Mengunjungi destinasi wisata alam terasa lebih menyenangkan. Apalagi jika tempat wisata alam itu belum banyak dikunjungi turis, masih asri, berudara dingin, dan relatif mudah dicapai. Yogyakarta, khususnya Kabupaten Sleman, masih memeram lokasi-lokasi alami yang oke dikunjungi.
Salah satunya, wisata alam Bukit Klangon. Berlokasi di Glagahharjo, Cangkringan, Sleman, Klangon menjadi rumah bagi sejumlah satwa langka, di antaranya burung alap-alap Jawa, burung kepodang, burung madu gunung, musang, dan monyet.
Tidak seperti Kaliurang yang sudah begitu ramai dikunjungi wisatawan saat sebelum pandemi, Bukit Klangon masih terbilang sepi pengunjung. Padahal tempat ini relatif mudah dicapai dengan kendaraan roda empat maupun dua. Klangon yang berada di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut juga menawarkan kesejukan yang lebih menusuk.
“Menurut saya, di sini lebih dingin dibanding Kaliurang, ya. Mungkin karena tidak disesaki bangunan dan lingkungan alamnya masih terjaga natural. Seandainya cuaca cukup cerah, tentu Gunung Merapi akan menjadi latar yang memukau. Sayang, kalau sudah agak siang kabut tebalnya turun,” kata Dyah Puspita, wisatawan asal Bandung, saat ditemui Klasika Kompas akhir Januari lalu.
Klangon sebenarnya juga berfungsi sebagai hutan konservasi yang bisa digunakan untuk kegiatan penelitian. Di sana terdapat prasasti Hutan Pendidikan Konservasi Koesnadi Hardjasoemantri (HPKKH). HPKKH ini diresmikan pada 9 Desember 2012 oleh Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan, dan Ketua Kagama yang juga Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Rute ke Klangon cukup mudah. Dari pusat Kota Yogya, kita bisa mengarah ke timur (Kalasan) menyusuri Jalan Raya Yogya–Solo. Sebelum sampai daerah Bogem, Kalasan, kita berbelok ke utara di perempatan Proliman. Waktu tempuhnya sekitar 1,5 jam. Sepanjang perjalanan, kita akan menikmati perpaduan suasana desa, kebun, dan ladang yang asri. Menenteramkan.
Dapat pula memanfaatkan Google Maps, tapi perlu memperhitungkan kekuatan sinyal data yang cenderung meredup saat kita mencapai ketinggian tertentu. Jalan menuju ke Klangon terbilang bagus, sebagian besar beraspal halus. Namun, menjelang sampai tujuan, ruas jalan ini menyempit sehingga perlu dipertimbangkan jika hendak naik menggunakan kendaraan sekelas bus.
Menurut Bambang (53), peternak sapi yang sering mencari rumput di Klangon, tempat wisata ini sebenarnya mulai dibuka pada 2011 atau setahun usai erupsi besar Merapi. “Sekarang sudah ada toilet umum, warung, gardu pandang. Di sini, banyak rumput sehingga warga sekitar masih ada yang angon (menggembalakan) ternaknya.”
Ada banyak spot di Klangon untuk menyesap keindahan alam, baik ke arah gunung maupun lembah. Ada gardu pandang setinggi 5 meter, ada pula “panggung” bambu yang oke untuk berfoto dengan latar belakang lembah. Kita juga bisa berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju air terjun, gua Jepang, tugu perbatasan Yogyakarta–Jawa Tengah, atau padang bunga edelweis.
Olahraga sepeda
Bukit Klangon juga menantang para penggemar olahraga sepeda. Baik pesepeda santai maupun yang lebih ekstrem, downhill.
Banyak pesepeda dari Yogyakarta yang mencapai tempat ini setelah mengayuh lebih dari 30 kilometer. Jarak tempuh ini ditambah trek yang menanjak dianggap amat menyenangkan bagi pehobi olahraga sepeda.
“Kami start dari Jalan Magelang menuju Kali Kuning. Kemudian terus ke arah timur melewati padang golf Cangkringan. Terus ke timur menuju Desa Glagaharjo. Waktu tempuhnya saat berangkat sekitar 4 jam karena harus menaklukkan tanjakan yang sangat panjang. Sementara itu, pulangnya hanya butuh waktu kurang dari 2 jam,” kata Franky yang bersepeda bersama komunitas gowes-nya.
Pengelola Bukit Klangon juga menyediakan sirkuit downhill. Di sini, penggemar downhill bisa bersepeda menyusuri trek yang sudah disediakan. Jalur yang naik turun ditambah beberapa area yang terjal siap menguji nyali para pesepeda. Tak ayal, banyak pesepeda downhill dari luar Yogya yang datang ke Klangon untuk berlatih.
Dari keasrian Klangon, kita bisa mengerti kenapa dulu John Lubbock, naturalis asal Inggris, pernah berujar, “Bumi dan langit, hutan dan ladang, danau dan sungai, gunung, dan laut memang bisa menjadi guru yang sangat baik, dan mengajarkan sebagian dari kita lebih dari yang dapat kita pelajari di buku-buku.”