. Dia mempersilakan saya untuk datang dan menginap di tempatnya selama saya berada di Malaysia. Dia juga mau menjadi tour guide Cuma-Cuma untuk saya, hehe. (I love u full, Mo :*)

Setelah mendapat acc dari yang berada di Malaysia, saya lanjut minta acc dari keluarga. Abang saya sangat mendukung, dan langsung mencarikan tiket untuk saya. Orang tua pun mendukung, kecuali ibu saya yang agak khawatir, namun akhirnya dengan bujuk rayu saya, beliau mau melepas kepergian saya ke negeri orang, hehe.

Proses pencarian tiket pun berlangsung. Intinya, penerbangan ke Malaysia ada yang 500 ribu PP. Itu memang yang paling murah. Dan saya mengincar yang demikian. Saya juga bertekad, saya tidak akan pergi ke Malaysia bila harga tiket PP lebih dari 700 ribu dan bukan di tanggal yang tepat. Dan lagi-lagi, dasar rejeki nggak akan ke mane, saya mendapat tiket PP seharga 600 ribu rupiah dan di tanggal yang tepat.

Berangkatlah saya pada hari yang telah ditentukan. Pagi-pagi buta saya sudah berangkat menuju bandara soekarno-hatta dengan mobil yang dikendarai abang saya. Ya, pagi-pagi buta karena memang harus early-morning check-in.

Setelah sampai bandara, proses berjalan seperti biasa. Check-in di counter maskapai, melewati imigrasi (pak imigrasi, lain kali senyum dikit, ya), boarding pass, dan naik pesawat!

Perlu diketahui, saya menumpang pesawat Tiger Air-Mandala. Kalau mau murah, memang pilihannya hanya dua: Air Asia dan Tiger Air-Mandala.

Satu setengah jam sudah saya lewati di udara, hingga akhirnya pilot mengucapkan, “welcome to Kuala Lumpur, welcome to Malaysia…”

Pesawat pun mendarat dengan mulus di Low Cost Carier Terminal Kuala Lumpur International Airport, atau LCCT. Oya, Kalau naik pesawat murah, jangan harap bisa mendarat di KLIA ya, hehe.

Masuk ke dalam bandara, perasaan saya campur aduk. Antara takut dan senang. Takut karena saya hanya sendirian, dan senang karena akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di negeri orang. Berbagai perbedaan pun mulai saya temui, salah satunya adalah perbedaan perbendaharaan kata antara Malaysia dengan Indonesia. Sewaktu masih berjalan di landasan pacu, saya sempat membaca notice “awas kereta”. Saya takjub dan heran karena bisa-bisanya ada kereta di landasan pacu. Akan tetapi, ternyata ‘kereta’ yang dimaksud mereka adalah mobil.

Sampai di dalam bandara, proses berjalan sebagaimana mestinya. Wan Azan. Ialah petugas imigrasi yang memberi stempel kedatangan di paspor saya. Tanpa panjang lebar, Wan Azan begitu saja menstempel paspor saya. Sontak dalam hati saya, “cihuy!”

Hingga akhirnya saya keluar dari LCCT dan mencari Andina yang sudah berjanji  menjemput saya. Begitu bertemu, saya langsung memeluk dia karena hampir dua tahun kami tidak bertemu.

Kami lantas memulai petualangan. Dari LCCT, Andina langsung mengajak saya ke Kuala Lumpur dengan bas (begitu sebutan bus bagi orang-orang di sana) yang langsung menuju KL Sentral seharga RM 10. FYI, RM 1 = Rp3.700,00.

Selama perjalanan, hanya nostalgia yang saya lakukan bersama Andina, sambil sesekali Andina menggoda saya, “ciee Bunga akhirnya bisa juga ke sini…”

Dan tak terasa, tanpa macet sedikit pun, sampailah kami di KL Sentral. KL Sentral seperti layaknya terminal bus. Akan tetapi, bukan hanya bas yang kita dapati di sana. Kita bisa memilih antara LRT (MRT), kommuter (KRL), atau bas dengan tujuan beragam. Intinya, KL Sentral seperti tempat transit semua moda transportasi kota.

Dari KL Sentral, kami langsung membeli tiket LRT (membeli dari mesin otomatis) ke KLCC. Apa itu KLCC??

eng ing eng… Petronas Twin Tower pun di pelupuk mata! Tidak mau menyia-nyiakan momen yang sekiranya jarang terjadi ini, saya langsung meminta Andina untuk mengambil gambar saya dengan “si kembar”. Eits, jangan salah. Saya tidak norak, karena banyak turis berkulit putih yang melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan.

Malaysia sangat hebat dalam memikat orang-orang di seluruh dunia agar mau datang ke negaranya. Terbukti, sejauh mata memandang di seluruh tempat wisata, turislah pengunjung nomor satu. Dan tidak tanggung-tanggung, semua warna kulit turis pun ada!

Selepas berfoto ria di siang hari yang panas (Malaysia memiliki suhu hangat. Kalau di Jakarta kita kepanasan mungkin karena asap dan debu, di sana tubuh kita akan terasa seperti sedang berendam di air panas. Benar-benar murni panas), kami mulai mengelilingi Mall Suria. Kami juga memutuskan untuk makan siang di sana.

Saya pun memesan nasi briani yang dengan ayam kari, seharga RM 6 koma. Mengejutkan, untuk ukuran mall semewah itu (kalau di Jakarta bisa disamakan dengan Grand Indonesia), mereka hanya mematok harga makanan segitu saja.

Puas makan, kami sebentar berkeliling Suria yang siang itu tengah ramai oleh para pekerja kantoran yang ingin makan siang. Puas berkeliling, kami melanjutkan perjalanan menuju shoping street ternama di KL, Bukit Bintang.

Nothing special di sana, hanya penataannya begitu rapi. Bukit Bintang hanyalah shoping street dengan mall-mall di sepanjang mata memandang.

Setelah dirasa cukup untuk hari pertama, Andina lalu mengajak saya untuk pulang ke flat sederhanya di Serdang. Untuk sampai di Serdang, kami menumpang kommuter sampai di stesen Serdang. Dari stesen, saya diperbolehkan meminjam kartu bas kampus milik teman satu flat Andina (kalau mau naik bas kampus, harus tunjukkan kartunya terlebih dahulu ke bapak sopir, baru boleh masuk). Dengan begitu, kami tidak perlu membayar teksi untuk sampai di UPM (Universiti Putra Malaysia).

Sampai di UPM, kami berjalan sedikit untuk sampai di flat sederhana Andina. Kala itu sejam lagi Maghrib tiba. Enaknya bagi seorang muslim seperti saya, saya masih bisa mendengar suara azan berkumandang layaknya di Jakarta.

Malam hari pun saya putuskan untuk menghabiskan waktu di flat sambil bernostalgia bersama Andina. Kami pun mulai menyiapkan tenaga untuk hari esok yang sekiranya akan menjadi hari terpanjang….

Penulis

Bunga Ramona

Twitter : @bubungaa

Artikel yang mungkin kamu suka