Siapa bilang menjelajah kota tidak seru dan membosankan? Mungkin bagi sebagian orang gunung atau
hutan lebih menarik dibandingkan ‘cuma’ keliling kota. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi saya. Ya,
setidaknya itu yang saya alami ketika menjelajah ibukota Kathmandu, Nepal.
Perjalanan menuju Kathmandu dimulai dari Tanah Air tercinta. Diperlukan waktu kurang lebih 6 jam
penerbangan untuk bisa mendarat di Bandar Udara Internasional Tribhuvan Nepal. Tujuan utama saya ke
Nepal ialah mendaki salah satu pegunungan Himalaya. Namun sebelum mendaki gunung, saya memiliki
kesempatan satu hari penuh untuk jalan-jalan di ibukota Kathmandu.
Selama di Kathmandu saya menginap di daerah Thamel. Sebuah daerah berupa gang-gang kecil atau
‘marg’ sebutan orang Nepal, yang cukup populer di kalangan para backpacker. Banyak sekali hostel,
money changer, restoran, bar, dan toko outdoor yang berjejer di daerah Thamel. Harga perlengkapan
outdoor yang dijual pun juga tergolong murah. Maka tak heran banyak yang mengatakan bahwa Thamel
merupakan salah satu ‘surga belanja’ bagi para pendaki gunung.
Salah satu yang menarik perhatian saya di Thamel adalah kabel listrik yang luar biasa berantakannya. Ya,
bahkan ada kabel listrik yang tingginya sejajar dengan kepala. Ajaibnya lagi, satu tiang listrik bisa
menopang ratusan kabel-kabel yang begitu rumit dan tak beraturan alurnya. Hal menarik lainnya adalah
sensasi kehangatan dan religi di sini sangat kental terasa. Hampir setiap warga lokal yang saya temui
tersenyum dengan ramah. Selain itu hampir di setiap sudut-sudut jalanan, bahkan di tengah perempatan
terdapat kuil-kuil kecil tempat ibadah umat Hindu. Seperti diketahui, Nepal merupakan negara yang 80%
lebih masyarakatnya menganut agama Hindu.
Saya dan seorang teman kemudian menyewa motor untuk menjelajah Kathmandu. Tujuan awal kami
adalah Tourism Center yang berjarak kurang lebih 5 km dari area Thamel. Bermodalkan peta buatan
seadanya yang diberikan seorang warga lokal, kami mulai menyusuri ibu kota.
Jalanan besar, debu berterbangan tak kenal arah, dan padatnya kendaraan membuat kami kesulitan
menemukan lokasi Tourism Center. Namun kami anak muda yang pantang menyerah. Kami meneruskan
perjalanan tanpa arah yang akhirnya membawa pada papan bertuliskan “Nepal Tourism Board”. Ya, itulah yang kami cari. Namun bukan petualang namanya jika tidak diuji. Ternyata gedung tersebut sedikit
kelewatan dan tidak mungkin melawan arah. Kami memutuskan untuk memutar kembali hingga ‘kegilaan’
ibu kota menghampiri.
Motor yang kami bawa tiba-tiba diberhentikan polisi di tengah jalan. Merasa tak melakukan kesalahan
sedikitpun, saya memberanikan diri bertanya, “Why sir?”, “Timi kahām̐ jādai chau” jawabnya dengan
bahasa Nepal. Ya, kami mendapatkan masalah, ditilang dan dianggap warga lokal pada hari pertama di
Nepal. “We didn’t do anything wrong sir!” Jawab teman saya memutus kebuntuan. “Student, from
Indonesia” tambah saya dengan wajah sedikit memelas. Sang polisi tidak peduli, dia tetap menulis di
kertas tilang ala Nepal yang dipegangnya. “Sir, Sir, Indonesia! Not Nepalese!” Kali ini saya berbicara
dengan nada yang lebih tinggi, namun tetap dengan muka memelas. “Sir! Please! Please!” kata teman
saya. Polisi yang awalnya tidak peduli itu kini seperti kebingungan, dia lalu menatap kami berdua. Tidak
lama berselang, dia lalu memberikan isyarat dengan tangannya agar kami berdua segera pergi. “Thanks
Sir!” kata kami berdua sebelum akhirnya meninggalkan keramaian tersebut. Kamipun bisa bernafas lega.
Setelah drama penilangan tersebut, kami meneruskan perjalanan hingga akhirnya sampai di depan
gedung Tourism Center. Awalnya kami berencana tidak ingin berlama-lama di sini, hanya mengurus
permit untuk pendakian Annapurna Basecamp, menanyakan beberapa cara menuju kuil terdekat lalu
pergi. Namun ternyata Tuhan memiliki rencana lain. Setelah urusan permit selesai, kami sempat diajak
ngobrol oleh dua orang pria lokal tepat sebelum pintu keluar. Pembicaraan yang awalnya hanya basa-basi
berubah menjadi pembicaraan yang cukup serius. Kami jadi lumayan akrab dengan mereka. Keakraban
tersebut berakhir dengan makan siang bareng di rumah makan yang lokasinya hanya berjarak sekian
meter dari Tourism Center. Kapan lagi makan bareng local people, ditraktir lagi! Nasi goreng khas Nepal
dan Momo, sejenis dimsum ala Nepal menjadi santapan nikmat siang pertama kami di Kathmandu.
Pertemuan singkat dengan dua warga lokal berumur kira-kira di atas 40-an itu kami akhiri dengan saling
bertukar kontak di media sosial. Kami kemudian bergegas melanjutkan petualangan di bawah sengatan
terik matahari Kathmandu siang itu. Tujuan kami berikutnya adalah Kathmandu Durbar Square. Sebuah
alun-alun di depan kompleks kerajaan Kathmandu yang menjadi situs warisan dunia UNESCO. Hanya
butuh waktu sekitar 20 menit berkendera motor hingga kami tiba di area parkir kompleks tersebut.
Bangunan-bangunan tua dengan gaya khas nepal, monastery megah menjulang tinggi, dan kuil-kuil
pemujaan menyambut kami ketika memasuki area Durbar Square. Mata kami tak habis-habisnya disuguhi pemandangan indah berbagai macam arsitektur karya seniman Nepal yang terlihat jelas dari ukiran
ukiran, eksterior, hingga interior bangunan-bangunan tua tersebut. Tempat ini seolah membawa kami ke
abad pertengahan, di mana kerajaan Kathmandu sedang berada masa kejayaannya. Beberapa bangunan
memang terlihat sedang diperbaiki akibat gempa yang terjadi dua tahun silam. Namun hal tersebut tidak
sama sekali mengurangi kecantikan dari Durbar Square.
Puas mengagumi kekayaan sejarah yang ada di area Durbar Square, kami memutuskan untuk kembali ke
hostel. Dalam perjalanan pulang, kami mendapatkan ujian yang kedua kali. Ya, kami ditilang lagi. Kali ini
sang polisi langsung menulis di kertas tilang tanpa berbicara sepatah katapun. Kami mengeluarkan jurus
yang sama, memelaskan muka dan menjelaskan dengan Bahasa Inggris kalau kami hanyalah pelancong
kere dari Indonesia. Kali ini berbeda, si polisi tidak bergeming dan langsung memberikan surat tilang itu
kepada saya. Tak mau kalah, kami juga pura-pura tidak tahu dan tetap memasang muka melas. Dua menit
berselang akhirnya polisi tersebut menyuruh kita pergi. “Thanks Sir! Thanks Sir!” kata kami disertai sedikit
senyuman kali ini.
Matahari mulai menghias langit barat saat kami kembali menyusuri gang-gang kecil di Thamel. Sebelum
kembali ke hostel, kami mampir di sebuah restoran kecil yang terletak persis di pinggir jalanan besar
Thamel. Pani puri, dikenal juga dengan nama poochka, adalah makanan jalanan terkenal di Nepal dan
India. Makanan ini terdiri dari kulit poori yang bulat berisi kentang pedas yang dicelupkan dalam saus
berair, atau pani. Hanya dengan 20 rupee, atau sekitar dua ribu rupiah kami mendapatkan sekantong
pani puri yang berisi lebih dari 5 biji. Sekantong pani puri, langit berwarna oren, dan bangunan tua tak
terawat sebelah restoran pani puri, yang ternyata adalah sebuah kampus, memaksa kami untuk tidak
langsung pulang ke hostel. Setelah masuk berkeliling kampus, kami akhirnya memutuskan duduk-duduk
di bagian terbuka sebelah kiri bangunan. Sambil melepas lelah, dan melahap lezatnya pani puri, kami
mulai berguyon soal kejadian- kejadian seru yang kami alami selama hari ini. Mulai dari drama tilang
menilang, ruwetnya jalanan Kathmandu, traktiran ala waga lokal, hingga indahnya kompleks Durbar
Square tak luput dari guyonan kami. Hari yang melelahkan, namun penuh dengan banyak kejutan. Tak
terasa langit sore mulai berganti dengan malam. Kami segera kembali ke hostel untuk beristirahat.
Memori ibu kota Kathmandu hari itu, akan tersimpan rapih dalam ingatan dan menjadi cerita yang akan
selalu menarik untuk diceritakan.
Oleh : Abdurrahman Karim Zaidan, 2017
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting