Home Lomba Blog KTF 2015 Menemukan Teman dan Kebahagiaan di Tempat yang Tak Terduga

Menemukan Teman dan Kebahagiaan di Tempat yang Tak Terduga

oleh

Bertahun-tahun yang lalu, saya menonton ulasan tentang Bhutan. Ada dua hal yang mencolok dari negara tersebut. Pertama, penampilan warganya yang sederhana dan tradisional. Kedua, lukisan alat kelamin laki-laki yang terpampang di dinding-dinding rumah mereka. Seakan wujudnya saja kurang mencolok, mereka melukiskannya dengan warna-warni mentereng. Ada yang bilang lukisan tersebut merupakan simbol kesuburan. Ada juga yang bilang kalau gambar itu ampuh mengusir roh-roh jahat.

Tak disangka, saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke kerajaan di Pegunungan Himalaya itu. Meski berangkat sendirian dari Jakarta, saya menghadapi perjalanan ini dengan antusiasme penuh.

“Semoga lu bisa pulang ya, gak kejebak di sana,” ujar salah seorang teman sambil tertawa. “Pulang-pulang lu jadi biksu nih kayaknya,” sahut yang lainnya.

Memang tidak banyak yang mengetahui keberadaan negara berjulukan “The Land of the Thunder Dragon” itu. Bagaimana tidak? Bhutan baru membuka pintu mereka bagi turis pada 1974 silam. Setelahnya, mereka tetap menjaga tradisi serta membatasi impor produk dan budaya dari negara lain.

Sikap tersebut membuat Bhutan tampak seperti negeri impian. Dengan pemandangan Himalaya yang memukau, lebih dari 70 persen lahannya masih berupa hutan, minim kendaraan bermotor dan teknologi modern, serta kewajiban mengenakan pakaian tradisional—gho untuk laki-laki dan kera untuk perempuan—bagi warga setempat, Bhutan seperti negeri impian.

Setelah menginap semalam di Singapura dan ikut penerbangan subuh dari sana, saya dan rombongan pun sampai di bandara internasional Bhutan di Paro. Namun, kami menemui sebuah masalah. Pihak maskapai mengabarkan bahwa setiap koper dan tas yang seharusnya masuk bagasi pesawat masih ada di Singapura. Mereka tidak bisa mengangkutkan lantaran pesawat kami kelebihan muatan. Semuanya baru akan dikirimkan keesokan harinya.

“Oh, tidak. Shampoku,” ujar salah satu dari kami. “Oh, tidak. Baju bersih,” ujar yang lainnya. “Oh, tidak. Charger kameraku,” ujar saya, sambil mengira-ngira seberapa lama sisa daya dalam kamera saya bisa bertahan. Padahal, kami akan dibawa ke sebuah festival tradisional yang sayang kalau tidak diabadikan.

Berita mengguncang tersebut disusul dengan guncangan hebat di udara dalam perjalanan lanjutan kami ke Bumthang, sebuah kota mungil di sebelah timur Thimphu. Sesampainya di sana, kami disambut pemandangan landasan udara kosong dan sebuah bandara mungil berdesain khas Bhutan.

Kami pun bertemu dengan pemandu kami, seorang warga asli Bhutan bernama Tshering. Wajahnya mirip orang-orang Nepal, bermata sipit dengan warna kulit kemerahan. Tubuhnya tinggi, besar. Intimidatif, tetapi ramah bukan main.

Laki-laki berbaju gho itu senang menceritakan fakta-fakta menarik tentang Bhutan, seperti keputusan raja keempat mereka, Jigme Singye Wangchuck, untuk menjadikan kebahagiaan warganya sebagai tolok ukur pertumbuhan negara. Kalau buat negara lain GNP (Gross National Product) yang penting, bagi Bhutan GNH (Gross National Happiness).

Tshering juga bercerita kalau membangun rumah di Bhutan itu mudah. Tidak perlu campur tangan pengembang besar. Setiap kepala keluarga bisa mengajukan rencana pembangunan ke pihak pemerintah, yang kemudian memberikan izin untuk membangun rumah sekaligus menebang pohon dalam jumlah tertentu untuk bahannya. Tidak ada gaya minimalis, modern, atau kuno juga. Yang ada hanya satu, desain tradisional Bhutan. Bahkan, toko, kantor, dan jaringan hotel internasional pun harus mengikuti arahan desain tersebut.

Bhutan memiliki ratusan, mungkin ribuan, biara dan kuil bersejarah. Tak terkecuali di Bumthang, yang menaungi biara Kharchhu. Dibangun sejak 1982 oleh keturunan Guru Rinpoche, sosok Buddha kedua dalam ajaran Buddha Vajrayana yang mereka anut, biara tersebut menampung sekitar 400 biksu.

Kata Tshering, sejak kecil, anak-anak di Bhutan dikirim ke biara seperti ini untuk belajar agama dan moral. Saat beranjak remaja, mereka memutuskan sendiri akan melanjutkan hidup selibat sebagai biksu atau keluar dan hidup seperti masyarakat pada umumnya.

Dengan demikian, anak-anak di Bhutan dipaparkan ke kehidupan sederhana sejak dini. Tanpa teknologi modern, seperti televisi dan ponsel, mereka melewati kesehariannya dengan berdoa, bertapa, bergotong-royong membersihkan biara, menyiapkan makanan dan minuman untuk satu sama lain. Bahkan, ada yang nikmat menyantap kraker sambil berbagi dengan seekor anjing.

Kejadian itu membuktikan seberapa seriusnya orang-orang Bhutan menghormati alam dan setiap makhluk di dalamnya. Seperti saat Tshering, yang bukannya menyentil atau memukul seekor serangga di pundaknya, justru mengangkatnya dengan lembut dan melepaskannya di tanah.

Menurut Tshering, walaupun mereka boleh memakan daging hewan, mereka tidak boleh membunuhnya. Oleh karena itu, rata-rata daging diimpor dari India: daging babi dari penganut Hindu, sedangkan daging sapi dari penganut Islam.

Perjalanan kami berlanjut ke kuil Nimalung di Desa Chumey untuk menyaksikan festival Trelda. Festival tersebut dihiasi tari-tarian tiga babak oleh biksu setempat yang menggambarkan kisah Guru Rinpoche dalam menyebarkan agama Buddha di negara itu. Berpakaian penuh warna dan aksesori mencolok serta aneka topeng yang diganti pada setiap babak.

Festival yang berjalan seharian itu menjadi kesempatan bagi warga setempat untuk piknik bersama keluarga. Tak hanya tari-tarian oleh para biksu, festival dihiasi bazar lengkap dengan dagangan pernak-pernik lucu dan permainan seru.

Kami pun menyempatkan diri untuk piknik bersama. Tshering menyiapkan hidangan rumahan khas Bhutan, termasuk masakan andalannya ema datshi—campuran cabai hijau dan lelehan keju yang pedas dan gurih. Beratapkan langit biru dengan pemandangan perbukitan yang serbahijau, kami menikmati hidangan tersebut sambil bertukar cerita dan candaan.

Sesampainya ke hotel, tak diduga, nasib yang sama membuat saya dan teman-teman serombongan akrab. Tidak ada televisi dan internet di dalam tiap-tiap kamar hotel. Wi-Fi di lobi pun hanya bisa diakses dengan dua cara: keberuntungan dan kebetulan.

Tshering menemani kami menghabiskan malam di hotel, berbincang hingga larut di area lobi. Beberapa teman pemandunya ikut nimbrung. Kami diperkenalkan kepada dua produk lokal andalan mereka, yakni bir Red Panda dan whiskey K5.

Sonam, teman Tshering, memperkenalkan permainan King’s Cup atau Cangkir Raja. Kami mengambil giliran untuk menarik kartu dari dek remi standar. Tiap-tiap angka dan gambar mewakili tugas tertentu yang harus dilakukan si pengambil kartu atau orang lain yang ditunjuknya. Yang gagal, harus minum dari “cangkir raja”, yang kami isi dengan dua minuman tersebut.

Tak seorang pun dari kami minum terlalu banyak sampai mabuk, tetapi kami semua tertawa lepas semalaman, sejenak melupakan tas dan koper kami yang entah sudah di mana.

“Terdampar” di negara yang percaya bahwa kebahagiaan datang dari dalam diri sendiri, bukan kekayaan; negara yang minim teknologi, tetapi masih menyatu dengan alam dan tradisi; membuat saya sadar bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya bisa didapatkan dari kesederhanaan, interaksi nyata dengan teman, serta keterikatan dengan alam, bukan ponsel dan media sosial.

Penulis

Ernest Dimitria

Twitter: @ErnestDM

Artikel yang mungkin kamu suka