Pulau Kemaro adalah cerita lain dari Sungai Musi. Kemaro artinya keramat. Disebut demikian karena pulau ini tak pernah tenggelam ketika Sungai Musi pasang. Pulau ini juga dikeramatkan oleh warga Tionghoa penganut Budha.
Sebelum pandemi, pada hari tertentu, khususnya Imlek dan Cap Go Meh, jumlah pengunjung di Pulau Kemaro meningkat. Ini memang destinasi yang menarik. Tak hanya warga lokal, pengunjung dari daratan Thailand, Malaysia, dan Singapura juga kerap mendatangi pulau ini.
Pada musim kemarau, sekitar pukul 10.30 panas udara di Kota Palembang sudah terasa mematuki kulit. Tak ada kucuran keringat. Bulirnya telah lenyap tersapu terik matahari. Untuk mencapai Pulau Kemaro, kita butuh menyewa perahu.
Para awak perahu biasanya membuka negosiasi dengan calon penumpang dengan menyodorkan angka Rp 400 ribu untuk perjalanan pulang pergi melintasi Musi. Calon penumpang boleh menawar. Bila terampil bernegosiasi, Rp 250 ribu bisa menjadi kesepakatan.
Setelah itu, kita bisa segera menyusuri Musi yang dalamnya 12–15 meter. Setelah melaju 10 menit, Pulau Kemaro menampakkan bibir dermaganya. Di luar hari-hari besar, pulau ini tampak membisu. Begitu pula tatkala pandemi ini.
Perahu pun merapat di dermaga. Awak perahu akan mempersilakan pengunjung untuk naik ke pulau dan berjalan-jalan. Dari area dermaga, suasana khas Tionghoa sudah terasa. Sebuah gapura berukiran dua naga bertuliskan 1982 berdiri kaku. Barangkali maksud dari tulisan tersebut adalah tahun pembuatan gapura.
Kisah Tan Bun An
Di pulau itu ada penjaga yang merupakan keturunan juru kunci Pulau Kemaro. Sang penjaga biasanya mengajak pengunjung melihat kelenteng atau wihara yang di pinggirnya terdapat batu buatan untuk menceritakan tentang legenda Pulau Kemaro.
Syahdan, seorang putri raja bernama Siti Fatimah dipersunting oleh saudagar Tionghoa bernama Tan Bun An pada zaman Kerajaan Palembang. Siti Fatimah diajak ke daratan China untuk menjenguk orangtua Tan Bun An.
Kembali ke Palembang, mereka dihadiahi tujuh buah guci yang dikatakan berisi kepingan emas. Untuk menghindari perompakan selama perjalanan, hadiah tersebut ditutupi dengan sawi asin. Melihat guci yang hanya berisi sawi asin, Tan Bun An amat kecewa dan mengempaskan guci-guci tersebut ke Musi.
Namun, saat guci terakhir diempaskan ke sungai, guci itu membentur dinding kapal dan guci itu pun pecah sehingga tumpahlah kepingan-kepingan emas. Tan Bun An melompat ke Musi untuk mengambil emas-emas itu ditemani seorang pengawal.
Sebelum terjun, Tan Bun An berkata, “Jika ada daratan muncul di Musi ini, berarti itu adalah kuburanku.” Ditunggu lama Tan Bun An tak kunjung muncul, lantas Siti Fatimah pun ikut menceburkan diri ke Musi. Mereka bertiga tak pernah muncul kembali.
Legenda lalu mengabarkan, ketiga gunduk daratan yang menyerupai pusara muncul ke permukaan dan disebut-sebut sebagai kuburan mereka. Dari sini kemudian muncul mitos, saat menjelang Imlek dan Cap Go Meh, barang siapa yang dengan niat tulus berkunjung ke Pulau Kemaro untuk merayakan hari besar tersebut, akan dikabulkan semua keinginannya.
Itulah yang membuat banyak warga Tionghoa menyempatkan diri ke Pulau Kemaro. Di pulau ini juga berdiri sebuah pagoda. Beberapa penghias seperti patung dan ukiran sedikit memberi cerita religius tentang agama Budha. Pagoda ini indah.
Kelak jika pandemi sudah berhasil diatasi, kita bisa menyempatkan diri jalan-jalan ke Palembang. Setelah menikmati pempek khasnya, kita bisa mampir ke Pulau Kemaro.