Lokasi: Pantai Pulau Merah dan Kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur
Jika mau bermain runtutan kata, dengan kata awal Indonesia, saya akan mengakhirinya dengan matahari terbit. Indonesia, negara kepulauan, alam yang indah, matahari terbit indah yang bisa dinikmati di banyak tempat.
Saya rindu melihat kilau biru kemerahan langit pagi saat diterpa mentari. Di pegunungan, di pantai. Saya biasa menyaksikan matahari terbit di Taipei, dengan latar gedung-gedung yang berlomba saling tinggi. Tapi bukan itu yang saya cari. Indonesia yang saya rindukan, matahari terbit di pegunungan berhawa dingin, dan di tepi pantai yang lengang, bermain dengan pikiran.
Ketika akhirnya duduk di bangku kereta ke Banyuwangi, saya berkata pada diri sendiri, saatnya menikmati matahari terbit di sini, kini, di tanah airmu sendiri. Dan dimulailah perjalanan itu, mencari matahari terbit ke ujung timur Pulau Jawa. Manalagi tempat yang lebih presisi?
Matahari terbit yang pertama: Pulau Merah. Pantai Pulau Merah, tepatnya. Terletak di lintas ‘Jalur Emas’ pesisir selatan Banyuwangi yang memiliki pantai-pantai indah (termasuk di antaranya Sukamade dan G-Land), pantai satu ini memiliki satu bukit yang menjulang di ujungnya. Pasirnya putih kecokelatan di sepanjang pantai, dengan sedikit bebatuan di ujung yang mendekati bukit. Aksesnya tergolong mudah, jalan beraspal, dan pantai ini sedang naik daun rupanya.
Saya tiba di sana jam 9 malam. Bergegas tidur dengan sebuncah harapan untuk menikmati matahari terbit esok harinya. Terbangun jam 4 pagi, buru-buru melangkah ke bibir pantai yang hanya sepelemparan jauhnya. Hari masih cukup gelap dan lengang. Ada segerombolan anjing yang asyik bermain pasir, menyalak riang, seakan juga seperti saya, bahagia menyambut pagi.
Matahari masih malu-malu, puncak bukit masih membiru. Saya melayangkan pandang ke ujung jauh, ke arah barisan perbukitan yang terlihat samar dan berwarna serupa. Berterimakasih pelan dalam hati, karena boleh menikmati hari yang baru dan biru yang anggun menyapa kalbu. Setetes air mata turun, dan saya buru-buru menyekanya.Indahnya Indonesiaku, saya berbisik.
Di timur, langit mulai kemerahan, perlahan, membiaskan biru yang tadinya bertahan. Anjing-anjing yang tadinya bermain, duduk menatap langit, sama terpesonanya dengan saya, yang berdiri mematung. Putih, emas, biru, merah jambu, semua warna berbaur menjadi satu. Hening yang menyeruak membuat saya lupa saya ada di mana.
Matahari mulai bersemangat, dan gelap yang tadinya menyelimuti pantai mulai terkuak. Suara ombak yang berkejar-kejaran menarik perhatian saya, dan saya mengalihkan pandang ke satu bukit yang menonjol di ujung. Bukit itu kini terlihat lebih jelas. Pasir putih, laut biru, langit yang juga biru, batu hitam yang berserakan, dan bukit hijau yang berdiri sendirian. Ikonik, kalau boleh saya mengatakan. Cantik dan ikonik.
Ketika matahari meninggi, bertelanjang kaki, saya mencari warung kopi. Memesan secangkir kopi hangat, menyesapnya perlahan-lahan. Pantai ini masih sepi, baru mulai menggeliat, dan dalam dua jam ke depan, akan dipenuhi sekian banyak orang yang ingin menikmati indahnya. Selain karena indah, Pantai Pulau Merah juga terkenal karena ombaknya yang pas untuk berselancar.
Tapi tentu saja, saya menyarankan Anda untuk menikmati pagi saja di sini.
Jam 8 malam, saya tiba di kota Banyuwangi. Seharian menempuh perjalanan dari Pulau Merah ke G-Land membuat badan terasa remuk. Remuk yang segera terabaikan karena jam 12 malam saya harus berangkat meninggalkan kota untuk menuju Ijen. Lagi, menjemput pagi.
Ijen, dengan kawahnya yang berwarna hijau toska, memang baru kelihatan jelas saat terang. Tapi si pemburu matahari terbit ini tidak mau melewatkan berkas keemaasan pertanda hari baru yang katanya juga cantik di sana. Sampai di Paltuding jam 1.30 pagi, perjalanan menuju ke puncak segera ditempuh. Jalan yang gelap dan mendaki tidak menyurutkan langkah. Tiba di puncak, semua masih gelap. Angin bertiup kencang, hawa dingin menyerang. Saya merapatkan jaket, menguatkan diri sendiri, bahwa setelah ini, hangat dan cantik matahari terbit akan membuat saya melupakan dingin dan penat.
Setengah lima pagi, semburat merah muda muncul mengoyak biru. Saya berdiri, memandang ke satu horizon saja, berusaha melekatkan pendar pagi ke benak. Nafas rasanya tercekat. Membuat saya bertanya, mengapa pagi dimulai dengan begitu indah?
Langit seperti memulas diri dengan blush-on yang warnanya tidak ada di toko kosmetik wanita manapun. Campuran warna berbeda yang entah kenapa berbaur sempurna, membuat kamera yang saya bawa menyisip malu, tidak bisa mengabadikan indahnya. Ah, mata memang kamera paling mumpuni. Gunung Ranti di seberang juga terlihat gagah, tidak garang, dipeluk lembut oleh langit yang bersemu merah.
Saya berterimakasih lagi, untuk dua hari yang dimulai dengan indah, untuk dua hari menyaksikan matahari terbit yang cantik, sangat cantik.
Saya bangga tinggal di Indonesia, Indonesia yang kaya, Indonesia yang cantik. Lagi, saya akan berjalan di kemudian hari, menemukan matahari terbit di lain pantai, di lain gunung, di Indonesia yang bagi saya, alamnya sempurna.
XOXO,
-Citra
Tulisan ini dimuat di blog Citra is Traveling.