Jakarta – Sungguh tidak disangka-sangka, akhirnya perjalanan ke Bandung yang telah kami rencanakan dapat terwujud. Kami, berjumlah 13 orang, hari Sabtu (20/9/14) berangkat dari Jakarta pukul 6 pagi dengan menggunakan mobil rental plus driver. Perjalanan ke Bandung memakan waktu tempuh lebih kurang 2 jam. Tujuan kami adalah selain untuk berjalan-jalan mengusir kepenatan aktivitas, juga mengunjungi salah satu Panti Sosial di Bandung yang merupakan bagian dari program CSR (Corporate Social Responsibilty) di perusahaan kami.
Setibanya di Bandung, sekitar pukul 8:45, kami menuju Stasiun Bandung untuk sarapan pagi. Lontong kari Stasion di Kebun Karet (depan Hotel Guntur) adalah tujuan persinggahan pertama kami di Bandung. Setibanya di lokasi ternyata tidak hanya kami di sana namun sudah banyak juga pelanggan lain yang sarapan di tempat itu. Meskipun berada di sebuah gang sempit namun tidak menyurutkan niat para pelanggan untuk tetap berkunjung. Sambil menunggu hidangan disajikan, kami tertarik dengan foto-foto yang dipajang di warung itu, diantaranya foto Benu Buloe, foto Pak Bondan ‘Mak nyus’ Winarno dan sebuah potongan artikel salah satu koran Bandung yang mengupas tentang warung lontong kari di warung yang kami singgahi ini. Akhirnya menu kami datang, dengan ditemani segelas teh hangat manis, kami sarapan dengan lahap. Sangat luar biasa dan mak nyus pisan euy…
Usai sarapan, kami menuju ke Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) Budi Pertiwi yang berada di Jl. Sancang, Burangrang – Bandung. Perjalanan menuju Panti tidak lama karena tergolong masih pagi dan kondisi lalu lintas kota Bandung belum padat. Di sana, kami diterima dengan ramah oleh perwakilan pengurus, Bu Yetti, dan diajak menuju aula Panti. Di aula, kami disambut dengan choir Mars dan Hymne Budi Pertiwi penghuni Panti. Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi adalah sebuah panti social non-pemerintah yang menampung para wulansia (wanita lanjut usia) dan telah berdiri sejak tahun 1948 atau tepatnya 19 November 1948. Pemberian nama Panti ini mengalami perubahan oleh Bung Karno pada tahun 1957 saat berkunjung ke Panti ini. Panti Sosial Budi Istri berubah nama menjadi Panti Sosial Wredha Budi Pertiwi (PSTW Budi Pertiwi). Penghuni Panti saat ini 29 orang dan seluruhnya wanita. Kami sangat terharu karena para wulansia ini tetap semangat dan kreatif di usia lanjutnya bahkan mars dan hymne yang menyambut kami diciptakan oleh Nenek Wahyu yang sekaligus Ketua dari ke-29 penghuni Panti. Kami juga disambut dengan pantun yang dilantunkan oleh Nenek Rogaya. Kebahagiaan kami sangat luar biasa bahkan terkadang air mata menetes tanpa terasa, teringat kedua orang tua, Nenek serta Kakek kami yang ada di rumah, Akhirnya kami berpamitan, setelah sebelumnya berfoto, bersalaman dan sedikit berbincang baik dengan para Nenek dan karyawan Panti yang berjumlah 4 orang. Ucapan terima kasih dan agar tidak lupa menjaga kesehatan adalah wejangan yang kami terima dari Nenek-Nenek kami di PSTW Budi Pertiwi, tanpa terasa kembali air mata kami menetes. Kami bahagia, masih ada wejangan yang kami terima dengan penuh rasa kekeluargaan dan kasih sayang.
Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 12 siang, saatnya makan siang dan sholat Dhuhur. Rombongan menuju tempat makan siang di sebuah Mie Kocok di Jl. Karapitan, dan lagi-lagi warung ini pun terletak di sebuah gang sempit Kota Bandung. Mie Kocok ini sangat terkenal dengan nama Mie Kocok Sapi Karapitan, dan rasanya pun mantab. Makan siang kami kali ini ditemani dengan segelas es jeruk segar, sangat cocok dengan cuaca siang Kota Bandung saat itu. Selesai makan siang, kami menuju ke Masjid Istiqomah untuk sholat Dhuhur.
Kami melanjutkan perjalanan sebuah lokasi kuliner di Kota Bandung yaitu Yoghurt Cisangkui, yang lokasinya tak jauh dari Taman Lansia dan Gedung Sate. Banyak sekali ditemukan kuliner khas Pasundan di sini. Sambil memesan es yoghurt dan mencoba beberapa jajan pasar, diantaranya surabi, disini kami beristirahat menikmati semilir angin dan sejuknya Kota Bandung.
Perjalanan selanjutnya adalah menikmati pertunjukan angklung di Saung Angklung Mang Udjo (SAU). Saat itu suasana mendung mulai terasa dan gerimis menyertai perjalanan kami. Waktu tempuh dari Café Yoghurt Cisangkui menuju lokasi SAU lebih kurang 1 jam. Kami tiba di lokasi pertunjukan dan saat itu turun hujan deras. Sambil menunggu dimulainya pertunjukan yaitu pukul 15:30, kami melihat-lihat souvenir dan sholat Ashar. Harga tiket masuk pertunjukan adalah Rp. 75.000,- dan mendapatkan welcome drink, memilih teh hangat, es potong atau air mineral. Para pengunjung di SAU tidak hanya turis lokal namun banyak juga juga turis mancanegara yang berkunjung untuk menikmati pagelaran angklung di SAU ini.
Tepat pukul 15:30, pertunjukan dimulai. Kami mengambil tempat duduk nomor dua dari depan agar dapat menikmati pertunjukan secara maksimal. Pertunjukan yang kami saksikan di SAU yaitu pertunjukan wayang golek. Umumnya pertunjukan wayang golek memakan waktu berjam-jam namun di SAU hanya sekitar 10 menit. Wayang golek yang dipertontonkan di pertunjukan ini lebih kepada teknik memainkannya oleh Dalang, sehingga suasana menjadi hidup dan seru. Kolaborasi antara dialog dalang, permainan wayang dan gamelan pengiring sangatlah menentukan. Pertunjukan selanjutnya adalah Helaran, yaitu sebuah ritual syukuran saat seorang anak laki-laki usai dikhitan. Anak laki-laki ini akan ditandu dan diarak keliling kampung dengan diiringi gamelan, tari-tarian serta teman-temannya.
Kemudian kami juga disuguhi pertunjukan tarian tradisional Tari Topeng dari Cirebon dan musik dengan alat musik angklung atau disebut Arumba (Alat musik Rumpun Bambu). Parade lagu-lagu Nusantara yang dimainkan dengan angklung secara massal oleh anak-anak didik dari SAU serta Angklung Mini juga menjadi bagian dari pertunjukan di SAU. Kami juga diperkenalkan dengan Angklung-Toel, sebuah inovasi angklung, yang cara memainkannya cukup dengan sentuhan jari atau bahasa gaulnya di-towel. Musik, angklung dan tarian yang sangat harmoni dan sangat apik dibawakan di pertunjukan SAU.
Pada pertunjukan SAU, para penonton juga diajak berinteraksi bernyanyi dan bermain angklung bersama. Masing-masing penonton mendapatkan sebuah angklung dan MC akan menjelaskan bagaimana cara memainkannya. Untuk dapat memainkan angklung, penonton harus konsentrasi mengikuti petunjuk dari MC. Di akhir pertunjukan, seluruh anak didik SAU mengajak para penonton untuk berjoget bersama di floor dengan diiringi tembang dolanan anak khas Nusantara dan alunan musik angklung.
Pertunjukan SAU adalah akhir perjalanan kami hari itu, kemudian kami kembali ke Jakarta. Tidak ada kelelahan namun rasa kagum dan sangat terkesan dengan perjalanan kami ini. Kami menemukan rasa kekeluargaan di PSTW Budi Pertiwi dan ada rasa nasionalisme melalui jajanan kuliner khas Pasundan dan di Saung Angklung Mang Udjo. Sebuah perjalanan … a walk to remember …(thc-20092014)