Merayakan hari kemenangan menjadi sebuah kewajiban yang tak boleh ditunda-tunda hukumnya. Perayaan lebaran kental pula dengan tradisi mudik dan halal bihalal bareng keluarga. Momen yang ditunggu-tunggu semua orang untuk sekadar berkumpul, bertukar kabar, mengembalikan kenangan masa lampau, atau berharap ketiban THR.
Tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya. Biasanya saya jauh-jauh hari sebelum lebaran—ketika sudah memasuki masa liburan pasti langsung mudik. Namun, kali ini saya memutuskan untuk pulang pada lebaran kedua, tepatnya hari Senin. Entah kenapa pulang H- itu sudah terlalu mainstream. Ditambah lagi jalanan menuju pantura bakal disesaki kendaraan yang memanjang sepanjang jalur. Hal tersebut sangat menyebalkan. Sungguh. Maka dari itu saya memutuskan pulang hari Senin. Harapannya, tentu saja jalanan bakal lengang. Dan perjalanan pun nyaman.
Namun, kenyataan jauh dari ekspektasi ternyata. Rute yang saya pilih dari Yogyakarta menuju pantura sebenarnya ada dua pilihan. Lewat Purwodadi atau Semarang. Semalam suntuk berfikir—karena rute Purwodadi sudah sering saya lewati akhirnya rute Semarang lah yang terpilih.
Berangkat sesuai jadwal, sekitar jam 10. Saya mulai mengendarai sepeda motor berplat S. Memulai perjalanan dengan nyaman awalnya. Namun, semuanya buyar setelah saya melihat deretan kendaraan roda empat maupun roda dua tak beranjak dari tempat. Padahal perjalanan saya waktu itu baru saja sampai daerah Tempel. Tapi macet terjadi disetiap persimpangan jalan. Tidak sesekali tapi berkali-kali hingga daerah Ambarawa pun kemacetan terjadi. Ya, macet memang sudah menjadi kultur Indonesia. Apalagi disaat libur lebaran seperti ini.
Setelah melewati rute yang melelahkan dan menyebalkan itu, ditambah cuacana panas pula akhirnya saya memutuskan untuk mampir ke Masjid Agung Demak. Oh iya, sebelum sampai Demak saya buang banyak waktu dan bahan bakar di Semarang. Hampir setengah jam muter-muter tak jelas. Maklum sudah lama tidak lewat Semarang. Rasanya melihat jalan di sana bercabang-cabang. Sialnya lagi, ban sepeda motor yang saya kendari sempat bocor juga. Barulah saya tiba di Demak sekitar pukul 4 sore. Setibanya di sana masjid yang berdekatan dengan Alun-alun Demak tersebut sudah disesaki banyak orang. Mereka berseliweran di mana-mana—sekadar berswafoto maupun duduk santai melepas penat. Masjid Agung Demak memang menjadi salah satu ikon dari kota para wali ini. Lokasinya yang berada di pusat kota menjadikan Masjid Agung Demak sebagai persinggahan yang terjangkau bagi siapapun.
Pasca menunaikan ibadah asar dan mengisi perut yang sejak diperjalanan sudah meronta-ronta, tak ada salahnya mampir melihat-lihat masjid bersejarah bekas peninggalan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa ini. Apalagi di kompleks masjid terdapat makam-makam Sultan Demak—berada dibagian belakang masjid. Yang tak kalah menarik adalah Museum Masjid Demak yang berada satu kompleks dengan masjid.
Hawa sejuk dan bau wewangian menyambutku ketika baru melangkahkan kaki masuk ke area pemakaman. Di sana sudah ada beberapa peziarah yang sedang memanjatkan doa. Di makam tersebut peziarah dapat melihat makam-makam Sultan Demak beserta kerabatnya. Makam yang bersih didominasi warna kuning tersebut terukir nama-nama Sultan Demak pada masanya. Walaupun masih dalam euforia bulan Syawal namun peziarah yang datang cukup ramai.
Begitupun dengan pengunjung Museum Masjid Demak. Sekadar ingin tahu tentang sejarah panjang masjid Agung Demak, pengunjung tak perlu membayar biaya masuk. Cukup berdermawan seiklasnya di kotak amal yang sudah disediakan. Disetiap ruangan walau tak terlalu besar tapi menyimpan banyak peninggalan bersejarah yang dibatasi oleh kaca tersebut. Di sana pengunjung akan disuguhkan sejarah tentang masjid seperti peninggalan bedug, al-quran kuno tulisan tangan, hingga bekas soko guru pemberian Walisongo (Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga). Semua peninggalan terawat dengan baik. Sudah semestinya barang-barang bersejarah menjadi aset yang bisa mengembangkan wawasan banyak orang, di sini salah satunya. Jadi tak heran kalau Demak menjadi salah satu destinasi wisata religi.
Tak terasa sang surya sudah mau terlelap saja. Tak pelak hal tersebut mengingatkan tentang saya perjalanan yang masih panjang. Namun, saya berfikir kalau ke Demak tak afdol rasanya kalau tidak ziarah ke makam Sunan Kalijaga. Toh, jaraknya juga tak terlalu jauh—hanya sekitar 2 kilometer dari Masjid Agung Demak. Tanpa berfikir panjang lagi saya langsung tancap gas menuju makam Sunan Kalijaga, tepatnya di Kadilangu.
Setibanya di lokasi, hanya memakan waktu 15 menit saja, suasana terlihat cukup ramai. Setelah memarkir sepeda motor saya langsung bergegas masuk area makam. Terlihat beberapa toko pernak-pernik khas beberapa masih tertutup rapat. Namun tak semuanya, beberapa toko lagi dengan ramah melayani calon pembeli. Kiri dan kanan berjejer rapi kaos bergambar Sunan Kalijaga yang dijual sebagai buah tangan. Bukan hanya itu saja, tasbih, baju koko, pernak-pernik dan segala sesuatu yang berbau Islam dijual di sana.
Setelah menengok kiri-kanan akhirnya saya sampai di pintu masuk. Yang pertama harus dilakukan sebelum masuk area makam adalah menitipkan sandal. Sandal harus dilepas dan dititipkan kepada salah seorang pedagang yang membuka jasa titip sandal di samping pintu masuk.
Memasuki area pemakaman siapapun dan di manapun sudah menjadi aturan untuk menjaga kesopanan dan tutur kata. Apalagi ini makam wali Allah. Jika Anda datang berombongan silakan perwakilan untuk laporan maksud kedatangan Anda kemari dan mengisi buku tamu. Nah, kalau sendirian seperti saya ini langsung masuk saja, tapi bilang permisi sama bapaknya yang jaga.
Akhirnya saya berada di sini—makam Sunan Kalijaga untuk yang kedua kalinya. Sebelumnya memang pernah tapi itu sudah lama sekali. Kalau tak salah ketika saya masih duduk di bangku kelas 3 SMK. Bersama teman-teman seangkatan, dulu, kami memang sering ziarah. Apalagi memasuki fase-fase kritis seperti ujian nasional. Tapi kini saya sendiri, sedih? Sedikit sih. Mudah-mudahan tahun depan bisa sama-sama lagi ziarahnya, biar lebih afdol.
Seperti biasa beberapa bapak, ibu, dan pemuda-pemudi sedang melantunkan ayat-ayat suci al-quran. Mereka merupakan peziarah yang datang dari luar kota, sama halnya dengan saya. Bagi masyarakat Jawa ziarah ke makam sembilan wali atau Walisongo seperti sudah mendarah daging. Tak sedikit dari mereka yang berhasil mengunjungi kesembilan makam wali tersebut. Di Pati, tempat saya tinggal sering sebuah Rt/Rw mengadakan tour ziarah Walisongo dengan menggunakan kas yang mereka kumpulkan. Walau usia mereka beberapa sudah senja namun sebuah keberkahan apabila bisa berziarah ke makam Walisongo.
Oleh : MS Fitriansyah
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting