Home Lomba Blog KTF 2014 Wajah Cibeo dan Cikartawana

Wajah Cibeo dan Cikartawana

oleh Mahansa Sinulingga

Kerinduan pada suasana pedesaan menjadi perangsang hati untuk kembali ke Baduy Dalam. Dan akhirnya dua malam saya habiskan di Cibeo dan Cikartawana untuk melepas rindu. Cukup? Kurang. Ingin berhari-hari. Ingin mengenal lebih dalam masyarakat dan budayanya.

25 Mei 2014

Pukul 11.30 saya dan 8 sahabat tiba di Sta. Rangkas Bitung, tigapuluh menit lebih lambat dari jadwal. Lalu kami disambut oleh Kang Agus (guide), dan langsung menuju Ciboleger. Satu jam tigapuluh menit perjalanan dengan angkot sewaan.

Di Ciboleger, kami langsung berkenalan dengan Kang Daman (adik ipar Kang Agus), orang yang menemani selama perjalanan, dan juga Kang Idong. Kami membutuhkan waktu 5 jam untuk sampai ke Cibeo dan menginap di rumah Kang Idong. Di sini semua rumah bermodel panggung dari kayu, bamboo, ijuk dan daun kelapa kering untuk atap.

Ketika sampai di rumah Kang Idong, istrinya memasak bahan-bahan yang kami bawa: beras, mie instan, ikan asin dan sarden. Kang Idong memiliki 4 orang anak, yang paling kecil berusia 2 tahun bernama Sanan. Bibit kegantengan sudah ada di paras bocah lucu tersebut. Di rumah ini ada dua keluarga. Katanya, kalau ingin tahu jumlah keluarga yang tinggal di satu rumah Baduy, cukup tengok jumlah kompornya. 2 kompor menandakan ada 2 kepala keluarga.

26 Mei 2014

–- Cerita Cibeo –

Pagi-pagi para perempuan Cibeo sudah menumbuk padi. Para prianya pergi ke ladang. Anak-anak kecilnya asyik bermain. Bapaknya Kang Idong pun sedang sibuk merakit daun kelapa kering untuk atap. Mereka berencana membuat rumah, mungkin bulan depan. Di Cibeo ada sekitar 98 rumah.

“Pembuatan rumah dilakukan gotong royong, tapi bahan-bahannya dipersiapkan oleh sang pemilik rumah. Cukup satu hari untuk membuat rumah, paling lama dua hari,” kata Kang Idong. Wow!

Saya sempat menanyakan soal pemakaman, Kang Idong menjawab, “Ada kuburan. Warga yang meninggal dikuburkan tanpa nisan, ada tahlilan di hari ke-3 dan ke-7 kematian.” Tanpa nisan, berarti sudah tidak ada lagi yang keluarga yang berziarah setelah kematian, karena menurut tradisi masyarakat setempat, orang yang meninggal sudah tidak ada hubungan lagi dengan apapun di dunia.

“Bagaimana dengan kemampuan baca dan tulis anak-anak di sini?”

“Mereka belajar baca dari bungkus mie atau kemasan lainnya,” jawab Kang Idong.

Ketika ditanya soal politik dan pemilu, Kang Idong hanya menjawab “kami di sini tidak ikut pemilu. KTP saja tidak punya.” Menurut beliau, KTP sebenarnya mungkin ada tapi tertahan di Kepala Desa Kanekes, dan boleh memintanya. Lebih lanjut Kang Idong berkata, “Tapi KTP pun buat apa? Di sini tidak ada polisi.” Walaupun demikian, Kang Idong mengakui bahwa KTP terkadang dibutuhkan ketika beliau ke Jakarta, karena polisi seringkali menanyakan KTP. Tapi jika memang tidak punya KTP, warga Baduy Dalam yang ingin ke Jakarta bisa meminta surat jalan pada Kepala Desa Kanekes.

Kang Idong sendiri tidak terlalu sering ke Jakarta, 1-2 kali dalam setahun terakhir. Butuh 2-3 hari untuk sampai ke Jakarta dengan berjalan kaki, untuk menjual madu dan hasil kerajinan tangan, atau sekedar mengunjungi kenalan.

Masyarakat Baduy Dalam dikenal sangat keras mempertahankan tradisi. Mereka mempunyai sistem pemerintahan sendiri, menolak produk teknologi terutama alat transportasi. Saat masuk Cibeo, kita tidak akan menemukan listrik atau perangkat elektronik. Tidak terlihat barang modern, tetapi bukan berarti kampung ini tidak berubah.

Dulu, warga Baduy Dalam hanya mau memakai sistem barter. Tetapi sekarang, beberapa warga Cibeo sudah berjualan dengan cara yang halus. Barang dagangan ditaruh di tempat yang mudah terlihat. Di sudut rumah ada beberapa botol madu yang dijual 100.000 per botol, beragam kain tenun dengan harga yang bervariasi, serta kerajinan tangan lainnya.

Tidak jauh dari rumah Kang Idong, saya juga melihat ada orang yang buka lapak jajanan. Sepertinya si penjual berasal dari luar, karena pakaian yang digunakan bukan pakaian khas Baduy Dalam.

Kang Idong sangat sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, dan ketika jam menunjukkan pukul 2 siang, kami pun bersiap ke kampung berikutnya, Cikartawana.

— Cerita Cikartawana —

Tigapuluh menit adalah waktu yang kami butuhkan untuk berjalan kaki ke kampung Cikartawana. Dekat yah? saya juga mengira jaraknya akan sangat jauh. haha… Tapi tetap bukan jalur yang lurus-lurus aja, ada tanjakan yang bikin ngos-ngosan.

Bentuk rumah di Cikartawana tidak berbeda dengan Cibeo, tapi suasananya jauh berbeda. Di sini sepi dan agak misterius. Rumah pun tidak banyak, hanya ada sekitar 30-an. Kampung yang sangat jarang dikunjungi oleh orang luar. Seorang warga lokal menghampiri kami dan mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan harus tidur di rumah yang terpisah. Tetapi berkat negosiasi Kang Daman dengan lelaki tersebut, akhirnya kami diperbolehkan tidur di satu rumah yang sama.

Di sini kami menginap di rumah pasangan muda, Asih dan Sarmin. Mereka sudah menikah selama 3 tahun, dan hanya tinggal berdua. Sebelumnya pernah punya anak, tapi meninggal, karena tidak mau minum ASI. Usia Asih sekarang adalah 16 tahun, masih sangat muda.

Menurut Kang Daman, pria dan perempuan di Baduy Dalam sudah dijodohkan sejak mereka bayi, dan akan dinikahkan ketika usia dirasa sudah cukup. Pernah ada cerita, satu pasangan tidak saling berhubungan badan selama 5 tahun karena tidak saling cinta. Asih dan Sarmin sendiri menikah karena saling suka. Asih adalah warga Cibeo, dan Sarmin adalah warga Cikartawana. Pernikahan antar kampung diperbolehkan di Baduy Dalam. Di Baduy Dalam pun tidak ada poligami.

Berdasarkan pengalaman Asih, terbersit tanya adakah perempuan yang memberontak dan memilih keluar dari Baduy Dalam? Adakah Kartini yang lahir di sana? Lalu bagaimana jika ada? Selain terkena sanksi dikeluarkan dari Baduy Dalam. Begitu banyak tanda tanya.

Kang Daman juga bercerita pernah ada orang yang diam-diam mengajak turis asing masuk ke Baduy Dalam, dan akhirnya didenda dan diusir keluar. Sebagai informasi, turis asing dan warga keturunan Tionghoa hanya boleh masuk sampai Baduy Luar. Denda sebesar 15juta rupiah dikenakan sebagai biaya untuk melakukan upacara pensucian tempat dan benda-benda keramat, yang katanya bahkan bisa menghabiskan 20juta. Denda ini berlaku hingga saat ini.

27 Mei 2014

07.30 pagi kami sudah bersiap kembali ke Ciboleger. Awalnya, kami ingin sekali ke Jembatan Akar, tapi ternyata tidak bisa karena jalurnya harus melewati Huma Serang, ladang yang dianggap suci oleh masyarakat Baduy Dalam dan tidak boleh dilewati oleh orang sembarangan. Kami pun mengikuti aturan setempat dan tidak memaksakan diri untuk ke sana.

Setelah mulai memasuki perkampungan di Baduy Luar, kami lihat sudah banyak rumah yang berjualan minuman botol, kain tenun dan kerajinan lainnya. Mereka kini semakin sadar tingginya minat wisatawan terhadap Baduy. Pemandangan yang sangat berbeda dengan 3 tahun yang lalu.

Bagaimana nanti wajah Baduy Dalam 10 tahun kemudian? Saya sadar saya termasuk salah satu faktor perubahan yang terjadi saat ini. Mereka memang terlalu ramah untuk menolak pengunjung dari luar. Semoga traveler yang mengunjungi Baduy Dalam tetap menghormati dan mematuhi peraturan adat setempat guna menjaga kelestariannya.

*tulisan ini juga dipublish dalam blog: http://embunpagi36.wordpress.com/2014/05/31/wajah-cibeo-dan-cikatawarna/

Penulis

Heny Hartini Husien

Twitter : @embun_pagi36

Artikel yang mungkin kamu suka