Yogyakarta tidak hanya punya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Malioboro. Banyak tempat wisata yang masih jarang dikunjungi bahkan dilirik oleh para wisatawan. Salah satunya Desa Purwodadi yang dapat disebut desa wisata, karena memiliki lima pantai, taman dan kebudayaan yang menarik hati wisatawan.
Desa Purwodadi adalah desa di Kecamatan Tepus, Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta yang terdiri dari banyak dukuh atau dusun. Pada tanggal 15-24 Agustus 2017, saya dan kelima teman saya tinggal di Padukuhan Ngandong untuk memanfaatkan waktu libur kuliah.
Sebelum memulai perjalanan ke tempat-tempat wisata di Desa Purwodadi, kami membuat peta perjalanan terlebih dahulu. Ada tiga pantai yang lokasinya satu arah, yaitu Pantai Jogan, Pantai Nglambor dan Pantai Siung.
Perjalanan hari pertama yaitu ke Pantai Siung. Akses jalan menuju Pantai Siung lumayan bagus. Jalan aspal dan cukup untuk dua mobil. Pinggiran jalannya juga dibatasi dengan pembatas. Sehingga tidak terlalu bahaya. Karena, Pantai Siung mendapatkan dana bantuan dari pemerintah untuk pengembangan wisata. Pembangunan jalan tersebut dilakukan bersama-sama atau gotong royong. Gotong royong adalah ciri khas masyarakat Desa Purwodadi. Namun, jalan yang cenderung menanjak dan menurun serta berkelok itu tidak memiliki penerangan yang baik. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk tidak pulang terlalu malam dari Pantai Siung.
Setelah menempuh perjalanan sejauh 5 km, kami sampai di Pantai Siung. Jika dibandingkan dengan pantai lainnya, Pantai Siung terlihat lebih rapi dan ramai pedagang. Alasannya, karena akses jalannya baik. Sehingga, banyak wisatawan dan turis yang berlibur di Pantai Siung dan masyarakat Desa Purwodadi dapat memanfaatkan momen tersebut dengan berjualan atau menjadi pemandu wisata. Namun, nyatanya tidak seluruh masyarakat Desa Purwodadi dapat memanfaatkan kesempatan tersebut. Karena, untuk menjadi pedagang di pinggiran pantai harus bergabung dengan sebuah kelompok yang ketika masuk dan setiap bulannya wajib menyetorkan uang kas dengan jumlah tertentu, sesuai kesepatan kelompok tersebut. Kelompok-kelompok tersebut antara lain kelompok pedagang, sewa payung pantai, jembatan dan banyak lagi. Itulah alasan sebagian besar masyarakat Desa Purwodadi memilih tetap menjadi petani di ladang miliknya atau orang lain dibanding mengelola pariwisata. Sehingga perekonomian mereka tidak berkembang pesat.
Ketika bertanya pada seorang pemilik rumah makan di pinggir Pantai Siung mengenai investor asing, ia cenderung menolak adanya investor asing, karena takut ladang rezekinya hilang. Ini juga salah satu alasan pariwisata di Desa Purwodadi tidak berkembang pesat. Tetapi, di sisi lain sebagian dari mereka tak mampu memanfaatkan pariwisata dengan bergabung bersama kelompok pedagang dan lainnya karena besarnya jumlah setoran setiap bulan.
Beberapa pedagang di pinggir pantai telah kami lemparkan pertanyaan-pertanyaan. Sebelum pulang, kami berlari di atas pasir putih yang sangat bersih. Tidak ada sampah. Kemudian, duduk sembari menikmati ombak pantai selatan yang silih berganti menghantam karang dan pasir. Airnya sangat indah, gadrasi biru muda dan tua. Kami belum puas jika hanya duduk di pinggiran pantai. Maka itu, kami pergi ke atas bukit untuk menikmati Pantai Siung dari ketinggian sambil menikmati matahari yang perlahan seakan tenggelam ditelan lautan yang luas ditambah dengan gadrasi langit oren kehitaman. Sungguh indah.
Esoknya, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Nglambor. Sebelum menikmati keindahan pantai, kami bertanya-tanya kepada penjaga snorkeling. Pertanyaan yang sama kami lemparkan kepadanya. Selesai mengobrol, berbeda dengan Pantai Siung yang hanya dapat menikmati keindahannya dari pinggir pantai. Kami dapat menikmati Pantai Nglambor dengan berenang dan menyelam sambil melihat kehidupan bawah air. Lengkap dengan pelampung dan kacamata berenang. Pada hari libur, waktu snorkeling terbatas, yaitu satu hingga dua jam. Karena sekarang bukan hari libur yang ramai pengunjung, kami dapat menyelam sepuasnya.
Hari ketiga, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Jogan. Kami bertemu dengan penjaga sekaligus pengelola gondola kura-kura. Setelah kami bertanya-tanya, beliau mengajak kami untuk menaiki gondola dengan gratis. Kalau di sini, penolakan terhadap suatu tawaran dianggap tidak sopan. Maka, kami pun menyetujuinya. Lagi-lagi kami mendapatkan sesuatu yang berbeda. Jika hari pertama menikmati sunset, hari kedua snorkeling, hari ini kami menikmati indahnya pantai dan kencangnya angin dari atas gondola kayu berbentuk kura-kura yang ditarik oleh si penjaga. Melihat perjuangannya menarik gondola yang saya naiki, hati saya terketuk. Ditambah mengingat kata-katanya, “kalau di Pantai Jogan masih belum banyak dilirik oleh wisatawan maupun pemerintah. Maka itu, saya minta Mbak untuk membantu pengembangan pariwisata ini dengan setidaknya menuliskan di website atau media sosial sebagai promosi pariwisata ini. Karena, kalau bukan Mbak, siapa lagi?”. Memang, Pantai Jogan tidak seluas Pantai Siung dan jalannya tidak sebagus ke Pantai Siung. Hal ini yang membuat Pantai Jogan masih belum dilirik oleh para pengunjung.
Esoknya, kami ke Pantai Ngitun. Pantai ini sangat jauh dari tempat kami tinggal. Jalanannya pun sangat rusak. Bebatuan. Tanjakan dan turunan disertai tikungan yang sangat berbahaya. Tanpa pembatas, padahal di pinggir jalannya adalah jurang. Kanan dan kiri jalan dipenuhi pohon-pohon tinggi. Sepi. Tapi, kami tidak takut. Demi menikmati Pantai Ngitun. Setelah menempuh perjalanan menggunakan motor dan sesekali jalan kaki, karena bahaya, kami sampai di Pantai Ngitun.
Pantai Ngitun membayar keringat perjuangan kami untuk sampai di sini. “Private Beach” mungkin sebutan ini pantas untuk Pantai Ngitun, karena saat ini tidak ada pengunjung lain selain kami dan hanya ada sedikit pedagang yang salah satunya akan dijadikan narasumber. Pantainya sempit. Sepi. Pasirnya putih dan halus. Airnya sangat jernih dan dingin. Pepohonan rindang yang berdiri kokoh di pinggir pantai merayu kami agar duduk di atas pasir dan menikmati deburan ombak dan angin pantai.
Esoknya, kami pergi ke Pantai Timang yang menyediakan jembatan kayu sepanjang 100 meter dan gondola kayu. Sebelumnya, kami sudah merasakan menaiki jembatan kayu di Pantai Siung dan gondola di Pantai Jogan. Namun, bedanya jembatan dan gondolanya lebih panjang. Lebih menantang. Jembatan kayunya berdiri 9-10 meter di atas laut. Lebih rendah dibandingkan jembatan kayu di Pantai Siung. Kami tidak mencoba keduanya, karena terlalu menantang.
Tempat wisata di Desa Purwodadi tidak hanya pantai. Ada juga Taman Kehati. Kami pun mengunjunginya. Namun, keadaan Taman Kehati di luar ekspektasi. Taman Kehati ini baru didirikan beberapa tahun yang lalu oleh mahasiswa yang melakukan KKN di sini. Sehingga, pohon-pohonnya masih kecil dan belum rindang.
Tak terasa, seminggu sudah kami tinggal di Desa Purwodadi yang memiliki potensi pariwisata untuk memajukan perekonomian warga. Satu hal yang mereka butuhkan, yaitu bantuan modal dari pemerintah untuk membangun akses jalan ke empat pantai lainnya.Walaupun sebenarnya bantuan pemerintah sudah ada, tapi belum cukup.
Oleh : Arini Shafia Afkari
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting