Home Lomba Blog KTF 2015 Suatu Hari di Bruges (Belgia), Kota Klasik dari Sudut Buku Dongeng.

Suatu Hari di Bruges (Belgia), Kota Klasik dari Sudut Buku Dongeng.

oleh

Bruges terletak di utara Belgia, merupakan salah satu kota terpenting di daerah West flanders yang namanya sudah tidak asing dikalangan para Traveler, namun masih terjaga dari rute-rute menjemukan para pelaksana tur yang seringnya memandang sebelah kota klasik Eropa, menukarnya dengan destinasi lain yang favorable untuk scope masyarakat pada umumnya. Bruges merupakan sebuah epitomi dari kota kecil yang masih terjaga kualitasnya, masih menyembunyikan kecantikannya hanya pada mereka yang berani untuk menjelajah, si cantik yang bersembunyi. Bruges, yang dinobatkan sebagai Venice on the north, dan merupakan world heritage of UNESCO, masih tegak berdiri, menutup diri dari hiruk pikuk metropolitan, sambil memamerkan kecantikannya yang mampu menginspirasi mereka yang sangsi dengan keindahan.

Kami tiba di di tengah larutnya malam, 2 jam perjalanan dengan kereta dari Brussels, ibu kota Belgia yang ramai dan metropolis. Udara dingin yang menusuk menyambut kami dibawah temaram lampu remang-remang yang menambah kesunyian malam di kota ini. Bus membawa kami mengelilingi Bruges yang sudah terlelap di bawah gelapnya malam. Seperti kota hantu, jalanan tampak kosong dan sunyi, seolah-olah menyiapkan kejutan mistis bagi mereka yang berani berjalan tanpa lentera. 20 menit perjalanan dari stasiun, kamipun tiba di St. Christopher bauhaus hostel, yang terletak di pinggir kota tua Bruges, dan tampak mencolok dibawah kegelapan malam di kota ini. Lampu terang didepan hostel menyambut kami dengan ramah, mempersilakan kami masuk ke area Bar hostel yang sangat luas, hangat, dan dipenuhi oleh traveler-traveler berusia muda yang sedang asyik berbincang-bincang dan menghangatkan diri. Lelah semakin terasa, maka kami segera beristirahat, meski tidak sabar untuk segera menjalani hari esok, to get lost on the fairytale.

Fajar pun tiba, kamipun melangkahkan kaki keluar, siap untuk mengeksplorasi tiap sudut Bruges. Masih sunyi, satu dua mobil buatan eropa meluncur dengan pelan, beberapa sepeda melintas dengan lengang, biarawati tampak berjalan membawa belanja sayur-mayur yang tampak segar, kehidupan pagi yang sepi dan tenang, a breath of fresh air. Maka, sesuai dengan advis pengurus hostel, “in Bruges, you need no extensive itinerary, you just need to get lost and enjoy”, kamipun berjalan kaki tanpa rencana, ke arah pusat kota tua yang jaraknya dapat ditempuh dengan 15 menit berjalan dari hostel. Berjalan sebentar, kami sudah terpana dengan pemandangan disekitar. Sejauh mata memandang, jalanan masih terbuat dari untaian batu-batu tua dan rumah-rumah bergaya medieval yang berjejer penuh kharisma menyambut kami. Setiap sudutnya menghasilkan gambar yang spektakuler untuk lensa kamera, hanya berdiri di dinding sebuah rumah, snap! you’ll have a good picture for your social media account. That’s how picturesque Bruges is. Kota yang tidak getir untuk menunjukkan kelihaiannya dibawah sorot kamera.

Suasana Bruges di Pagi hari yang sunyi

Kombinasi modernisasi dan romansa masa lalu yang berpadu dengan baik di Bruges

Sudut Rumah yang kental dengan bebatuan kuno

Barisan rumah-rumah yang didesain dengan arsitektur medieval gothic disetiap sudut Bruges

Pemandangan yang mengesankan kami temui ketika melintasi kanal pertama di Bruges, lebar, tenang, dan mempesona berpadu dengan pepohonan oak yang masih gundul dan poles barisan rumah yang berwarna kelabu. Teringat film india berjudul Pee Kay yang beberapa bulan terakhir populer di Indonesia dan kebetulan mengambil setting disini. Saya teringat, adegan ketika si Anushka Sharma menelusuri kanal-kanal di Bruges dengan sepeda, sambil bernyanyi dan menari ala India, berlenggok dengan fasih menyiulkan lagu cinta untuk si kekasih sembari melewati kanal-kanal yang mempesona, kanal-kanal Bruges yang cantik. Panorama kanal dan segarnya udara khas yang saya hirup benar-benar memanjakan indera, membuat kami bangga bisa datang ke Bruges yang spektakuler.

Kanal Bruges yang menawan

Lanjut berjalan, tibalah kami di pusat kota tua Bruges, Market Square. Area ini tampak lapang dengan nuansa abad pertengahan yang begitu kental. Di tengah, tampak berdiri patung Jan Breydel dan Pieter de Connick, pemipin Belgia yang gugur di Battle of the golden Spurs. Di sisi selatan tampak barisan rumah-rumah bergaya medieval gothic yang berwarna-warni, khas abad pertengahan, yang dibawahnya kini dijadikan restoran-restoran menengah keatas, tourist trap bagi mereka yang tidak mempelajari fundamental traveling sebelum berangkat. Jejeran rumah-rumah berwarna warni ini menjadi salah satu spot foto favorit di Bruges. Sayang, angin kemudian bertiup makin kencang tanpa henti, sehingga kami tidak bisa berlama-lama mengagumi dan menelusuri tiap lekuk area ini.

Di bawah hujan

Bunyi lonceng terdengar, bertalu-talu dan membahana, seolah menyihir kami kembali ke abad pertengahan, ketika raja masih dihormati, dan para pria Eropa berbangga dengan status ksatria. Sumber bunyi yang lantang ini ternyata berasal dari sebuah menara batu tinggi setinggi 83 meter yang menjulang berwarna coklat, didesain dengan gaya Medieval gothic, menjadikan landmark ini kokoh sebagai salah satu bangunan tertinggi di Bruges. Kamipun tertarik untuk masuk kedalam menara, yang ternyata dikenal dengan nama Belfry Tower, atau Halletorren, kebanggan penduduk sejak dibangun ditahun 1240, delapan abad lalu.

Untuk masuk ke Belfry tower dan naik ke puncakya, kami harus membayar tiket seharga 6 euro dan menunggu sekitar 15 menit, disebabkan adanya batasan jumlah pengunjung sebanyak 70 orang saja untuk naik keatas menara, yang menurut saya merupakan sebuah regulasi yang baik untuk mempreservasi menara tua ini dari katastropi yang bisa disebabkan oleh jumlah wisatawan yang membludak. Setelah beberapa lama menunggu, kamipun masuk kedalam menara dan menaiki 366 anak tangga yang sangat menguras tenaga dan membuat ngilu otot-otot ekstremitas yang sudah lama tidak dipaksa untuk berolahraga. Tangga ke atas menara masih dipertahankan seperti delapan abad lalu, terbuat dari kayu, curam, dan sempit. Tangga hanya bisa memberikan jalan untuk seorang saja, sehingga kami harus berdempet-dempetan dengan penuh kehati-hatian ketika berpapasan dengan pengunjung lain yang terlihat lelah setelah menaiki ratusan anak tangga. Kami berhenti sejenak pada sebuah area ditengah menara yang memaparkan hikayat dari menara yang usianya sudah berabad-abad ini. Sungguh, saya cukup tercengang menerima fakta bahwa dibalik bentukannya yang kokoh, menara ini sudah pernah mengalami beberapa kali kerusakan, bahkan sempat luluh lantah setelah kebakaran hebat di tahun 1280, sebelum akhirnya direstorasi untuk kembali hidup ditengah central hall. Menara ini sendiri merupakan sebuah simbol penting dan multifungsi bagi kehidupan masyarakat di Bruges. Selain sebagai penanda waktu, menara ini bertugas sebagai pusat observasi, yang merupakan lini pertama untuk setiap pengumuman penting di kota, mulai dari kebakaran hingga pada peristiwa-peristiwa keagamaan hingga politik. Menariknya, sejumlah bel di menara dimainkan dengan carillon, sebuah alat seperti keyboard yang dimainkan untuk membunyikan bel. Bel-bel dimenara berbunyi seperti notasi, membunyikan melodi ketika sebuah partitur musik dimainkan, sehingga pada occasion tertentu, menara akan memainkan sejumlah lagu-lagu tradisional eropa pada hari-hari khusus seperti minggu atau market days.

Belfry Tower di kejauhan

Setelah puas menaiki tangga yang semakin lama kecuramannya semakin membuat linu, kami tiba di puncak, kehabisan napas seperti ikan yang terlempar ke surut pasang. Panorama 360 derajat yang tersuguh diatas menara membuat takjub mata kami, seluruh kota tampak rapi tersusun, seolah-olah keluar dari buku dongeng Hans Christian Andersen. Atap-atap rumah sewarna kemerahan, berbaris seperti lego ditengah kabut yang menyelimuti hari yang gelap. Tampak kanal-kanal kecil membelah jalanan bruges, memberi kehidupan untuk kota kecil yang dizamannya terkenal sebagai jalur penting perdagangan di utara Eropa barat. Bruges melintang sejauh mata memandang, menyajikan panorama hebat dan memberi bukti mengenai kecantikan eropa di masa lampau. Tak lama, hujan kemudian turun dengan deras, menerpa wajah kami yang masih terpukau memeriksa tiap sudut kota yang semakin berselimut dalam kelabu langit dan hujan. Maka kami pun memutuskan untuk kembali ke dataran bumi, yang basah diguyur hujan yang deras di siang ini.

Panorama Bruges dari atas Belfry Tower

The Church of Our Lady, dari atas Belfry Tower

Seorang teman pernah bercerita, di Belgia hujan bisa turun kapanpun dimanapun, bahkan ditengah hari yang terik. Sungguh tidak mengejutkan sekembalinya ke Market Square, hujan sudah turun dengan cukup deras, diikuti dengan hembusan angin yang kencang, mampu menerbangkan dan mengoyakkan payung kami. Maka kami segera bersembunyi dibalik lorong-lorong jalan untuk menghindari hembusan angin yang tak kunjung bersimpati. Jalanan kota sendiri tampak cukup melankolis di bawah derasnya hujan, toko-toko cokelat yang berjejer di sudut jalanan seperti oase yang mampu menghangatkan para pejalan kaki. Kami kemudian memutuskan untuk terus berjalan, berjalan ke arah gereja Church of our lady, dengan puncak yang mencapai 401,25 kaki yang artinya menjadi menjadi salah satu menara bata tertinggi di dunia. Namun kami urung untuk memasuki gereja, setelah tadi kelelahan menaiki tangga di belfry. Kami memilih untuk berlindung disebuah kedai panini yang tampak ramai dengan anak-anak sekolahan yang bercengkrama sambil menyantap makan siang sepulang sekolah, finally we see locals in Bruges. Kami semua memesan coklat hangat, yang terasa nikmat setelah membeku dan kebasahan dibawah hujan yang menderu-deru di siang ini.

Kereta Kuda di jalanan-jalanan Bruges

Sudut kanal Bruges, setelah hujan

Satu jam kemudian, hujan akhirnya berhenti membasahi penjuru kota, maka kami segera keluar untuk menikmati satu jam terakhir sebelum kembali ke Brussels untuk mengejar Bus yang rencananya akan membawa kami ke destinasi selanjutnya, Paris. Kami sekali lagi mengitari kanal utama kota, duduk-duduk dipinggir kanal, sambil mengamati angsa-angsa yang berbaris rapi terapung di tengah kanal. Bruges memang layak untuk dinikmati dengan tenang dan perlahan, kota ini merupakan sumber inspirasi untuk mereka yang mendambakan realisme kisah-kisah masa kecil buatan Hans Christian Andersen tentang desa-desa kuno eropa, tempat Hansel dan Gretel bisa muncul dari sebuah lorong yang tersembunyi dan Cinderella bisa melintas dengan sepatu kacanya dibalik jalan-jalan cobblestone yang bersembunyi dibawah langkah kaki modernisasi. Bruges seperti lahir dari negeri dongeng, mampu memberikan inspirasi bagi para manusia-manusia artistik yang sedia untuk menghabiskan berhari-hari membuat sebuah opus dan syair tentang eropa kuno dan romantisme masa lalunya. Bruges is… simply stunning.

 

Link Blog saya untuk tulisan ini: https://docpacker.wordpress.com/2015/05/25/project-europe-bruges-get-lost-in-the-fairytale/

Penulis

Yogi Pratama

Twitter: @yogipratama

Artikel yang mungkin kamu suka