Home Lomba Blog KTF 2014 Perjalanan Yang Gagal

Perjalanan Yang Gagal

oleh

Judulnya sih memang tidak mengenakkan, dan saya sendiri tidak mau menyebut sebuah perjalanan sebagai perjalanan yang gagal. Tapi ada kan ya, yang misalnya ingin melihat sunrise di mana gitu trus ternyata mendung pas di sana? Itu lho yang biasanya mengecewakan lalu disebut gagal.

 

Saya sih santai saja, go show, apalagi ketika melakukan perjalanan ke area wisata yang berhubungan dengan alam. Alam kok mau dilawan. Hujan ya hujan, kalau memang bepergian ke musim penghujan. Kalau mau menghindari kesialan yang berhubungan dengan cuaca, ya sebaiknya mengatur jadwal perjalanan di musim yang mendukung.

 

Bulan Desember tahun lalu saya ke Borobudur dan Dieng. Niatnya mau mengejar matahari terbit. FYI, saya bukan penggemar golden sunrise, saya nyarinya langit yang bersemu kemerahan saat matahari terbit. Jadi dengan ekspektasi begitu, saya juga tenang-tenang saja bepergian di musim penghujan. Doanya satu saja, semoga tidak hujan.

 

Untuk melihat sunrise dari Candi Borobudur, hanya ada satu cara, yaitu membeli tiketnya di Hotel Manohara. Haknya memang eksklusif dimiliki hotel ini. Tarif dasar (tanpa menginap di sana) adalah IDR 250K untuk wisatawan lokal dan IDR 380K untuk wisatawan asing. Jangan protes ke saya kenapa mahal. Kalau mau melihat matahari terbit dengan latar Gunung Merapi dan Merbabu dan Candi Borobudur yang terlihat kecil di pojokan, bisa ke Puncak Setumbu. Lebih murah, bayar IDR 15K saja, hiking dikit. Saya memang memilih yang via Hotel Manohara. Di Borobudur, saya tinggal di satu guesthouse yang letaknya sepelemparan batu dari tempat parkir candi. Maklum, tidak kuat menginap di Manohara (yang tarifnya sekitar IDR 800K semalam). Jadi datang sore dari Yogya, lalu menginap semalam, besoknya lanjut perjalanan. Karena pintu masuk Hotel Manohara agak jauh, saya menyewa sepeda di guesthouse yang saya tinggali (IDR 20K saja, untuk seharian).

 

Malamnya saya berbincang dengan staf guesthouse, apalagi kalau bukan soal kemungkinan saya beruntung atau tidak besoknya. Masnya bilang, kalau malam sebelumnya hujan deras atau berbintang di jam 9, biasanya besoknya cerah. Malam itu berbintang, jadi kemungkinan cerah. AMIIIN semoga beneran cerah. Jam 11 saya sudah berangkat tidur dengan harapan tinggi (halah), semoga bisa bangun tepat waktu dan matahari terbitnya cantik.

 

Jam 4 kurang 15 menit saya terbangun. Kasak kusuk bersih-bersih sebentar (bukan mandi, dingin woy!), lalu mengeluarkan sepeda. Ada adegan tambahan tidak bisa membuka pintu depan sih, macet dan sempat bikin panik. Hahahaha. Jam 4 lebih 10 saya keluar dari guesthouse, bersepeda ke Hotel Manohara yang jaraknya sekitar 5 menit saja (naik sepeda, kalau jalan ya 15 menit deh). Singkat kata singkat cerita, beli tiket, lalu masuk ke kompleks candi dari pintu timur yang nyambung langsung dengan hotel.

 

Eerie. Itu rasanya masuk Candi Borobudur subuh-subuh begitu. Rasanya seperti mencemplungkan jempol ke air es. Dingin tapi nagih. Tidak cuma bangunannya yang megah dan besar, ditambah dengan keheningannya yang mencolok, malah sedikit membuat saya lupa mau ngapain sebenarnya di sini. Sementara wisatawan lain langsung naik ke puncak, saya berkeliling di teras-teras bawah tanpa tujuan. Asyik soalnya. Serius. Sendiri ya, jangan rame-rame.

 

(ini mana sih cerita perjalanan gagalnya) 

 

Oke kakak. Ketika sudah mulai jam 5.10, ada silver linings di ufuk timur. Tidak hujan sih, tapi berawan. Jadi banyaklah yang sudah kecewa tidak bisa mendapatkan golden sunrise (ya sapa suruh dateng pas musim penghujan, nek). Saya sih seneng-seneng aja, silver linings kan punya arti filosofi besar (ini sih alasan aja sebenernya, soalnya udah keasyikan duluan menikmati Borobudur di dini hari, sunrise itu bonus aja). Biru langitnya pekat, dengan awan putih dan sedikit kabut menggantung, jadi malah membuat siluet-siluet stupa menjadi tambah cantik. Ketika matahari mulai meninggi, ada bercak kemerahan sedikit, lalu pelan-pelan mulai terlihat sinar peraknya, tapi ya begitu, tidak bulat.

 

Bagi pemburu sunrise garis keras, ini jelas perjalanan gagal. Bayar mahal pula. Derita lo, ya bang.

 

 

 

 

 

Ya kan, mana mataharinya?

 

Siangnya saya langsung cabut ke Dieng, naik bus umum yang terasa selamanya (padahal cuma 3 jam saja). Kalau menuju Wonosobo dari Magelang, cobalah naik bus umum. Pemandangan di jalan cantik-cantik, soalnya melewati jalan tengah antara Gunung Sindoro dan Sumbing.

 

Anywaaaay, sampai di terminal Wonosobo saja sudah hujan deras. Sedikit berharap seperti di Borobudur, kalau misal hujan deras seharian semoga besoknya cerah. Sore itu, langsung ke Dieng dengan naik motor (diantar). Di sana rencananya menginap semalam, liat sunrise dan tempat-tempat di sekitar sana, lalu besoknya balik ke Yogya.

 

Dieng itu dingin banget sumpah. DINGIN PAKE BANGET. Musim hujan katanya mendingan, kalau musim kemarau bisa sampai minus kalau malem. Jadi sampai di sana bukannya kemana-mana, langsung masuk rumah, pake jaket, syal, kaos kaki, minum teh panas. Hahaha. Keluar cuma cari makan tok, setelahnya ya mendekam di rumah.

 

Tidur jam 10, bangun jam 2 gara-gara mendengar hujan turun dengan derasnya. Haduuuhh. Sudah badmood. Nyalain tivi, Twitteran, sambil komat-kamit berdoa supaya hujan reda. Yah, memang belum dikabulkan doanya. Hujannya bertahan sampai siang dong. Masnya yang nganterin sampai berkomentar, “mbaknya ini tamu spesial ya kayaknya, sambutannya hujan terus.” Itu lho, ada mitos Jawa yang mengatakan, kalau ada tamu agung datang, biasanya hujan deras, bahkan badai. Yah, maunya sih tamu biasa aja mas.

 

Jadilah seharian itu dihabiskan di guesthouse, lalu keliling sebentar ke kompleks Candi Arjuna, Telaga Warna, dan Kawah Sikidang. Lupakan sunrise. Telaga Warna itu memang cantik banget, warnanya hijau karena belerang, dan kalau cuaca cerah, bisa dilihat dari atas bukit. Jalan-jalan di bawah gerimis di sekitaran Telaga Warna malah membuat merinding. Telaganya berkabut, trus di sekitarnya kan masih hutan dengan gua-gua yang populer untuk meditasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ya begitulah. Jangan ke Dieng pas musim hujan, dan ketika musim kemarau, datanglah pas bulan Juli-Agustus pas panas-panasnya kalau mau berburu sunrise. Kalau mau jalan hujan-hujan seperti saya sih ya silakan dicoba datang ke sana November-Februari.

 

Hebatnya, kehujanan seharian begitu saya masih sehat-sehat saja. Sorenya saya kembali ke Yogya naik travel, eh shuttle travel ding, itu tuh, bus travel yang berhentinya di titik-titik tertentuk, tidak diantar sampai tujuan.

 

Perjalanan memang tidak selalu mulus. Seperti di atas saya tulis, apalagi kalau berhubungan dengan alam. Jangan nangisan kalau gagal (kalau gagal liat aurora padahal udah bayar mahal ke Iceland sih boleh lah). Nikmati aja perjalanannya, karena setiap perjalanan itu ada ceritanya, ada hikmahnya (kata orang bijak).

 

Selamat jalan-jalan, semoga berhasil!

 

XOXO,

 

-Citra

 

Tulisan ini dimuat di blog Citra is Traveling.

Penulis

Marlistya Citraningrum

Twitter: @mcitraningrum