Dari semacam gapura kecil bertuliskan “Mangrove Petengoran” itu, rapatnya jajaran mangrove di sisi kanan dan kiri sudah tampak jelas. Tajuk-tajuknya seketika menyejukkan hawa pesisir yang panas.
Jalan setapak dari kayu menghubungkan gapura pintu masuk itu dengan area hutan mangrove. Di bawah rimbunnya daun-daun mangrove, tampak sekelompok wisatawan berswafoto dengan bermacam gaya.
Kawasan ekowisata Hutan Mangrove Petengoran di Kabupaten Pesawaran, Lampung, itu telah beberapa waktu belakangan menjadi daya tarik pariwisata. Orang-orang datang untuk menikmati suasana dan berfoto, juga jika mengobrol dengan pengelolanya, mendapatkan edukasi seputar mangrove. Lokasinya juga mudah dijangkau. Dari pusat kota Bandar Lampung, destinasi ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit.
Kisah hadirnya ekowisata mangrove ini bermula dari keluhan warga akan tingginya penyakit malaria di Desa Gebang. Pemicunya, banyak tambak terlantar yang lantas menjadi tempat berkembang biak nyamuk serta adanya kerusakan hutan mangrove.
Dalam ekosistem yang sehat, jentik nyamuk punya habitat salah satunya di akar hutan mangrove dan benur ikan menjadi predatornya. Karena ekosistem rusak, nyamuk merajalela. Tak hanya itu, masyarakat juga masih kerap menangkap ikan dengan cara mengebom sehingga ekosistem bertambah rusak. Terkikisnya hutan mangrove juga membuat Desa Gebang yang berada di pesisir rentan bencana alam, seperti abrasi pantai dan tsunami.
Melihat masalah di desa mereka, segelintir warga didampingi LSM Mitra Bentala pun pada 2010, berupaya memperbaiki lingkungan. Inisiatif paling strategis adalah dengan menanam kembali mangrove.
Toni Yunizar, Ketua Kelompok Pelestari Mangrove Petengoran, mengatakan, mewujudkan gagasan itu tidak mudah. Namun, komunitas pelestari mangrove terus memberikan pengertian soal fungsi mangrove. Dijelaskan pula, ke depannya mangrove dapat dimanfaatkan juga untuk kegiatan perekonomian, seperti ekowisata atau pembuatan produk pangan dari buah mangrove. Seiring berjalannya waktu, kian banyak warga yang mau ikut serta mengelola mangrove.
Tunas-tunas mangrove pun lantas ditanam kembali dan dirawat. Di perairannya disebar pula benih-benih benur. Jalur setapak juga dibangun di sepanjang bibir luar hutan mangrove. Dengan begitu, pengunjung bisa menyusuri hutan mangrove dan bisa lebih mendapatkan gambaran soal fungsi hutan mangrove. Jalur ini juga mempermudah pengelola mengakses lokasi-lokasi di dalam hutan mangrove. Dibuat pula area istirahat untuk publik berupa pondok-pondok serta pojok kuliner, yang selesai dikerjakan pada 2020.
“Mulai dari situlah ada satu pemikiran yang sama untuk memberi nama dan sepakat menjadikan lokasi ini sebagai Ekowisata Hutan Mangrove. Harapannya, akan ada manfaat ekonomi untuk pelaku pelestarian dan masyarakat. Dengan terpenuhinya kebutuhan ekonomi, aset yang ada dapat dirawat dan dipertahankan,” tutur Toni.
Ekowisata Hutan Mangrove pun dibuka untuk publik pada 2021. Saat ini, dampak positif lestarinya mangrove kian terasa. Selain tentu saja wabah malaria teratasi, ekosistem menjadi lebih sehat. Mangrove menghasilkan oksigen, menyerap karbon dampak limbah tambak, sekaligus mengantisipasi bencana alam.
Wisatawan bisa menikmati area hijau sambil memperoleh beragam informasi baru. Masyarakat pun mendapat manfaat ekonomi dan kesadaran lingkungannya kian tinggi.