“Ini adat Alor Kecil, kamu harus tahu. Bismillah!” kata Ibu Ni sebelum meraup air di ember lalu mengusapkannya ke tengkuk saya.
Oh, dinginnya! Barangkali melihat ekspresi wajah saya, tawa sekitar 15 laki-laki dewasa meledak pagi hari itu. Tengkuk mereka sudah diurapi air laut sebagai tanda harapan dan berkat. Saya mendapat giliran terakhir. Bersama-sama mereka, saya telah ikut menolak Indonesia. Kebetulan saat sedang jalan-jalan di pantai dekat penginapan, saya melihat mereka dan saya segera bergabung.
Yang saya maksud adalah mendorong perahu bernama Indonesia ke laut lepas. Di tepi pantai sepanjang Tanjung Kumba, orang-orang memarkirkan dan membuat kendaraan laut. Semacam bengkel kapal, tapi tentu saja dengan pemandangan yang indah. Bengkel with a view.
Setelah mengobrol sambil menikmati kopi dan kue goreng yang dihidangkan, saya meminta diri dan berjalan ke ujung tanjung. Di sana, Pak Dado dan timnya sudah kembali dari menjala dengan pukat. Para bibi (kaum ibu) juga telah berkumpul untuk membeli tangkapan segar yang mereka akan jual di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor yang jaraknya 14 kilometer dari Alor Kecil. Meski “kecil”, Alor Kecil pernah menjadi metropolitan terbesar di Alor pada zamannya, bahkan ibu kota Alor dan pusat perdagangan dengan berbagai bangsa seperti Tiongkok dan Belanda. Di samping kekayaan alam, terutama lautnya, Alor Kecil juga mempunyai daya tarik budaya dan sejarah.
Begitu kerumunan berpencar pulang, saya pergi ke dermaga untuk menyeberang ke Pulau Kepa, sekitar 350 meter jauhnya. Pada pelayaran, saya berpegangan kuat ke tepian ketinting. Arus laut di Alor memang sangat kencang. Namun berkat nutrisi yang dibawa arus, biota laut menggemari perairan Alor dan menjadikan Alor memiliki banyak situs selam (dive sites) kelas dunia seperti di Pulau Kepa, Munaseli, Kalabahi, Pulau Ternate, dan Pulau Pura.
Fakta itu menguntungkan Alor Kecil yang, karena letaknya strategis, menjadi “pintu” ke perairan-perairan (dan tentu saja daratan-daratan) yang spektakuler, sehingga banyak orang suka menjelajahinya. Untunglah, di Alor Kecil ada operator olahraga air seperti Air Dive Alor. Dibantu mata jeli divemaster Arifin, saya dengan mudah menemukan frogfish, lionfish, gurita, dan masih banyak lagi.
Sesampai di Kepa, semarak bunga-bunga merah muda pohon gamal dan bunga-bunga merah kapuk hutan seakan-akan menyambut saya. Pemandangan yang luar biasa. Saya bertemu dengan anak-anak yang sedang bermain. Mereka mengajak saya jalan-jalan ke pantai pasir putih di bagian “belakang” pulau yang berpemandangan Pulau Pantar dan Pulau Pura. Mereka senang dibantu memetik buah bidara yang merah merona dan buah henung yang kecut-manis. Sebaliknya, saya senang telah ditemani melihat-lihat pulau. Mutual.
Saya juga menyempatkan diri “mandi laut” yaitu istilah setempat untuk main air. Sekalian snorkeling. Sangat berkesan karena di perairan sekitar Kepa, saya melihat hiu karang sirip hitam, mola mola, penyu hijau, bahkan paus sperma! Betapa beruntungnya!
Pada perjalanan balik ke dermaga Alor Kecil, saya berpegangan kuat ke tepi ketinting. Laut sedang pasang dan arus menyapu kuat, namun untungnya Bapak Rahmad dengan lihai menavigasi ketinting. Tak jauh dari saya, sekumpulan besar lumba-lumba melompat di permukaan air, seolah-olah menyambut. Saya langsung “lupa daratan” dan bertepuk tangan untuk menyemangati mereka. Tak jauh dari mereka, saya melihat Bapak Lasu melambaikan tangan ke arah saya. Dia sedang membawa Indonesia pada pelayaran perdananya.
Oleh : Sem Sahala Purba
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting